Berita Ekbis Terkini

Rencana Rumah Subsidi Diperkecil, Kata Menteri PKP Maurarar Sirait, Ramai Sindiran Gen-Z: Subsi-Die

Rencana rumah subsidi diperkecil, penjelasan Menteri PKP Maruarar Sirait hingga ramai sindiran Gen-Z yang menyebut Subsi-Die.

Editor: Amalia Husnul A
Dok. Kementerian PKP
RUMAH SUBSIDI DIPERKECIL - Denah rumah subsidi ukuran 18/25 dan 18/30. Rencana rumah subsidi diperkecil, penjelasan Menteri PKP Maruarar Sirait hingga ramai sindiran Gen Z yang menyebut Subsi-Die. (Dok. Kementerian PKP) 

Apakah sudah cukup layak untuk disebut dengan rumah?” 

Unggapan ini mencerminkan sentimen bahwa rumah subsidi dengan ukuran minimalis tidak memenuhi ekspektasi sebagai hunian layak.

Banyak Gen Z yang membandingkan ukuran 18 meter persegi dengan kamar kos atau kontrakan, yang dirasa tidak cukup untuk kebutuhan keluarga kecil, apalagi dengan harga yang tetap di kisaran Rp 150 juta-Rp 185 juta.

Pengguna lain, @izzywb, menambahkan, “Setelah liat thread ini gua makin sadar, gua sebagai gen z bakalan susah buat bisa punya rumah sendiri dimasa depan.

Even itu rumah subsidi?

Dengan gaji yang kureng, emg paling bener kita sewa rumah gapapa asal masih layak dan punya ruangan yg luas.”

Komentar ini mencerminkan realitas ekonomi Gen Z, yang rata-rata berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan, jauh dari cukup untuk membeli rumah meski bersubsidi.

Kenaikan harga rumah yang mencapai 2 persen per tahun tidak sebanding dengan pendapatan Gen Z.

Dengan harga rumah subsidi yang tijdvak berubah, Gen Z harus menabung selama puluhan tahun untuk membelinya.

Program rumah subsidi seharusnya menjadi jalan keluar, tetapi ukuran yang semakin kecil membuat banyak Gen Z meragukan nilai investasi jangka panjangnya.

Selain itu, lokasi rumah subsidi yang sering kali berada di pinggiran kota menambah beban, karena jauh dari pusat aktivitas dan transportasi umum, yang tidak ideal bagi generasi yang bekerja di perkotaan.

Oleh karena itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perumahan Dhony Rahajoe menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan aspek sosial dan budaya sebelum menerapkan kebijakan ini.

Ia menekankan bahwa pengecilan ukuran bukan satu-satunya cara menekan harga.

Solusi lain seperti penataan ruang yang lebih baik, pajak progresif untuk kepemilikan rumah lebih dari satu, dan pengembangan hunian vertikal di kota besar bisa menjadi alternatif.

Pengamat perumahan dari ITB Jehansyah Siregar juga memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi memicu urban sprawl dan gagal mengatasi backlog perumahan, karena MBR sejati justru terpinggirkan.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved