Breaking News

Berita Nasional Terkini

Temuan DEEP: Sentimen Positif Dominan, Suara Netizen Terbelah Soal Soeharto Pahlawan Nasional

Temuan DEEP Indonesia ungkap sentimen publik terbelah soal pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

Editor: Doan Pardede
Wikimedia Commons
SOEHARTO PAHLAWAN NASIONAL - Potret Presiden Soeharto. Temuan DEEP Indonesia ungkap sentimen publik terbelah soal pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.(Wikimedia Commons) 
Ringkasan Berita:
  • Hasil riset DEEP Indonesia menunjukkan opini publik terbelah atas pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. 
  • Dari hampir 6.000 pemberitaan dan 39.000 percakapan media sosial yang dipantau, sentimen positif mendominasi media mainstream dan platform X, sementara Facebook, YouTube, dan TikTok lebih banyak memunculkan sentimen netral hingga negatif.
  • Menurut Neni, narasi positif banyak didorong oleh dukungan tokoh NU dan Muhammadiyah, narasi negatif muncul dari masyarakat sipil dan akademisi

TRIBUNKALTIM.CO - Berdasarkan hasil penelitian Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto pada tanggal 10 November 2025 masih menjadi perdebatan publik.

Isu ini ramai dibahas baik melalui pemberitaan di media online, cetak, dan elektronik, maupun dalam percakapan di media sosial seperti X, Facebook, Instagram, YouTube, dan TikTok.

DEEP Indonesia adalah sebuah lembaga non-pemerintah di Indonesia yang fokus pada penguatan demokrasi dan pemberdayaan masyarakat pemilih.

Fokus isu-utama mereka mencakup antara lain, Pendidikan Pemilih, Pemantauan Pemilu, Kajian dan Penelitian, Afirmasi dan Advokasi, Media Informasi & Basis Data.

Baca juga: Cendana Ucapkan Terima Kasih, Soeharto dan 9 Tokoh Lainnya Mendapat Gelar Pahlawan Nasional

“Memang hasil dari media monitoring yang dilakukan oleh DEEP Intelligence Research menunjukkan bahwa 73persen sentimen positif terdapat di pemberitaan media cetak, online, dan elektronik. Akan tetapi, untuk media sosial — terutama Instagram, Facebook, dan YouTube, didominasi oleh sentimen netral dan negatif,” jelas Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati dalam rilis yang diterima TribunKaltim.co pada, Selasa (11/11/2025).

Neni menjelaskan, narasi terkait pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dianalisis melalui 5.989 pemberitaan yang tersebar di media cetak, elektronik, dan online, serta 39.351 percakapan di media sosial. 

Pengumpulan data dilakukan pada 1–10 November 2025 pukul 11.13 WIB, dengan kata kunci: Soeharto, Soeharto Pahlawan Nasional, dan Tolak Soeharto Pahlawan Nasional.

Suara Netizen Terbelah

Polarisasi di ruang media sosial menunjukkan terbentuknya narasi positif dan negatif.

Narasi positif berakar kuat pada dukungan dua organisasi besar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang menyoroti kontribusi Soeharto terhadap kemajuan bangsa dan pembangunan.

Bahkan, Muhammadiyah menyebut Soeharto sebagai “bibit Muhammadiyah” yang memberikan legitimasi moral dan sosial bagi para pendukungnya.

Sementara itu, narasi negatif berpusat pada suara-suara kritis masyarakat sipil dan akademisi, yang menyoroti pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM), pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta menilai bahwa pemberian gelar ini dapat membuka luka sejarah baru dan menjadi tanda kemunduran demokrasi, bahkan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap agenda reformasi.

“Tentu saja bagi masyarakat sipil, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak masuk akal, karena integritasnya masih dipertanyakan,” ujar Neni Nur Hayati.

Polarisasi sentimen ini menunjukkan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar pengakuan sejarah, tetapi juga pertarungan narasi mendalam tentang identitas bangsa, keadilan, dan masa depan demokrasi.

"Ada perbedaan signifikan antara pemberitaan di media arus utama dan percakapan di media sosial, yang menegaskan pentingnya melihat dinamika opini publik secara holistik, tidak hanya dari satu perspektif," kata Neni.

Pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat mempertimbangkan kompleksitas sentimen publik ini.

Keputusan yang diambil akan berdampak jangka panjang terhadap masyarakat, khususnya generasi muda dalam memahami sejarah bangsa. 

"Menormalisasi pelanggaran masa lalu berisiko melukai keadilan dan rekonsiliasi yang belum tuntas," ujarnya.

Baca juga: Soeharto Resmi Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Respons Parpol Terbelah, PDIP Getol Menolak

Kesimpulan Hasil Penelitian DEEP

Analisis terhadap sentimen publik terkait rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menunjukkan gambaran yang kompleks dan terpolarisasi, merefleksikan tarik-ulur ingatan sejarah, kontribusi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat padanya. Data ini dihimpun dari 5.989 pemberitaan di media mainstream (online, cetak, elektronik) dan 39.351 percakapan di media sosial (X, Facebook, Instagram, YouTube, TikTok) selama periode 1–10 November 2025.

1. Dominasi Sentimen Positif di Media Mainstream dan X

Media mainstream (online, cetak, elektronik) menunjukkan dukungan paling kuat dengan 73persen sentimen positif, hanya 21persen negatif, dan 6persen netral. Hal ini mengindikasikan adanya narasi yang cenderung konstruktif dan kemungkinan agenda pemberitaan yang berfokus pada aspek-aspek positif pemerintahan Soeharto.

X (Twitter) juga didominasi sentimen positif sebesar 71persen, dengan sentimen negatif yang sangat rendah (9persen). Ini menunjukkan bahwa di platform X, kelompok pendukung narasi positif tentang Soeharto cukup vokal dan berhasil menciptakan gelombang percakapan yang mendukung.

2. Sentimen Netral dan Negatif yang Signifikan di Platform Visual dan Diskusi

Instagram (58persen netral) dan TikTok (57persen netral) memiliki proporsi sentimen netral yang sangat tinggi. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh karakteristik konten di platform ini yang lebih fokus pada penyebaran informasi faktual atau visual tanpa diikuti komentar atau opini yang kuat, atau karena audiensnya yang cenderung lebih muda dan kurang terlibat dalam diskusi politik mendalam mengenai isu sejarah tersebut.

Facebook (38persen netral, 35persen negatif) dan YouTube (38persen netral, 39persen negatif) menjadi platform dengan puncak tertinggi sentimen negatif. Facebook, dengan sifatnya sebagai wadah komunitas dan diskusi, serta YouTube yang memungkinkan konten video mendalam, menjadi sarana bagi pengguna untuk menyuarakan kritik dan keberatan secara lebih eksplisit.

3. Narasi Sentimen Positif

Narasi sentimen positif berakar kuat pada dukungan organisasi keagamaan, yaitu pengakuan dari tokoh NU dan Muhammadiyah yang menyoroti kontribusi Soeharto terhadap kemajuan bangsa dan pembangunan. Bahkan, Muhammadiyah menyebutnya sebagai “bibit Muhammadiyah”, memberikan legitimasi moral dan sosial bagi pendukungnya.
Fokus pada pembangunan dan stabilitas: Soeharto dilihat sebagai tokoh yang menjaga stabilitas nasional, membangun pondasi ekonomi, dan memimpin pembangunan yang krusial bagi Indonesia. Narasi ini sering kali mengabaikan aspek-aspek negatif kepemimpinannya demi menekankan pencapaian material.

Baca juga: Nama-nama 10 Tokoh yang Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Ada Soeharto dan Gus Dur

4. Narasi Sentimen Negatif

Narasi sentimen negatif berpusat pada suara-suara kritis yang disampaikan oleh masyarakat sipil dan akademisi, seperti adanya pelanggaran HAM berat dan pemangkasan kebebasan berpendapat yang menjadi inti penolakan. Kritik bahwa pemberian gelar pahlawan akan “mematikan demokrasi” dan “bertentangan dengan semangat reformasi 1998” menunjukkan kekhawatiran akan pengabaian sejarah kelam.
Korupsi dan kerusakan moral dengan narasi “pengaburan sejarah koruptif” dan “menodai integritas moral bangsa” mencerminkan pandangan bahwa era pemerintahannya diwarnai praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merugikan negara.
Penolakan normalisasi pelanggaran merupakan penolakan tegas bahwa “gelar pahlawan tidak semestinya dijadikan alat untuk menormalisasi sarat pelanggaran” dan ungkapan “Soeharto bukan pahlawan kami, sama dengan negara menulis ulang luka sejarah” memperlihatkan adanya perlawanan terhadap upaya untuk membersihkan citra masa lalu tanpa akuntabilitas penuh.

5. Polarisasi dan Pertarungan Narasi

Polarisasi sentimen ini menunjukkan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar pengakuan sejarah, melainkan juga pertarungan narasi yang mendalam tentang identitas bangsa, keadilan, dan masa depan demokrasi. Adanya perbedaan yang signifikan antara media mainstream dan sebagian media sosial menggarisbawahi pentingnya melihat dinamika opini publik secara holistik, tidak hanya dari satu lensa.

6. Implikasi bagi Pemerintah dan Publik

Pemerintah dan pihak terkait seharusnya dapat mempertimbangkan kompleksitas sentimen ini. Keputusan yang diambil akan memiliki dampak jangka panjang terhadap cara masyarakat — khususnya generasi muda — memahami sejarah bangsa. Menormalisasi pelanggaran masa lalu berisiko melukai keadilan atau rekonsiliasi yang belum tuntas. Sebaliknya, sepenuhnya mengabaikan kontribusi juga bisa dituding memutarbalikkan sejarah.

7. Penutup

Secara keseluruhan, sentimen publik mengenai gelar Pahlawan Soeharto mencerminkan ketegangan antara “memori kolektif” yang terfragmentasi, di mana satu sisi mengenang “kejayaan” pembangunan dan stabilitas, sementara sisi lain menuntut keadilan atas pelanggaran HAM dan korupsi.
Keputusan akhir perlu merangkum kedua dimensi ini dengan bijaksana, memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila dan konstitusi tetap menjadi panduan utama.

Link hasil penelitian DEEP Indonesia klik

Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved