Gibran Digugat ke Pengadilan

2 Syarat Damai dari Penggugat Ijazah Gibran, Tak Lagi Minta Rp 125 Triliun

Menariknya, dalam proposal tersebut, Subhan mencabut tuntutan ganti rugi fantastis senilai Rp 125 triliun yang sebelumnya ia ajukan.

Kolase Tribunnews
PENGGUGAT GIBRAN - Subhan Palal (kiri) menggugat Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka (kanan). Sebab, menurut Subhan, Gibran tak punya ijazah SMA. Mulanya, Subhan Palal minta Rp 125 Triliun untuk berdamai, kini ajukan 2 syarat jika ingin berdamai (Kolase Tribunnews) 

TRIBUNKALTIM.CO - Sidang gugatan perdata terhadap Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka terkait dugaan ketidaksesuaian ijazah SMA masih terus berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Dalam perkembangan terbaru, penggugat bernama Subhan Palal mengajukan proposal perdamaian yang berisi dua syarat utama agar perkara ini bisa diselesaikan secara damai.

Adapun dalam proposal tersebut, Subhan Palal mencabut tuntutan ganti rugi fantastis senilai Rp 125 triliun yang sebelumnya ia ajukan.

Dua Syarat Damai dari Penggugat

Dalam proses mediasi yang digelar secara tertutup pada Senin (6/10/2025), Subhan Palal menyampaikan dua syarat perdamaian yang menurutnya menjadi kunci penyelesaian perkara.

Ia meminta agar para tergugat, yakni Gibran Rakabuming Raka selaku Tergugat I dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku Tergugat II, menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada seluruh warga negara Indonesia, serta mundur dari jabatannya masing-masing.

Baca juga: Mediasi Gugatan Ijazah Gibran Digelar Tertutup, Penggugat Tidak Jadi Minta Uang Damai Rp125 Triliun

“Pertama, Para Tergugat minta maaf kepada warga negara, kepada bangsa Indonesia, baik Tergugat 1 maupun Tergugat 2. Terus, Tergugat 1 dan Tergugat 2 selanjutnya harus mundur,” ujar Subhan usai mediasi di PN Jakarta Pusat, dikutip dari Tribunnews.

Subhan menilai, permintaan maaf itu penting sebagai bentuk tanggung jawab moral atas kekisruhan hukum yang terjadi akibat proses pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden.

Sementara itu, permintaan mundur dimaksudkan agar ke depan tidak terjadi lagi pelanggaran serupa yang mencederai konstitusi.

“Syarat kedua, Tergugat I dan Tergugat II selanjutnya harus mundur dari jabatannya masing-masing,” sambung Subhan.

Dengan demikian, Gibran diminta melepaskan jabatannya sebagai Wakil Presiden, sedangkan para komisioner KPU RI diminta mundur secara kolektif kolegial dari lembaganya.

Tak Lagi Tuntut Rp 125 Triliun

Dalam kesempatan yang sama, Subhan menegaskan bahwa dirinya tidak lagi menuntut ganti rugi uang senilai Rp 125 triliun seperti yang tercantum dalam gugatan awalnya.

Ia menolak jika penyelesaian perkara ini diukur dengan materi.

“Tadi, mediator minta bagaimana tentang tuntutan ganti rugi. Enggak usah. Saya enggak butuh duit,” tegasnya.

Menurut Subhan, tuntutan tersebut bukanlah syarat perdamaian, karena inti perjuangannya adalah menegakkan hukum, bukan mencari keuntungan pribadi.

Ia menyebut, yang dibutuhkan warga negara Indonesia adalah pemimpin yang bersih secara hukum, bukan uang dalam jumlah besar.

“Warga negara butuh kesejahteraan dan pemimpin yang tidak cacat hukum, bukan uang,” ujarnya menambahkan.
 
Latar Belakang Gugatan

Gugatan Subhan terhadap Gibran berawal dari dugaan ketidaksesuaian riwayat pendidikan Gibran saat mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2024.

Menurut Subhan, Gibran tidak memenuhi salah satu syarat utama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 169 huruf (r) yang menyebutkan bahwa calon presiden dan calon wakil presiden harus memiliki pendidikan sekurang-kurangnya tamat sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat.

Dalam gugatannya, Subhan menilai bahwa ijazah SMA Gibran tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia, sehingga proses pendaftarannya sebagai calon wakil presiden dianggap cacat hukum.

Selain Gibran, KPU RI ikut digugat karena dianggap turut serta dalam “perbuatan melawan hukum” dengan meloloskan pencalonan Gibran tanpa verifikasi yang sah.

“Begitu tergugat II (KPU) masuk, terjadi unsur perbuatan melawan hukum menjadi sempurna,” pungkas Subhan.

Istilah “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad) dalam hukum perdata merujuk pada tindakan seseorang atau lembaga yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, atau kepatutan, dan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Gugatan jenis ini diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Isi Gugatan dan Petitum

Dalam dokumen gugatan yang diajukan ke PN Jakarta Pusat, Subhan menuliskan tujuh poin utama atau petitum (permohonan yang diajukan penggugat kepada hakim).

Berikut isi lengkapnya sebagaimana dikonfirmasi oleh Juru Bicara II PN Jakarta Pusat, Sunoto, pada Rabu (3/9/2025):

- Mengabulkan gugatan dari penggugat untuk seluruhnya.

- Menyatakan Tergugat I (Gibran) dan Tergugat II (KPU) bersama-sama telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan segala akibatnya.

- Menyatakan Tergugat I tidak sah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024–2029.

- Menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada penggugat dan seluruh warga negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta, disetorkan ke kas negara.

- Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad) meskipun ada upaya hukum banding atau kasasi.

- Menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 100 juta setiap hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan pengadilan.

- Menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar seluruh biaya perkara.

Istilah tanggung renteng berarti kedua tergugat memiliki tanggung jawab hukum bersama atas seluruh kewajiban pembayaran, tanpa bisa mengalihkan tanggung jawab tersebut ke salah satu pihak saja.

Sedangkan dwangsom adalah denda atau uang paksa yang harus dibayar setiap hari jika pihak tergugat terlambat melaksanakan putusan pengadilan.

KPU Turut Digugat

Subhan menilai, keterlibatan KPU RI dalam perkara ini sangat krusial karena lembaga tersebut dianggap sebagai penyelenggara yang meloloskan Gibran dalam pencalonan tanpa memenuhi seluruh syarat administratif.

Ia menilai, tanpa persetujuan dan tindakan KPU, pencalonan Gibran tidak akan pernah terjadi.

Oleh sebab itu, KPU dijadikan Tergugat II dalam perkara ini. Subhan bahkan menegaskan bahwa “unsur perbuatan melawan hukum menjadi sempurna” justru karena adanya keterlibatan lembaga penyelenggara pemilu itu.

 Proses Mediasi dan Tahapan Lanjut

Mediasi antara penggugat dan tergugat di PN Jakarta Pusat menjadi bagian dari prosedur hukum yang wajib ditempuh sebelum perkara masuk ke tahap pembuktian di persidangan.

Dalam sistem peradilan perdata, mediasi bertujuan untuk membuka peluang perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa tanpa perlu melanjutkan perkara hingga putusan hakim.

Dalam mediasi kedua yang digelar pada Senin (6/10/2025), Subhan menyerahkan proposal perdamaian kepada mediator.

Pihak tergugat, yakni Gibran dan KPU, akan memberikan tanggapannya dalam agenda mediasi lanjutan yang dijadwalkan pada Senin (13/10/2025) mendatang.

“Proses mediasi ini akan berlanjut ke pekan depan, dengan agenda tanggapan para tergugat terhadap proposal perdamaian dari penggugat,” ujar salah satu pejabat PN Jakarta Pusat.

Sosok Subhan Palal

Subhan Palal berprofesi sebagai pengacara alias advokat. 

Ia juga memiliki firma hukum sendiri yaitu Subhan Palal & Rekan yang beralamat di Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Dalam sebuah situs blog, Subhan menulis, firma hukumnya akan melayani jasa hukum dengan sepenuh hati, familiar, dan friendly dengan tetap mengutamakan profesinalisme bidang jasa hukum.

Selain itu, firma hukum Subhan Palal & Rekan didukung oleh sekumpulan orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas di bidang hukum.

Dari penelusuran Tribunnews.com, Subhan Palal memiliki nama dan gelar lengkap yaitu Haji Muhammad Subhan Palal SH MH.

Subhan Palal juga diketahui merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tahun 2018.

Ia memajang foto wisudanya melalui akun Instagram @subhanpalal yang diikuti oleh lebih dari 1.400 follower.

Bahkan beberapa waktu yang lalu, Subhan Palal mem-posting foto bersamanya dengan mahasiswa UI lainnya yang kompak memakai jaket almamater kuning.

Dalam caption-nya, ia seolah menyindir sosok yang ijazahnya palsu. 

"Berani nggak yang punya ijazah palsu," tulis Subhan Palal.

Dalam sebuah video, Subhan Palal pernah meminta KPU untuk tidak terburu-buru menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden terpilih meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskannya.

Pada Februari 2025 lalu, Subhan Palal juga mengajukan permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 2.

Dikutip dari akun Facebook milik MK, Subhan menguji frasa "orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang".

Menurutnya, dalam pengisian jabatan, baik di tingkat eksekutif seperti Presiden/Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Wali Kota, maupun di legislatif seperti MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta di lembaga negara seperti BPK dan ASN, persyaratan utama adalah kewarganegaraan Indonesia. 

Namun, kenyataannya, banyak orang dari bangsa lain yang tidak memiliki pengesahan sebagai WNI justru mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Sementara itu, dalam gugatan perdatanya, Subhan Palal menyebut, Gibran tidak memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden.

Sebab, putra sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi itu tidak menempuh pendidikan menengah yang diselenggarakan berdasarkan hukum Indonesia.

Subhan mengatakan, Gibran menyelesaikan pendidikan SMA di Orchid Park Secondary School, Singapura.

Hal tersebut menurutnya tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu. 

Ia menilai KPU turut bertanggung jawab karena tetap meloloskan pencalonan tersebut.

"Syarat menjadi cawapres tidak terpenuhi. Gibran tidak pernah sekolah SMA sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI," ujar Subhan.

Gugatan ini diajukan sebagai bentuk keberatan hukum dan permintaan agar jabatan Wapres dibatalkan melalui jalur perdata. 

Subhan menyatakan, seluruh kerugian yang ditimbulkan harus dikembalikan kepada negara.

Oleh karena itu, selain ganti rugi, Subhan meminta pengadilan menghukum Gibran dan KPU untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp100 juta per hari jika lalai melaksanakan putusan pengadilan.

Ia meminta agar para tergugat menanggung seluruh biaya perkara yang timbul.

Dalam sebuah wawancara, Subhan menggugat Gibran dan KPU atas niat sendiri, bukan dorongan orang lain. 

Ia membantah ada aktor-aktor politik yang membekingi dirinya untuk menggugat Gibran

"Saya maju sendiri. Enggak ada yang sponsor," kata Subhan dalam program Sapa Malam yang ditayangkan melalui Youtube Kompas TV, Rabu malam.

Ia mengatakan, gugatannya ini berangkat dari dugaan KPU sempat mengalami tekanan ketika Gibran mencalonkan diri. 

"Saya lihat, hukum kita dibajak nih kalau begini caranya. Enggak punya ijazah SMA (tapi bisa maju Pilpres). Ada dugaan, KPU kemarin itu terbelenggu relasi kuasa," lanjutnya.

Subhan Palal pun menegaskan, gugatannya adalah murni masalah hukum (view hukum), bukan politik

Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Ini Sosok Subhan Palal, Warga yang Nekad Gugat Gibran Rp 125 T, Ternyata Alumni UI

Artikel ini telah tayang di TribunPalu.com dengan judul Bukan Uang, Ini Syarat Damai Penggugat Ijazah Gibran, Wapres dan KPU Diminta Mundur

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gibran dan KPU RI Diminta Mundur dan Minta Maaf Kalau Mau Damai dengan Penggugat Rp 125 T"

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved