Berita Nasional Terkini
Para Mantan Hakim yang Jadi Terdakwa Kasus Suap CPO Protes Dituntut Maksimal, Ini Alasan Mereka
Para terdakwa kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi CPO protes mendapat tuntutan maksilam dari JPU.
Dalam duplik pribadinya ini, Djuyamto meyakini, majelis hakim yang akan menjatuhkan hukuman padanya, Effendi, Adek Nurhadi, dan Andi Saputra, akan menjatuhkan hukuman yang menegakkan hukum dan adil.
“Saya mengingatkan bahwa penegakan hukum yang ditugaskan ke yang mulia majelis hakim, saya percaya adalah tidak hanya sekadar menegakkan hukum tapi juga menegakkan keadilan sebagaimana dalam ketentuan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman,” lanjut Djuyamto.
Vonis 3 Desember
Setelah duplik selesai dibacakan, majelis hakim mengumumkan kalau vonis bagi kelima terdakwa akan dibacakan pada 3 Desember 2025.
“Sidang kita tunda Insya Allah akan kita buka 2 minggu ke depan hari Rabu, 3 Desember 2025 dengan agenda pembacaan putusan,” ujar Ketua Majelis hakim Effendi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
Effendi mengatakan, tahap pemeriksaan untuk kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO) resmi ditutup setelah pembacaan duplik selesai.
Adapun, hakim membutuhkan waktu lebih panjang untuk bermusyawarah karena dalam kasus ini ada lima terdakwa.
“Mengingat perkara ini ada lima berkas, saksi cukup banyak, majelis sudah bersepakat kalau pembacaan putusan kami tunda dua minggu,” kata Effendi.
Tuntutan para terdakwa
Dalam kasus ini, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.
Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.
Adapun, Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.
Sementara itu, Panitera Muda PN Jakarta Utara Nonaktif Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
Wahyu merupakan jembatan antara pihak korporasi dengan pihak pengadilan.
Ia diketahui lebih dahulu mengenal Ariyanto yang merupakan pengacara korporasi CPO.
Pada saat yang sama, Wahyu juga mengenal dan cukup dekat dengan Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
Karena peran aktifnya, Wahyu pun kecipratan uang suap senilai Rp 2,4 miliar.
Tapi, jaksa menuntut agar uang suap itu dikembalikan dalam bentuk uang pengganti.
Jika tidak, harta benda Wahyu akan disita untuk negara
Ia juga diancam pidana tambahan kurungan 6 tahun penjara.
Dalam kasus ini, para terdakwa diduga telah menerima suap dengan total uang mencapai Rp 40 miliar.
Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Kelima terdakwa diyakini telah melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251120_BACAKAN-PLEDOI.jpg)