“Di situ (kebun) masih ada pisang, ubi dan tanaman lain yang bisa dipanen makan.
Sekarang sudah enggak ada. Kita sekarang usaha engga bisa, panen sawit engga bisa, apa-apa ga bisa. Mau kerja kemana, mau panen kebun tidak ada,” sambung dia dilema.
Saat dipanggil ke kantor kecamatan untuk sosialisasi ganti rugi, Hamidah tak bisa menolak meski itu kebun satu-satunya.
Karena rata-rata warga yang hadir setuju melepas lahan dan diganti uang.
Hamidah tidak punya pengetahuan yang cukup soal pilihan ganti rugi.
Meski, Peraturan Pemerintah (PP) 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, memberi beragam opsi.
Pasal 76 menyebutkan, ganti rugi lahan bisa berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
“Enggak ngerti Pak, yang begituan. Lagi pula semua warga terima duit, masa saya minta lahan (kebun) pengganti sendirian,” kata dia.
Selain kebun, rumah dan lahan Hamidah seluas kurang lebih 400 meter persegi, yang kini ia tinggal pun, dalam waktu dekat bakal dibebaskan pemerintah karena masuk KIPP IKN.
Tim penilai sudah melakukan pengukuran, tinggal membayar uang ganti rugi. Hamidah dan anaknya hanya pasrah mendiami rumah tersebut, sambil menunggu pembayaran ganti rugi lalu berencana hengkang keluar Sepaku, pindah ke kabupaten lain.
“Saya dan anak rencana pindah ke Grogot (Kabupaten Paser) menetap di sana (kampung orangtua).
Di sini kami sudah tidak mampu, tidak ada kebun lagi, beli tanah di sini pun mahal,” ungkap Hamidah.
Uang ganti rugi yang ia terima, tak mampu membeli lahan baru untuk berkebun, karena harga tanah di lokasi sekitar IKN sudah melonjak tinggi, mencapai Rp 2 – 3 juta per meter.
Sementara, nilai ganti rugi yang diterima warga, hanya berkisar Rp 115.000 sampai Rp 300.000 per meter persegi.
Untuk itu, setelah dibayarkan uang ganti rugi rumahnya, Hamidah akan pindah dari Sepaku, yang telah ia tempati puluhan tahun lamanya. Hadirnya IKN menghilangkan ruang hidupnya.
Ganti Lahan Hanya Janji
Tetangga Hamidah, Thomy Thomas Tasib membenarkan kondisi yang dialami Hamidah.
Rumah keduanya hanya berjarak 50 meter di tepi jalan Desa Bumi Harapan, sekitar satu kilometer dari titik nol IKN.
Thomy mengatakan selama ini pemerintah kadang mensosialisasikan lahan pengganti bagi warga yang berdampak IKN, tapi hanya omong kosong tidak ada realisasi.
“Ngomong aja, enggak ada lahan yang disiapkan. Buktinya sampai sekarang enggak ada lahan yang disiapkan buat relokasi warga.
Mana lahannya? Enggak ada. Kita tanya mereka kadang jawab enggak nyambung, jadi warga malas nanya,” ungkap Thomy sedikit kesal.
Thomy mengatakan pemerintah juga mengingkari janji tak mengganggu warga sekitar karena pembangunan IKN.
Sebab, Hamidah menjadi salah satu bukti, tersingkir dari kampung sendiri karena kehilangan kebun dan rumahnya.
“Ibu Hamidah itu kasihan. Kebun sudah diambil, tinggal rumah satu-satunya ibu ini.
Ibu masih bertahan kalau sudah dibayar rumahnya, dia tidak tinggal di sini lagi. Nasib sama juga mungkin kami alami ke depan,” khawatir Thomy.
Camat Sepaku, Waluyo mengaku baru mengetahui kisah Hamidah saat dikonfirmasi Kompas.com.
Waluyo mengaku belum menerima keluhan masyarakat soal ganti rugi lahan atau pun kehilangan lahan seperti yang dialami Hamidah.
“Saya perlu cek dulu ke lapangan ya. Karena saya belum terima keluhan warga,” kata dia singkat.
Meski demikian, Waluyo mengakui soal nilai ganti rugi lahan yang dikeluhkan bukan kewenangan pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat.
“Kalau harga tidak cocok dengan warga, itu yang beri harga tim penilai. Itu kewenangan pemerintah pusat, pemda tidak ikut campur,” pungkas dia.
Baca juga: Warga yang Lahannya Masuk Kawasan IKN Nusantara Kecewa, Ganti Rugi tak Cukup untuk Beli Lahan Baru
(*)