Berita Samarinda Terkini

Transportasi Massal Samarinda Tak Bisa Tunggu Sempurna, Pengamat MTI Desak Pemkot Berani Memulai

MTI menanggapi wacana Pemkot Samarinda dalam pengadaan armada transportasi massal pada 2027

TRIBUNKALTIM.CO/SINTYA ALFATIKA SARI
TRANSPORTASI MASSAL - Sebagian besar ruas jalan di Samarinda memiliki lebar terbatas. Kondisi ini menjadi tantangan dalam pengembangan transportasi massal, menuntut adaptasi moda dan rekayasa lalu lintas yang cermat agar tetap fungsional di tengah padatnya mobilitas warga. (TRIBUNKALTIM.CO/SINTYA ALFATIKA SARI) 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda memprioritaskan pembangunan sistem transportasi mulai tahun 2026, dan siap mempertimbangkan pengadaan armada transportasi massal pada 2027.

Menanggapi wacana tersebut, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Kalimantan Timur sekaligus pengamat lalu lintas Fakultas Teknik Universitas Mulawarman, Tiopan Henry Manto Gultom, menegaskan bahwa penyediaan angkutan umum tidak boleh terus-menerus menunggu kesempurnaan sistem, melainkan harus dimulai meski dalam keterbatasan. Terlebih, persoalan infrastruktur dianggap menjadi kendala utama.

“Kalau untuk transportasi yang paling mudah untuk segera disediakan basisnya tentunya berbasis jalan. Bisa seperti bus. Itu yang paling mudah dan cepat. Kalau mau jangka panjang bisa berbasis rel,” ungkapnya, Kamis (31/7).

Ia menggarisbawahi bahwa karakter jalan sempit dan tidak terencana secara metropolitan memang menjadi ciri khas kota-kota lama di Indonesia, termasuk Samarinda.

Namun hal itu, menurutnya, bukan alasan untuk abai terhadap kebutuhan mobilitas publik. Sebagai contoh, Kota Balikpapan juga menghadapi keterbatasan serupa, namun tetap mampu mengembangkan sistem transportasi publik yang fungsional.

Baca juga: Jembatan JPO Juanda Samarinda Dibongkar, Dishub Ajukan Zebra Cross dan Pemangkasan Median Jalan

“Kalau mau dibilang katanya jalan kita sempit, kecil, itu sudah dari dulu seperti itu. Memang kota kita didesain bukan untuk menjadi kota metropolitan, tidak terencana sangat baik. Tapi bukan berarti tidak bisa ada angkutan massalnya,” tegasnya.

Kuncinya, lanjut Tiopan, adalah pemilihan moda transportasi yang sesuai dengan karakteristik wilayah. Artinya, pemerintah tidak perlu memaksakan armada besar jika memang kondisi geografis dan lebar jalan tidak memungkinkan.

Alih-alih, kendaraan berukuran sedang atau kecil bisa menjadi pilihan strategis agar operasional tidak terganggu dan masyarakat tetap terlayani.

“Sekarang tinggal pemilihan jenisnya saja. Kalau memang yang dipersoalkan adalah jalannya, maka kendaraan angkutan umumnya itu bisa dipilih yang ukurannya disesuaikan,” ujarnya.

Namun, aspek moda hanyalah salah satu variabel. Ia menekankan pentingnya penataan ulang sistem lalu lintas sebagai fondasi agar moda transportasi tersebut dapat berjalan efisien.

Baca juga: Transportasi Massal BTS Butuh Rp60 Miliar per Trayek, Pemkot Samarinda Pilih Bangun Sistem Dulu

Konversi jalan dua arah menjadi satu arah, manajemen arus lalu lintas, hingga rekayasa kawasan menjadi langkah teknis yang perlu dilakukan secara bertahap namun terukur.

“Kita bisa atur ulang pola arus lalu lintas yang eksisting sekarang. Tapi memang perlu simulasi dan pemikiran yang matang supaya perubahan arus lalu lintas tidak menyebabkan kemacetan atau dampak buruk lainnya,” jelasnya.

Dalam perspektifnya, penataan sistem transportasi massal tidak bisa bersifat mekanistik dan hanya berpijak pada rumus-rumus infrastruktur.

Ia menegaskan bahwa perilaku manusia justru menjadi faktor krusial dalam implementasi transportasi publik.

Sayangnya, menurutnya, tidak ada buku teori lalu lintas yang secara spesifik bisa memetakan perilaku warga Samarinda.

Baca juga: Garuda dan Batik Air Terbang Tiap Hari dari Samarinda, Harga Tiket Diprediksi Turun

“Tidak ada teorinya perilaku orang Samarinda dalam buku lalu lintas. Makanya harus berani dibuat dan dilaksanakan saja dulu. Nanti dievaluasi pelan-pelan, regulasi apa lagi supaya implementasi angkutan umum itu bisa berjalan,” ucap Tiopan.

Oleh sebab itu, ia menekankan bahwa eksperimen kebijakan sangat penting untuk memahami bagaimana masyarakat merespons kebijakan baru.

Tanpa keberanian untuk memulai, pemerintah tidak akan pernah mengetahui di mana titik kelemahan sistem dan seperti apa strategi perbaikannya.

“Saya kira kalau tidak mau dimulai, kita tidak pernah tahu kurangnya di mana dan perbaikannya mesti apa. Teori itu banyak, tapi kalau tidak diimplementasikan ya tidak bisa,” imbuhnya.

Di sisi lain, Tiopan juga mengingatkan bahwa transportasi massal yang statis akan berdampak luas terhadap struktur mobilitas, ekonomi rumah tangga, serta kualitas hidup warga perkotaan.

Baca juga: Buntut Kasus Pemukulan Ojol, Walikota Samarinda Percepat Sistem Parkir Berlangganan

Ketergantungan pada kendaraan pribadi terus memperparah kemacetan, meningkatkan polusi udara, serta menambah beban pengeluaran masyarakat.

“Kita bicara angkutan massal, itu juga ada hubungannya dengan manusia. Perilaku orang juga sangat mempengaruhi, apalagi yang namanya berlalu lintas,” katanya.

Dalam konteks ini, ia menilai bahwa langkah konkret jauh lebih penting dibanding wacana berulang yang tidak kunjung menghasilkan solusi.

Komitmen kebijakan, keberanian institusi, dan ketegasan dalam mengelola perubahan dinilai menjadi syarat mutlak bagi lahirnya sistem transportasi publik yang layak dan berkelanjutan di Kota Samarinda.

“Tergantung kebijakan pemerintah kotanya saja dan keberaniannya untuk memulai,” tutupnya. (*)

Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram.

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved