Kesehatan
Post Holiday Syndrom Kerap Dialami usai Libur Panjang, Begini Penjelasan Dosen Psikologi Unmul
Mengenal Lebih Dekat Post Holiday Syndrom yang Kerap Dialami usai Libur Panjang, Begini Penjelasan Dosen Psikologi Unmul
Penulis: Ardiana | Editor: Diah Anggraeni
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Mari kenali post holiday syndrom, kondisi emosional setelah liburan ketika harus kembali ke rutinitas semula.
Libur panjang Lebaran 2024 kini telah berakhir.
Anda perlu mewaspadai perubahan emosional, yakni dari rasa nyaman saat libur panjang menajdi rasa cemas dan malas.
Kondisi transisi dari masa liburan ke rutinitas itu dikenal dengan nama post holiday syndrom.
Post holiday syndrome atau sindrom pasca liburan ini dapat dialami siapa saja, loh!
Baca juga: Dosen Psikologi Unmul Samarinda Beri Tips Kembali Semangat Bekerja Setelah Libur Lebaran
Dosen program studi psikologi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Ayunda Ramadhani mengatakan, post holiday syndrom cenderung dialami seseorang setelah liburan.
Transisi ini akan menimbulkan rasa tak nyaman dan khawatir yang muncul sehari atau dua hari menjelang berakhirnya liburan.
"Ketika peralihan rasa rileks, nyaman dan tak memikirkan pekerjaan berganti dengan rasa cemas dan khawatir pada waktu 1 atau 2 hari menjelang hari kerja," ujarnya, Minggu (21/4/2024).
Apalagi, kata dia, rasa cemas ini juga akan lebih terasa saat terdapat beberapa hal dari pekerjaan yang mengganjal ataupun mengganggu, seperti deadline pekerjaan yang belum diselesaikan ataupun tanggungan pekerjaan yang harus segera dibereskan.
Hal itu akan membuat situasi liburan yang tinggal menghitung hari akan membuat seseorang merasa tertekan.
"Ini bisa menimbulkan rasa tertekan, overthinking tentang pekerjaan bahkan sedih," ungkapnya.
Baca juga: Dishub Samarinda Buka Dua Jalur di Jalan P Irian, Begini Tanggapan Pengamat Unmul
Wanita yang menjabat sebagai ketua Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Himpsi Kaltim itu juga mengatakan, post holiday syndrom adalah hal yang wajar dan normal terjadi.
Meski begitu, imbuhnya, hal ini tak dapat dinormalisasi karena akan mempengaruhi produktivitas kinerja bahkan mengakibatkan seseorang mangkir dari pekerjaannya.
"Post holiday syndrom bukan diagnosa gangguan kejiwaan, tapi berupa kumpulan gejala dari banyaknya fenomena. Karena banyak orang yang mengalami hal ini, asalkan kita bisa membangun semangat untuk kembali bekerja," pungkasnya. (*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaruan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.