Gelar Pahlawan Nasional

Soal Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, PDIP: Pemerintah Seperti Tuli dan Abai

PDIP mengkritik Pemerintah yang dinilai mengabaikan suara publik yang menolak Soeharto jadi Pahlawan Nasional, Senin (10/11/2025).

Tangkap layar KompasTV
SOEHARTO PAHLAWAN NASIONAL - Dalam foto: Putri sulung mendiang Mantan Presiden RI Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut Soeharto bersama sang adik, Bambang Trihatmodjo, saat acara penganugerahan gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, dalam peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada Senin (10/11/2025) hari ini. Berbicara kepada wartawan setelah acara penganugerahan selesai, Tutut Soeharto menanggapi polemik pro-kontra yang melingkupi pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. (Tangkap layar KompasTV) 

Ringkasan Berita:
  • PDIP menilai pemerintah mengabaikan suara publik yang menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto
  • Andreas Hugo Pareira menegaskan bahwa penghargaan terhadap tokoh bangsa harus mempertimbangkan sejarah secara utuh
  • Rekonsiliasi nasional, menurut PDIP, hanya bisa dicapai melalui kejujuran terhadap sejarah, bukan dengan menghapus atau menutupi jejak masa lalu demi kepentingan politik tertentu.

TRIBUNKALTIM.CO -  PDIP mengkritik mantan presiden Indonesia, Soeharto jadi Pahlawan Nasional.

Pemerintah dinilai mengabaikan suara publik yang menolak Soeharto jadi Pahlawan Nasional.

Kritik ini disampaikan oleh politisi PDIP yang juga Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, Senin (10/11/2025).

Andrea menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah terkait penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Baca juga: Nama-nama 10 Tokoh yang Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Ada Soeharto dan Gus Dur

Politikus PDI Perjuangan itu menilai pemerintah bersikap abai terhadap berbagai penolakan dari masyarakat yang menilai Soeharto memiliki rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama masa Orde Baru.

“Sudah berapa banyak penolakan dari kelompok masyarakat, bahkan dari rakyat Indonesia sendiri, terhadap pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. Tapi pemerintah seperti tuli dan mengabaikan,” ujar Andreas dalam keterangan tertulis, Senin (10/11/2025).

Adapun Presiden RI ke-2 Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada Senin (10/11/2025) hari ini.

Pemberian gelar tersebut dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Penganugerahan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Keppres tersebut ditandatangani Prabowo pada 6 November 2025.

Pemberian Gelar Harus Berdasarkan Nilai Sejarah, Bukan Kepentingan Politik

Andreas menekankan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional bukan sekadar bentuk penghargaan, melainkan bagian dari upaya menjaga kesinambungan sejarah dan identitas bangsa.

Ia mengingatkan agar proses tersebut tidak dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan politik atau kelompok tertentu.

“Jangan sampai pemberian gelar Pahlawan Nasional hanya demi kepentingan politik atau kelompok tertentu, karena itu akan mencederai rasa keadilan rakyat,” tegasnya.

SOEHARTO PAHLAWAN NASIONAL - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/9/2025). Andrea menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah terkait penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, Senin (10/11/2025).(KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)
SOEHARTO PAHLAWAN NASIONAL - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/9/2025). Andrea menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah terkait penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, Senin (10/11/2025).(KOMPAS.com/Syakirun Ni'am) (KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)

Soroti catatan pelanggaran HAM

Dalam kasus Soeharto, anggota komisi bidang hak asasi manusia (HAM) ini berpandangan bahwa negara seharusnya mempertimbangkan catatan sejarah pelanggaran HAM dan praktik kekuasaan represif.

Dia mengingatkan bahwa terdapat sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang selama ini dikaitkan dengan pemerintahan Orde Baru.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved