Gelar Pahlawan Nasional
Soal Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, PDIP: Pemerintah Seperti Tuli dan Abai
PDIP mengkritik Pemerintah yang dinilai mengabaikan suara publik yang menolak Soeharto jadi Pahlawan Nasional, Senin (10/11/2025).
Menurut Romo Magnis, Soeharto memang memiliki sejumlah jasa bagi Indonesia, tetapi rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan praktik korupsi yang terjadi selama masa pemerintahannya tidak dapat diabaikan ketika membicarakan gelar setinggi pahlawan nasional.
Ia menyebut, Soeharto berjasa membawa Indonesia keluar dari krisis politik dan ekonomi pada masa Orde Lama, mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia sehingga meningkatkan hubungan regional, serta berperan dalam pembangunan nasional.
Namun, menurut dia, kontribusi tersebut tidak menghapus fakta sejarah mengenai pelanggaran HAM berat selama Orde Baru.
"Seorang pahlawan nasional butuh dari sekedar itu (berjasa kepada negara). Dan jelas bahwa ia tidak melakukan hal-hal yang jelas melanggar etika dan mungkin juga jahat. (Sebab) Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto yang paling bertanggung jawab satu dari lima genosida terbesar di abad 20," ujar Magnis dalam konferensi pers di Kantor LBH, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Sejumlah peristiwa yang disebut terkait pelanggaran HAM pada masa Soeharto antara lain pembunuhan dan penahanan massal pasca-1965, represi terhadap gerakan mahasiswa pada 1970-an, penembakan misterius (petrus) pada awal 1980-an, hingga penanganan demonstrasi menjelang kejatuhan rezim tahun 1998.
Selain aspek pelanggaran HAM, Romo Magnis menilai Soeharto tidak layak disebut pahlawan karena praktik korupsi yang menguntungkan keluarga dan lingkaran dekatnya.
"Dia memperkaya keluarga, dia memperkaya orang-orang yang dekatnya. Kaya dengan dirinya sendiri itu bukan sikap pahlawan nasional. Seorang pahlawan nasional diarahkan bahwa dia tanpa pamrih memajukan bangsa," ucapnya.
"Dan (pahlawan nasional) tidak mau beruntung sendiri. Bagi saya ini alasan yang sangat kuat bahwa Soeharto jangan dijadikan pahlawan nasional," tegas Magnis.
2. AJI, ELSAM, LBH Pers, dan SAFEnet
Sejumlah organisasi masyarakat sipil telah terang-terangan menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
Mereka menilai, Soeharto tidak layak menerima gelar tersebut karena rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktik korupsi, dan pembungkaman kebebasan sipil selama rezim Orde Baru.
Penolakan ini disampaikan dalam jumpa pers yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), LBH Pers, dan SAFEnet, sebagai bagian dari Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas), di Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025).
Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, menyebut dukungan DPR dan Menteri Kabinet terhadap gelar tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap akal sehat dan fakta sejarah.
“DPR buta dan tuli karena sama seperti menteri. Bukti-buktinya banyak. Ini mempermalukan dirinya sendiri,” kata Bayu.
Ia menegaskan bahwa secara moral dan historis, Soeharto tidak pantas dijadikan pahlawan nasional.
“Faktanya dia banyak kejahatannya. Kalau sebuah masa gelap tidak pernah diakui, maka akan terulang lagi,” ujarnya.
Bayu juga mengingatkan bahwa Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sendiri telah mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk tragedi 1965.
“Jokowi kan sudah mengakui ada 12 pelanggaran HAM dan itu termasuk 1965. Mau bukti apa lagi?” tukasnya.
Peneliti ELSAM, Octania Wynn, menyebut empat alasan utama mengapa Soeharto tidak layak diberi gelar pahlawan nasional.
- Jejak pelanggaran HAM berat.
- Pelanggaran prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.
- Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
- Tidak memenuhi syarat nilai kemanusiaan dan keteladanan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Octania juga menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pelanggaran HAM oleh Soeharto.
“Kami menilai itu bentuk tutup mata. Korban-korban HAM berat masa lalu masih bisa ditemui, misalnya di Aksi Kamisan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong, mendesak pemerintah untuk membuka proses peradilan HAM terhadap Soeharto.
“Bagaimana bisa terbukti kalau proses peradilannya enggak pernah dilakukan?” tegasnya.
Mustafa juga mengingatkan, TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 dan TAP MPR Nomor 4 Tahun 1999 secara eksplisit menyebut Soeharto sebagai subjek yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
“TAP ini masih berlaku sampai sekarang. Jadi tidak bisa serta-merta Fadli Zon atau negara menganggap bahwa ini tidak ada bukti,” pungkasnya.
3. IM57+ Institute
IM57+ Institute, organisasi yang mewadahi para mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menilai langkah penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai bentuk pengaburan sejarah koruptif di Indonesia.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, yang juga merupakan mantan penyidik KPK, menyatakan bahwa pemberian gelar ini ironis di tengah upaya pemulihan aset hasil kejahatan Soeharto yang masih berlangsung.
"Saat berbagai upaya untuk memulihkan aset hasil kejahatan Soeharto dilakukan, pada sisi lain, malah terdapat penegasan status Soeharto menjadi pahlawan," kata Lakso dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2025).
Lakso mempertanyakan kelayakan seorang presiden yang memiliki sejarah dugaan keterlibatan korupsi untuk menyandang gelar pahlawan.
Menurutnya, hal ini berbahaya karena dapat menciptakan preseden buruk bagi para pemimpin di masa depan.
"Ini berbahaya karena akan membuat preseden bagi para presiden ke depan bahwa tidak masalah terlibat dalam skandal apapun, asalnya memiliki kekuasaan maka seluruh skandal seakan terhapus," ujar Lakso.
Lebih lanjut, ia mengkhawatirkan konsekuensi hukum dari status pahlawan tersebut.
Ia mempertanyakan apakah proses pemulihan aset yang terus berlanjut nantinya dapat dianggap sebagai penistaan karena menelusuri harta seorang pahlawan nasional.
IM57+ Institute, yang terdiri dari para mantan pegawai KPK yang disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), juga menyoroti prioritas kebijakan pemerintah.
Menurut Lakso, di saat RUU Perampasan Aset yang krusial bagi pemberantasan korupsi belum juga disahkan, pemerintah justru sibuk memberikan gelar bagi sosok yang kontroversial karena isu korupsi.
"Prioritas yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat ini bisa menjadi tumpukan kekecewaan terhadap kinerja pemerintah ke depan," katanya.
Soeharto, Gus Dur, hingga Marsinah jadi pahlawan nasional
Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh pada upacara di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025), bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Prosesi dimulai dengan pengumandangan lagu “Indonesia Raya” dan dilanjutkan dengan mengheningkan cipta yang dipimpin langsung oleh Prabowo.
Penganugerahan ini didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 yang ditetapkan pada 6 November 2025.
1. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur)
2. Jenderal Besar TNI Soeharto (Jawa Tengah)
3. Marsinah (Jawa Timur)
4. Mochtar Kusumaatmaja (Jawa Barat)
5. Hajjah Rahma El Yunusiyyah (Sumatera Barat)
6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Jawa Tengah)
7. Sultan Muhammad Salahuddin (NTB)
8. Syaikhona Muhammad Kholil (Jawa Timur)
9. Tuan Rondahaim Saragih (Sumatera Utara)
10. Zainal Abidin Syah (Maluku Utara) (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dan Tribunnews.com dengan judul Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Tutut Soeharto: Kami Tidak Dendam dengan yang Kontra
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251110_Gelar-Pahlawan-Nasional-Soeharto.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.