Berita Kukar Terkini

RDP Komisi I DPRD Kukar dengan Pedagang Pasar Tangga Arung, Bahas Polemik Retribusi Pasar

RDP antara Komisi I DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) dan sejumlah perwakilan pedagang Pasar Tangga Arun

TRIBUNKALTIM.CO/PATRICK VALLERY SIANTURI
RAPAT DENGAR PENDAPAT - suasana RDP perwakilan pedagang Pasar Tangga Arung berlangsung hangat pada Jumat(1/8/2025). Ia menjelaskan niat para pedagang untuk membayar tetap ada, namun kondisi ekonomi yang belum pulih membuat mereka butuh kebijakan yang lebih berpihak.(TRIBUNKALTIM.CO/PATRICK VALLERY SIANTURI) 

TRIBUNKALTIM.CO, TENGGARONG – Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi I DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) dan sejumlah perwakilan pedagang Pasar Tangga Arung berlangsung hangat pada Jumat(1/8/2025).

Pertemuan ini digelar untuk menanggapi keluhan para pedagang terkait penagihan retribusi pasar yang dinilai tidak adil dan tidak transparan.

Koordinator Pedagang Pasar Tangga Arung, Syahrudin Nor, menyampaikan secara gamblang sejumlah persoalan yang selama ini dirasakan para pedagang.

Baca juga: MHU Luruskan Isu, Danau Bukit Lontar di Desa Margahayu Kukar Bukan Lubang Bekas Tambang

Dalam forum RDP tersebut, ia menegaskan  persoalan retribusi bermula dari kebijakan sepihak pada tahun 2017-2018 yang tidak pernah disepakati bersama.

“Tuntutan kami itu jelas. Pertama, terkait masa COVID-19 dan kebijakan tahun 2017-2018, yang menurut kami perda-nya tidak jelas. Dari kami, tidak ada yang menyetujui. Dulu, karena tidak ada kesepakatan, banyak yang tidak membayar karena sifatnya sepihak.” jelasnya.

Syahrudin juga menyebut bahwa besarnya nilai tagihan sangat membebani pedagang.

“Sekarang kami malah dikejar untuk membayar retribusi tahun 2017, padahal nilainya naik hingga seribu persen.” ucapnya.

Ia kemudian membandingkan kebijakan Kukar dengan beberapa daerah lain yang dinilai lebih bijak dalam memperlakukan pelaku usaha kecil.

“Kedua, acuan kami berasal dari daerah-daerah lain seperti Gorontalo, Bengkulu, dan lainnya. Di sana, selama masa COVID, pajak dan retribusi itu dihapuskan. Tapi di Kukar, kenapa tidak? Kami tidak tahu, padahal itu bisa jadi kebijakan yang adil.” ucapnya.

Dalam RDP tersebut, ia turut menekankan pedagang pasar tradisional seharusnya dilihat sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan yang perlu mendapat perlindungan dan dukungan dari pemerintah.

“Ketiga, kami ini pelaku ekonomi rakyat UMKM. Di daerah lain, UMKM itu disupport, diberi tempat berdagang, bahkan diberi tenda dan tidak dipungut pajak. Tapi kami, yang sudah puluhan tahun berjualan, justru terus dikejar-kejar.” ucapnya.

Ia menjelaskan niat para pedagang untuk membayar tetap ada, namun kondisi ekonomi yang belum pulih membuat mereka butuh kebijakan yang lebih berpihak.

“Bukan berarti kami tidak mau bayar, tapi situasinya berbeda. Kondisi saat COVID dan kenaikan tarif itu membuat banyak kawan-kawan merasa keberatan. Bahkan, untuk kebutuhan sekolah anak saja sudah pas-pasan.” jelasnya.

Ia pun mengusulkan solusi berupa kebijakan cicilan atau kelonggaran waktu pembayaran.

“Seandainya ada kebijakan perpanjangan waktu, agar kami bisa tetap menempati lapak, memperbaiki ekonomi pelan-pelan sambil mencicil retribusi itulah sebenarnya tuntutan kami.” ucapnya.

Terkait pola penagihan yang dianggap tidak sesuai prosedur, Syahrudin menuturkan keresahan yang timbul akibat batas waktu pembayaran dan ancaman penghapusan data pedagang.

“Dari pihak dinas, katanya batas waktu pembayaran sampai Agustus ini. Kalau tidak, nama kami akan dihapus, atau bahkan dicoret dari daftar pedagang. Ini yang membuat kami resah.” tuturnya.

Ia juga mengangkat dugaan pungutan liar (pungli) karena proses penagihan dilakukan tanpa dokumen resmi yang seharusnya dikeluarkan oleh instansi pemerintah.

“Terlebih lagi, ada isu yang ramai di media sosial tagihan retribusi hanya ditulis di secarik kertas, tanpa kop surat, tanpa blanko resmi. Tidak ada karcis atau bukti resmi lainnya. Ini yang menimbulkan kecurigaan.” jelasnya.

Menurutnya, penagihan yang dilakukan tanpa bukti resmi justru berpotensi merugikan pedagang dalam jangka panjang.

“Seandainya kami membayar, harusnya ada karcis resmi yang menunjukkan berapa jumlah yang kami bayar setiap bulan. Tapi kenyataannya, karcis itu sudah tidak berlaku lagi selama beberapa tahun terakhir.” ucapnya.

Ia bahkan menyebutkan pencatatan selama ini hanya dilakukan secara manual tanpa standar administrasi yang jelas.

“Catatan yang kami terima hanya berupa tulisan tangan, kira-kira sejak 2023. Sekarang kami diminta untuk tertib bayar pajak, tapi dari pihak penagih sendiri tidak tertib administrasi.” jelasnya.

Syahrudin pun menutup pernyataannya dengan seruan agar semua pihak menjalankan aturan secara adil.

“Artinya, jangan hanya kami yang dituntut patuh aturan. Mereka yang menagih juga harus mengikuti aturan, harus transparan.” katanya.

Ia juga menyoroti potensi hilangnya data pembayaran jika tidak dicatat secara resmi.

“Kami juga mempertanyakan kalau catatan pembayaran hanya dipegang masing-masing pihak, tanpa dokumen resmi, bagaimana kalau catatan itu hilang? Apakah pembayaran kami dianggap sah?” pungkasnya. (*)

 

 

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved