Demo di Jakarta
Formappi soal Putusan MKD yang Tak Pecat Sahroni Cs dari DPR: Mengamankan Nasib Teman Sendiri
Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang tidak memecat lima anggota DPR nonaktif menuai kritik tajam dari berbagai pihak
Ringkasan Berita:
- Formappi menilai putusan MKD yang tak memecat Sahroni Cs sudah bisa ditebak dan menunjukkan sikap saling melindungi antaranggota DPR
- Sidang MKD dinilai terlalu singkat, tanpa pembelaan, dan tidak menghadirkan ahli etik independen
- Dari lima anggota DPR nonaktif, tiga dijatuhi sanksi nonaktif sementara, dua dinyatakan tidak bersalah. Publik menilai keputusan MKD terlalu lunak.
TRIBUNKALTIM.CO - Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang tidak memecat lima anggota DPR nonaktif yaitu Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, Uya Kuya, dan Adies Kadir — menuai kritik tajam dari berbagai pihak.
Salah satunya datang dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang menilai keputusan tersebut sudah bisa ditebak sejak awal dan menunjukkan upaya penyelamatan terhadap sesama anggota DPR.
Formappi Nilai Putusan MKD Sudah Bisa Ditebak
Peneliti Formappi, Lucius Karus, menyampaikan bahwa keputusan MKD pada sidang yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Rabu (5 November 2025), memperlihatkan pola lama di mana lembaga etik DPR tampak lebih mengutamakan solidaritas internal dibanding menegakkan kehormatan parlemen.
“Saya kira sih keputusan MKD memang sudah bisa diduga sebelumnya. Keputusan sebagaimana dibacakan hari ini memang nampaknya sudah sejak awal diniatkan oleh MKD,” kata Lucius kepada wartawan, Rabu (5/11/2025).
Baca juga: Alasan MKD Putuskan Adies Kadir Tak Langgar Etik dan Kembali Aktif jadi Anggota DPR
Menurut Lucius, keputusan tersebut memperlihatkan bahwa komitmen MKD dalam menjaga marwah (kehormatan) parlemen sangat lemah.
Sebab, hanya tiga dari lima anggota DPR yang dijatuhi sanksi, sementara dua lainnya dinyatakan tidak bersalah.
“Kode etik DPR itu dibuat untuk menjaga kehormatan dan wibawa DPR. Jadi perbuatan atau aksi kelima anggota itu harusnya dikomparasikan dengan kode etik, bukan dengan apakah ada pihak yang dirugikan atau tidak,” ujarnya.
Lucius menambahkan bahwa keputusan MKD tersebut bukanlah bentuk penegakan etika, melainkan bentuk solidaritas internal antaranggota dewan.
“Jadi jelas bahwa keputusan MKD ini dan semua prosesnya memang untuk mengamankan nasib teman sendiri, bukan untuk menegakkan kehormatan DPR,” tuturnya.
Sidang MKD Dinilai Terlalu Singkat dan Minim Pembelaan
Formappi juga menyoroti proses sidang MKD yang dianggap terlalu singkat dan tidak memberi ruang cukup bagi para terlapor untuk menyampaikan pembelaan.
Dalam satu hari, MKD menggelar rapat menghadirkan saksi-saksi, kemudian keesokan harinya langsung membacakan keputusan.
“Bahkan saking sederhananya, tak ada waktu untuk mendengarkan pembelaan kelima anggota DPR nonaktif. Kan mestinya ada dong waktu bagi anggota DPR terlapor itu untuk membela diri mereka,” tegas Lucius.
Lucius juga menyoroti absennya pakar etik independen dalam sidang MKD tersebut.
Menurutnya, kehadiran ahli etik independen sangat penting untuk memberikan pandangan objektif dan menjaga agar sidang tidak hanya menjadi formalitas internal.
Selain itu, Formappi menilai bahwa MKD terlalu berfokus pada narasi hoaks yang berkembang di media sosial, dan justru mengabaikan inti permasalahan etik yang lebih mendasar.
“Seolah-olah semua yang terjadi di akhir Agustus, lalu penonaktifan yang dibuat parpol, semua itu hanya korban dari hoaks,” ungkapnya.
Lima Anggota DPR Disidang, Tiga Dinyatakan Melanggar Etik
Sidang MKD DPR RI pada Rabu (5 November 2025) memutuskan bahwa tiga anggota DPR terbukti melanggar kode etik DPR, sementara dua lainnya tidak terbukti bersalah.
Kode etik DPR sendiri adalah seperangkat norma dan aturan perilaku yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota dewan untuk menjaga kehormatan, citra, dan integritas lembaga legislatif.
Pelanggaran terhadap kode etik dapat berujung pada sanksi administratif hingga pemecatan, tergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan.
Dalam sidang yang disiarkan melalui kanal resmi YouTube DPR RI, anggota MKD Adang Daradjatun membacakan hasil putusan:
- Adies Kadir (Teradu I) dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik terkait pernyataannya mengenai kenaikan gaji anggota DPR.
“Menyatakan teradu satu, DR. Ir. H Adies Kadir S.H, M.Hum., terbukti tidak melanggar kode etik. Meminta teradu satu untuk berhati-hati dalam menyampaikan informasi dan menjaga perilaku ke depannya,” ujar Adang.
Adies pun diaktifkan kembali sebagai anggota DPR RI.
- Nafa Urbach (Teradu II) dinyatakan melanggar kode etik karena menyebut kenaikan gaji dan tunjangan DPR sebagai hal yang pantas.
Ia disanksi nonaktif selama tiga bulan sejak putusan dibacakan.
“Menyatakan teradu, Nafa Urbach non aktif selama tiga bulan berlaku sejak tanggal putusan ini dibacakan yang dihitung sejak penonaktifan yang bersangkutan sebagaimana keputusan DPP Partai Nasional Demokrat,” kata Adang.
- Uya Kuya (Teradu III) dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik terkait perilakunya berjoget saat Sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus 2025. Ia pun diaktifkan kembali sebagai anggota DPR.
- Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio (Teradu IV) terbukti melanggar kode etik karena berjoget saat sidang kenegaraan dan membuat video parodi sebagai tanggapan terhadap kritik publik. Ia dijatuhi sanksi nonaktif selama empat bulan.
“Menghukum teradu empat, Eko Hendro Purnomo S.Sos non aktif selama empat bulan berlaku sejak tanggal putusan ini diputuskan yang dihitung sejak penonaktifan yang bersangkutan sebagaimana keputusan penonaktifan DPP Partai Amanat Nasional,” ujar Adang.
- Ahmad Sahroni (Teradu V) juga dinyatakan melanggar kode etik karena ucapannya yang dianggap merendahkan publik, yakni menyebut orang yang ingin membubarkan DPR sebagai “tolol”. Ia dijatuhi sanksi nonaktif selama enam bulan, yang merupakan sanksi terberat di antara rekan-rekannya.
Selain itu, MKD memutuskan bahwa ketiganya tidak akan menerima hak keuangan (gaji dan tunjangan) selama masa penonaktifan.
Konteks Kasus dan Awal Mula Sidang Etik
Sidang etik terhadap lima anggota DPR tersebut bermula dari demonstrasi besar di depan Gedung DPR RI, Senayan, yang berlangsung antara 25–31 Agustus 2025.
Aksi itu menelan korban jiwa dan memicu sorotan publik terhadap perilaku sejumlah wakil rakyat yang dinilai tidak pantas.
Aksi massa muncul setelah beredarnya unggahan media sosial, pernyataan publik, dan tindakan para anggota DPR yang dinilai tidak mencerminkan etika dan empati, terutama di tengah situasi sosial yang menegangkan saat itu.
Setelah menerima laporan dari masyarakat dan pimpinan dewan pada 4, 9, dan 30 September 2025, MKD memutuskan untuk menyidangkan kelima anggota tersebut.
Pemeriksaan dilakukan dalam beberapa tahap, termasuk mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari bidang hukum, kriminologi, sosiologi, dan perilaku.
Namun, menurut Formappi, proses tersebut terlalu cepat dan tampak hanya sebagai formalitas. Lucius Karus menyebut,
“Dalam satu hari MKD menghadirkan saksi, lalu keesokan harinya langsung memutuskan, tanpa ada ruang pembelaan yang memadai.”
Kritik dari Pengamat Politik
Selain Formappi, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, juga mengkritik hasil keputusan MKD.
Ia menilai, seharusnya MKD memperkuat keputusan partai politik yang sebelumnya telah menonaktifkan kelima anggota DPR tersebut.
Menurut Jamiluddin, keputusan MKD yang berbeda dari keputusan partai berpotensi menimbulkan kesan adanya kompromi politik di tengah sorotan publik terhadap perilaku anggota DPR.
Sebagian pengamat menilai bahwa hasil sidang ini mencerminkan adanya “politik saling melindungi” di kalangan anggota DPR, terutama terhadap figur publik baru di parlemen seperti Uya Kuya dan Nafa Urbach yang memiliki pengaruh besar di media.
Puan Maharani: Kita Hormati Keputusan MKD
Menanggapi keputusan tersebut, Ketua DPR RI Puan Maharani meminta masyarakat untuk menghormati putusan MKD.
Ia menilai lembaga tersebut telah menjalankan mekanisme etik yang berlaku di DPR.
“Kita hormati keputusan MKD,” ujar Puan usai sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (6/11/2025).
Meski demikian, pernyataan Puan tak cukup meredam kritik publik yang menilai putusan tersebut terlalu lunak.
Banyak pihak menilai MKD seharusnya menunjukkan ketegasan untuk menjaga integritas DPR di mata rakyat.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Putusan MKD: 3 Anggota DPR Langgar Kode Etik, Ahmad Sahroni Disanksi Dinonaktifkan 6 Bulan
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Sahroni Cs Lolos dari Pemecatan, MKD DPR Dinilai Selamatkan Teman Sendiri, Formappi Kritik Sidangnya
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251106_sahroni-cs-mkd.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.