Berita Nasional Terkini

Kasus Silfester Matutina Belum Dieksekusi Usai 6 Tahun Inkrah, Ahmad Khozinudin: Jaksa Lalai

Ahmad Khozinudin menilai mandeknya eksekusi terhadap Silfester Matutina menunjukkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Editor: Heriani AM
(Tribunnews)
KASUS SILFESTER MATUTINA - Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina bertemu dengan Presiden Joko Widodo Selasa pagi, 2 April 2024 di Istana Bogor. Koordinator Tim Advokasi Antikriminalisasi Akademisi, Ahmad Khozinudin, menyoroti mandeknya proses eksekusi terhadap relawan pendukung Joko Widodo (Jokowi), Silfester Matutina, yang telah divonis bersalah dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK).  

"Nah, RJ ini adalah sebuah proses untuk menghilangkan proses hukum setelah ada permohonan dan penerimaan maaf dan itu bagian dari rekonsiliasi antara korban maupun dengan yang ditersangkakan, dan menurut penasihat hukum, hal itu sudah terjadi," tegas David.

Baca juga: Bantah Masa Eksekusi Silfester Sudah Kedaluwarsa, Refly Harun: Kejaksaan Itu Tidak Bodoh

Bahkan, David menyebut sudah ada kasus-kasus sebelumnya yang bisa menjadi yurisprudensi atas RJ ini, seperti kasus di Boyolali dan Banyumas.

Sebagai informasi, yurisprudensi adalah kumpulan putusan hakim terdahulu yang menjadi pedoman bagi hakim lain dalam memutuskan perkara yang serupa, terutama ketika ada kekosongan atau ketidakjelasan hukum dalam undang-undang. 

Yurisprudensi berfungsi menciptakan kepastian hukum dan melengkapi undang-undang, serta merupakan sumber hukum formal di Indonesia

"Restorative justice ini sudah ada yurisprudensi. Ada beberapa case, ada di Boyolali, di Banyumas," ujar David.

"Beberapa orang yang kedapatan mencuri lalu sudah proses sidang, sudah terdakwa, tetapi dipertemukan, difasilitasi dan ada permohonan maaf korban menerima selesai," tambahnya.

Ahmad Khozinudin: Anggapan Eksekusi Silfester Sudah Daluarsa dan Adanya Restorative Justice Membodohi Masyarakat

Ahmad Khozinudin yang juga pengacara pakar telematika Roy Suryo itu menilai, alasan daluarsa dan RJ tidak bisa diterapkan dalam proses eksekusi terhadap Silfester Matutina.

Ia pun mengingatkan, ada perbedaan antara yurisprudensi dan preseden.

Menurutnya, suatu proses hukum bisa disebut yurisprudensi jika sudah ada putusan, kalau belum ada putusan, itu baru preseden saja.

Ahmad menilai, dalih daluarsa dan restorative justice dalam perkara Silfester Matutina ini justru membodohi masyarakat.

"Jadi saya ingin luruskan ya. Janganlah masyarakat dibikin bodoh dengan statement yang menambah bencana dua kali," kata Ahmad, dalam program Kompas Petang, Senin.

"Bencana pertama, kita lihat negara kita tuh kalah dengan seorang terpidana. Bencana yang kedua, masyarakat menjadi bodoh karena seolah-olah tindakan jaksa mengeksekusi itu keliru karena dianggap sudah daluarsa lah, ada restorative justice lah, dan seterusnya," tegasnya.

"Dan harus dibedakan namanya yurisprudensi dengan preseden. Kalau presedennya ada, iya tapi belum sampai putusan, belum menjadi yurisprudensi," paparnya.

"Jadi, ada perbedaan nomenklatur antara preseden dan itu juga perlu dipertanyakan presedennya seperti apa, kasusnya seperti apa," katanya.

Baca juga: Kejaksaan Agung Minta Kuasa Hukum Serahkan Silfester Matutina

Menurut Ahmad, Jaksa sudah lalai karena tidak kunjung melakukan eksekusi terhadap Silfester Matutina padahal putusan sudah inkrah, dan restorative justice hanya berlaku saat sebelum penuntutan di level kejaksaan.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved