OPINI

Saatnya Menata Ulang Tata Kelola Sawit di Kalimantan Timur

Di balik status lumbung sawit, Kaltim hadapi krisis tata kelola serius. Helminata tegaskan Ekspansi masif sawit korbankan hutan, picu konflik lahan

HO
KELOLA SAWIT - Ilustrasi Sawit. Di balik status lumbung sawit, Kaltim hadapi krisis tata kelola serius. Akademisi tegaskan: Ekspansi masif sawit korbankan hutan, picu konflik lahan, dan minim pengawasan ISPO. (HO) 

Oleh: Helminata, Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Mulawarman

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Kalimantan Timur dikenal sebagai salah satu lumbung sawit Indonesia. Hampir setiap kabupaten memiliki areal perkebunan yang luas, dari Kutai Timur hingga Paser. 

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kalimantan Timur (2024), luas lahan sawit telah menembus lebih dari 1,3 juta hektar, dan terus bertambah setiap tahun. Sektor ini menyumbang devisa besar, menyerap tenaga kerja, serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Namun di balik kilau ekonomi itu, tersimpan masalah serius yang kian mengkhawatirkan: krisis tata kelola perkebunan sawit.

Ekspansi yang masif sering kali mengorbankan hutan, menimbulkan konflik lahan, dan memperparah ketimpangan sosial antara perusahaan besar dan masyarakat lokal.

Ironisnya, semua ini terjadi di tengah jargon “pembangunan berkelanjutan” yang kerap digaungkan pemerintah.

Baca juga: Disbun Kaltim Siapkan Rapor Kinerja Perusahaan Sawit, Evaluasi Plasma 20 Persen Segera Dimulai

Masalah utama bukan terletak pada pohon sawitnya, tetapi pada kebijakan publik yang lemah dan tidak konsisten. Banyak regulasi perkebunan yang dibuat secara tumpang tindih antarinstansi.

Di tingkat pelaksanaan, pengawasan masih minim, dan transparansi data lahan nyaris tidak ada. Akibatnya, izin tumpang tindih, pelanggaran lingkungan, hingga kasus penggusuran masyarakat adat menjadi hal yang berulang setiap tahun.

Dalam konteks administrasi publik, ini mencerminkan gagalnya implementasi kebijakan. Pemerintah daerah sebenarnya telah memiliki berbagai aturan — mulai dari Peraturan Daerah tentang Perkebunan Berkelanjutan hingga komitmen sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Namun di lapangan, pelaksanaan sering macet karena keterbatasan sumber daya manusia, koordinasi yang lemah, dan tekanan ekonomi jangka pendek.

Salah satu contoh nyata adalah rendahnya tingkat sertifikasi ISPO di Kalimantan Timur, yang baru mencapai sekitar 35 persen perusahaan sawit.

Padahal sertifikasi ini menjadi tolok ukur penting bagi pasar global yang semakin menuntut produk berkelanjutan. Rendahnya angka ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan minimnya komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan lingkungan.

Jika dibiarkan, kondisi ini berisiko membawa Kalimantan Timur pada krisis lingkungan jangka panjang: deforestasi, penurunan kualitas air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Baca juga: DPRD Kaltim Soroti Isu Lingkungan Dua Perusahaan Sawit di Kubar

Dampak sosial pun tak kalah besar — masyarakat adat kehilangan akses lahan, petani kecil terpinggirkan, dan ketimpangan ekonomi semakin melebar.

Oleh karena itu, reformasi tata kelola sawit menjadi hal mendesak. Pemerintah daerah perlu menata ulang arah kebijakan: bukan lagi soal seberapa luas sawit ditanam, tetapi seberapa berkelanjutan sawit dikelola.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved