Berita Samarinda Terkini
Hamidah, Pengrajin Tenun Ulop Doyo, Jejak Budaya yang Menenun Masa Depan dari Serat Daun Kalimantan
Kisah Hamidah (61), pengrajin ulap doyo asal Tenggarong, Kutai Kartanegara yang bukan sekadar penenun, ia adalah penjaga tradisi
Penulis: Raynaldi Paskalis | Editor: Amelia Mutia Rachmah
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Dalam rangka kunjungan kerja ke Kalimantan Timur, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, meresmikan Gedung Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV yang terletak di Jalan H.A.M. Rifaddin No. 69, Samarinda Seberang. Jumat (30/5/2025)
Kegiatan yang juga dirangkai dengan dialog budaya ini tidak hanya dihadiri oleh pejabat dan budayawan, tetapi juga diwarnai dengan penampilan budaya khas daerah, salah satunya adalah tenun ulap doyo.
Salah satu sudut ruangan gedung baru tersebut menarik perhatian para tamu: seorang wanita lanjut usia duduk tekun di depan alat tenun tradisional, lengkap dengan gulungan benang dan motif yang rumit.
Di belakangnya tergantung berbagai macam kain tenun ulap doyo yang memukau mata. Warna-warna alam yang hangat dan motif etnik khas Dayak menambah kesan kuat bahwa seni tradisi ini masih hidup dan terjaga.
Hamidah, seorang pengrajin wanita yang berusia 61 tahun asal Tenggarong, Kutai Kartanegara, yang sudah akrab dengan benang dan kayu sejak belia.
Baca juga: Seniman Asal Kutim Bakal Rilis Lagu Hilang Jauh, Pakai Aransemen Musik Sape
"Iya turun-temurun kalau saya, penerus yang ketiga sudah generasi ketiga,"ujar Hamidah kepada Tribunkaltim.co
Tenun ulap doyo bukan sekadar keterampilan yang dipelajari, melainkan warisan budaya yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam keluarga Hamidah, seni menenun telah menjadi tradisi sejak lama, dan kini dia merupakan generasi ketiga yang meneruskannya.
Permasalahan umum yang sering dihadapi dalam pelestarian budaya tradisional adalah semakin berkurangnya minat generasi muda untuk meneruskan warisan leluhur.
Namun hal ini tidak terjadi pada komunitas pengrajin tenun yang diikuti oleh Hamidah. Ia memastikan bahwa regenerasi tetap berjalan dengan baik.
Baca juga: Menteri Fadli Zon Resmikan Balai Pelestarian Kebudayaan Samarinda, Ungkap Pentingnya Budaya Kaltim
Ia mulai belajar menenun sejak usia 15 tahun dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri pada tahun 2009.
Keberadaan keluarga seperti Hamidah menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya dapat bertahan melalui jalur keluarga, meski zaman terus berubah.

Namun, tantangan zaman modern tak bisa dihindari. Menurut Hamidah, salah satu hambatan terbesar adalah keberadaan kain tiruan yang mengklaim sebagai ulap doyo asli padahal tidak.
"Kalau kita ini memang menjelaskan kalau ulap doyo itu bukan luntur, tetapi kalau dia dicuci dia menciut karena dia itu serat, nah gitu ini," jelasnya.
Banyak konsumen salah kaprah dengan menganggap kain ulap doyo mudah rusak atau luntur, padahal karakter alaminya memang menyusut bila dicuci karena berbahan dasar serat daun doyo.
Baca juga: Lestarikan Budaya Lokal, Disdik Berau Galakkan Penggunaan Batik Khas Daerah di Lingkungan Sekolah
Tantangan ini tidak hanya menyulitkan pemasaran, tetapi juga mencemari persepsi masyarakat tentang kualitas asli produk lokal.
Dari Daun Menjadi Benang Tenun
Edukasi terhadap masyarakat tentang proses dan bahan menjadi sangat penting untuk melindungi keberlangsungan tenun tradisional ini.
Hamidah pun menunjukkan bahan baku utama yang digunakan untuk membuat tenunan tersebut. Ia mengangkat selembar daun kering berwarna coklat muda sambil memberi penjelasan.
"Dari serat daun doyo dari tumbuhan itu," katanya sambil menunjuk.
Daun doyo berasal dari tanaman liar yang banyak tumbuh di hutan Kalimantan. Daun ini memiliki serat yang kuat dan lentur, sehingga cocok dijadikan benang tenun.
Baca juga: BREAKING NEWS: Menteri Fadli Zon Kunjungi Samarinda, Siap Resmikan Balai Pelestarian Kebudayaan
Proses pembuatannya memakan waktu panjang mulai dari pemetikan daun, perendaman, pengeringan, hingga dipintal menjadi benang.
Penggunaan bahan alami ini membuat tenun ulap doyo menjadi produk yang ramah lingkungan dan memiliki nilai budaya tinggi.
Tenun ulap doyo juga memiliki ikatan erat dengan identitas etnik.
"Kalau yang ini kan dari suku Dayak Benuaq. Cuman kalau sekarang ini mulai dari Bupati sampai Gubernur kan memang sudah merangkul untuk provinsi. Khususnya pada umumnya untuk Kalimantan Timur."ucapnya
Meskipun berasal dari komunitas suku tertentu, kain tenun ini kini telah diangkat menjadi simbol budaya provinsi. Upaya pemerintah daerah dalam melestarikan dan mempromosikan tenun ini patut diapresiasi.
Baca juga: Uhing, Perajin Topi Manik Dayak Kayan di Mahulu Kaltim yang Setia Lestarikan Budaya Leluhur
Hal tersebut membuka jalan bagi tenun ulap doyo untuk menembus pasar yang lebih luas tanpa kehilangan identitas asalnya. Hamidah juga memaparkan lamanya proses pembuatan satu helai kain ulap doyo.
"Kalau proses kita dari motik daun sampai kita bikin serat kurang lebih satu bulan setengah. Sampai siap dipakai."tambahnya
Proses panjang ini menunjukkan betapa kompleksnya pembuatan satu lembar kain. Mulai dari mengambil daun doyo, mengolahnya menjadi benang, mewarnai dengan pewarna alami, hingga merancang motif dan menenun semuanya dilakukan dengan tangan. Namun, jika benang sudah tersedia, proses menenun bisa lebih cepat.
"Tinggal menenun itu siap satu minggu," tambahnya.
Kelompok Tenun untuk Lestarikan Budaya
Kelompok tenun yang digelutinya bernama Pokant Takaq yang berbasis di Tenggarong. Dalam kelompok tersebut, para anggota memiliki tugas masing-masing ada yang memetik daun, membuat serat, mewarnai, mengikat motif, hingga menjual kain.
Baca juga: Festival Ketupat 2025 di Samarinda Kaltim, Walikota Andi Harun: Momentum Pengembangan Wisata Budaya
"Kalau saya apa itu bikin nenunnya langsung penjualannya marketingnya."ucapnya
Distribusi kerja yang jelas ini memungkinkan produksi tetap berjalan meskipun tiap tahap memiliki kesulitan masing-masing.
Hamidah sendiri mengambil peran ganda sebagai penenun sekaligus pemasar, membuktikan bahwa pelestarian budaya bisa sejalan dengan semangat kewirausahaan.
Mengenai motif, Hamidah mengaku belum menciptakan motif baru.
"Kalau sementara saya jujur aja, belum ada ciptakan motif."ucapnya
Meskipun demikian, ia tetap mempertahankan motif-motif tradisional yang sudah ada. Konsistensinya ini penting untuk menjaga keaslian nilai budaya yang terkandung dalam setiap helai kain yang ia hasilkan.
Harga kain tenun yang ditawarkan pun bervariasi tergantung bahan dan proses.
"Itu kalau yang pewarna alam kurang lebih 1 juta. Tapi kalau yang biasa 700, 800."tambahnya
Harga ini dianggap wajar mengingat bahan alami dan proses panjang yang dilalui. Beberapa kain yang dipajangnya bahkan dijual seharga Rp750.000 hingga Rp900.000, tergantung ukuran dan pewarna.
Hamidah menekankan bahwa semua warna berasal dari bahan alami bukan pewarna sintetis sehingga memberikan nilai tambah pada produknya.
Meski berasal dari daerah, karya Hamidah telah menembus berbagai wilayah di Indonesia.
"Kalau produk saya itu kebanyakan dipakai orang desainer, mereka mau fashion show kan. Nah, jadi dia mau yang lebih unik gitu kan."
Kain ulap doyo karyanya telah digunakan oleh para desainer di Jakarta, Surabaya, hingga Batam. Bahkan, kain-kain tersebut sering dibawa ke luar negeri lewat jalur ekspor oleh pihak ketiga. (*)
Penumpang dan Pengelola Bus Anggap Terminal Bayangan Samarinda Mudahkan Akses, Harga Tiket Sama |
![]() |
---|
Sistem Tilang ETLE di Samarinda Belum Berfungsi, Ribuan Pengendara Masih Melanggar Lalulintas |
![]() |
---|
Alasan Penumpang Pilih Terminal Bayangan Samarinda: Langsung Berangkat, Lebih Cepat |
![]() |
---|
PUPR Samarinda Hanya Fokus Bangun Insinerator dan Pengelolaan Diserahkan ke DLH |
![]() |
---|
Terminal Bayangan Samarinda tak Langgar Lalulintas Malah Mudahkan Akses Penumpang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.