Pemangkasan Dana Transfer Daerah
Seno Aji Tetap Pegang Janji, Gratis Pol dan Jospol Jadi Prioritas Meski TKD Kaltim Anjlok
Seno Aji tetap pegang janji, Gratis Pol dan Jospol jadi prioritas meski TKD Kaltim anjlok
TRIBUNKALTIM.CO - Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dihadapkan pada tantangan berat setelah alokasi Transfer ke Daerah (TKD) untuk tahun 2026 mengalami penurunan signifikan.
Berdasarkan rincian dokumen TKD Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Kaltim hanya akan menerima dana sebesar Rp2,49 triliun tahun depan.
Kondisi ini memaksa pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi dan penyesuaian anggaran secara cermat.
Namun di tengah keterbatasan dana tersebut, Pemprov Kaltim tetap berkomitmen menjaga program-
program unggulannya, khususnya Gratis Pol dan Jospol, sebagai prioritas utama pembangunan.
Baca juga: Hadapi Pemangkasan TKD, DPRD Kaltim Dorong Pemprov Digitalisasi Pajak dan Optimalkan Aset Daerah
Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Seno Aji, menegaskan bahwa program-program yang tercantum
dalam visi dan misi kepemimpinan akan tetap diprioritaskan meskipun terjadi pemotongan anggaran.
Menurutnya, pihaknya akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program-program yang dianggap
belum terlalu mendesak untuk dilaksanakan.
"Yang prioritas kan tentu saja yang program-program unggulan ya, program-program visi dan misi kita,
kemudian gratis pol, joss pol gitu, kemudian yang mau kita evaluasi itu yang kira-kira belum begitu
urgent lah," ujar Seno.
Program Gratis Pol yang mencakup berbagai layanan dan pendidikan gratis bagi masyarakat dan Jospol
(Jos Pol) yang merupakan program Jaminan sosial, dinilai sebagai komitmen politik yang harus tetap
terlaksana karena menyentuh langsung kebutuhan rakyat.
Isu pemangkasan anggaran ini menjadi bahasan serius dalam briefing mingguan yang digelar pada Senin,
6 Oktober 2025.
Dalam pertemuan tersebut, jajaran Pemprov Kaltim mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menghadapi kemungkinan pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH).
Orang nomor 2 di Kaltim itu menjelaskan bahwa dalam briefing tersebut, pihaknya membahas strategi
yang harus dilakukan oleh setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam menghadapi situasi ini.
Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa keputusan final belum dapat diambil karena masih menunggu
proses kalkulasi ulang dan evaluasi anggaran.
Baca juga: Akademisi Unmul Kritik Pemangkasan TKD, Program MBG Dianggap Timbulkan Ketimpangan Daerah
"Jadi memang belum fix, jadi nanti menunggu mereka mengkalkulasi ulang, melakukan evaluasi atas
anggaran 2026, kemudian nanti kita periksa itu, kita periksa sesuai dengan DBH yang akan turun di tahun
2026 besok," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim, Yusliando,
mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyusun ulang rencana belanja dan kegiatan pembangunan
untuk diselaraskan dengan ketersediaan anggaran terbaru.
Proses penyesuaian ini dilakukan atas arahan langsung Gubernur Kaltim.
"Kami diminta oleh Pak Gubernur untuk menyesuaikan program kegiatan, karena ada pemangkasan anggaran dari pusat. Jadi kami sedang melakukan simulasi," ujar Yusliando.
Yusliando menegaskan bahwa meski ada pemangkasan, program-program yang merupakan bagian dari
visi-misi kepala daerah akan tetap menjadi prioritas utama dan diupayakan untuk tetap dapat terlaksana
dengan baik.
"Yang pasti, janji kepala daerah harus tetap dipenuhi. Visi-misi tetap jadi pedoman utama," pungkasnya.
Berlaku di APBD 2026
Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud menekankan bahwa soal efisiensi anggaran, akan diberlakukan pada APBD Murni 2026 mendatang.
Hasil pertemuan Gubernur Kaltim bersama para kepala daerah lain yang tergabung di Asosiasi Persatuan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) ke Menkeu Purbaya juga akan dibahas lebih lanjut.
Terpenting, bicara proyeksi pemotongan hampir 4,6 triliun di APBD 2026 mendatang, bisa berpeluang akan diracik ulang.
Pasalnya, APBD 2026 sudah dibahas dan telah terkunci pada angka Rp21,35 triliun setelah adanya kesepakatan DPRD serta Pemprov.
Disini angka pendapatan transfer tercatat Rp9,33 triliun, jika terpotong 75 persen, maka jumlahnya tepat Rp2,3 triliun yang merupakan angka proyeksi hasil dari pemangkasan.
Baca juga: Dana TKD Kutim 2026 Dipangkas 70 Persen, Proyek Multi Years Contract Potensi Dikurangi
Hitungan kasarnya, jika mengacu pada proyeksi pemotongan 75 persen yang pernah diungkapkan Ketua DPRD dan Gubernur, maka angkanya mendekati proyeksi tersebut.
“Efisiensi itu di 2026. Iya (Rp2,3 triliun), nanti di tahun 2026 murni,” ungkapnya, Rabu (8/10).
Informasi sementara, DBH yang diperoleh Kaltim, yang semula sekitar Rp8-9 triliun bisa melorot ke angka Rp2 triliun.
Penurunan TKD tentu berdampak ke kemampuan daerah menjalankan program pembangunan.
DPRD sendiri ungkap politikus Golkar ini, tetap memastikan jalannya program prioritas berjalan.
Serta melihat skala prioritas kepala daerah, sehingga dalam sisi penganggaran dan fungsi pengawasan bisa
dijalankan oleh komisi masing–masing yang membidangi, memastikan agar pembangunan menyasar ke
masyarakat tetap berjalan.
“Penyesuaiannya bisa dari segi volume kegiatannya diperkecil. Urgensi kegiatan ditakar ulang. Yang bisa
ditunda, ditunda dulu. Kita tunggu Pak Gubernur kapan mau dibahas,” tegasnya.
Menurut Hamas, sapaan akrabnya, dampak proyeksi kehilangan Rp2 triliun imbas pemotongan yang
diberlakukan pemerintah pusat tentu berdampak dan Gubernur akan menata kembali apa yang menjadi
prioritasnya dalam membelanjakan APBD termasuk ke program prioritasnya.
“Ya, ini akan kita lihat nanti. Nah, pemotongan proporsional itu di mana-mana saja. Mungkin akan
berdampak terhadap OPD–OPD dan pokok-pokok pikiran (pokir). Saya kira itu yang jadi apa namanya
atensi kita lah," katanya.
Atur Ulang APBD
Kekhawatiran terhadap rencana pemangkasan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) oleh pemerintah pusat semakin nyata, tak terkecuali bagi Kota Samarinda.
Dalam RAPBN 2026, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan alokasi TKDD hanya sebesar Rp650 triliun.
Kebijakan efisiensi tersebut membuat Samarinda yang masih bergantung pada dana pusat kini berada dalam posisi waspada.
Baca juga: Purbaya Pangkas TKD 2026 karena Fiskal Terbatas, Janji Kembalikan ke Daerah Jika Ekonomi Pulih
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Samarinda, Ananta Fathurrozi, menegaskan hingga kini regulasi teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang pemotongan TKD belum diterbitkan.
“Sepengetahuan saya PMK baru tentang pemotongan TKD belum dikeluarkan Kemenkeu, kami masih menunggu juga,” ujarnya saat dihubungi Tribun Kaltim, Rabu (8/10).
Meski demikian, ia memastikan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) telah menerima rancangan kebijakan tersebut untuk dipelajari lebih lanjut.
“Sudah dapat juga tapi ini baru rancangan, belum bersifat tetap dalam bentuk PMK/Peraturan Menteri Keuangan,” jelasnya.
Menurut Ananta, upaya antisipasi terus dilakukan melalui jalur koordinasi langsung dengan kementerian
terkait.
Ia menuturkan, Pemkot sebelumnya telah mengajukan sejumlah program prioritas, mulai dari pendidikan hingga infrastruktur.
Usulan tersebut disampaikan langsung dihadapan Mendikdasmen pada saat peresmian Sekolah Terpadu beberapa waktu lalu.
“Sebelumnya kami dengan Pak Wali Kota diterima di Kementerian PU untuk usulan infrastruktur dan kami diterima langsung di Kemenkeu untuk memperjuangkan TKD dan menindaklanjuti surat keberatan pemotongan TKD yang ditandatangani Wali Kota,” paparnya.
Ia juga menekankan, batas waktu penyusunan hingga pengesahan Raperda APBD 2026 diperkirakan rampung pada November mendatang.
Namun, jika benar terjadi pemangkasan, konsekuensi yang dihadapi Samarinda cukup besar.
“Proyeksi sementara masih sesuai KUA-PPAS 2026 yaitu Rp5,3 triliun dan masih dalam proses pembahasan. Ada prediksi turun APBD 2026 menjadi Rp3,5 triliun,” ungkapnya.
Ananta juga mengungkapkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak hanya berimbas pada transfer
pusat melalui TKD, tetapi turut menyentuh Dana Bagi Hasil (DBH) yang diproyeksikan terpangkas
hingga separuhnya.
Ia menyebut, DBH yang biasanya mencapai Rp1,6 triliun per tahun, pada 2026 kemungkinan hanya akan berkisar Rp800 miliar.
Situasi tersebut otomatis akan memengaruhi sejumlah program pembangunan di Samarinda, ditambah lagi pemangkasan serupa juga terjadi pada alokasi bantuan keuangan dari pemerintah provinsi.
Ia menegaskan, meskipun anggaran infrastruktur yang bersifat mandatory hanya sekitar 40 persen, tetap
akan ada kegiatan yang harus dikurangi demi menjaga keberlangsungan belanja wajib daerah.
Meski dalam kondisi fiskal yang menurun, Ananta menegaskan prioritas pembangunan daerah di Kota
Samarinda tidak akan hilang.
Pemkot tetap fokus melanjutkan 10 program unggulan Wali Kota Andi Harun di periode keduanya, meski harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan.
“Yang pasti disesuaikan dengan kemampuan keuangan atau celah fiskal dari hasil efisiensi. Namun diupayakan tidak mengganggu belanja gaji dan tunjangan,” katanya.
Kurangi MYC
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah mendapatkan surat Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb)
mengenai komposisi dana transfer ke daerah (TKD) tahun 2026.
Surat tersebut telah diterima sejak dua minggu yang lalu. Dimana, disampaikan oleh Plt. Kepala Bapeda Kutai Timur, Noviari Noor untuk TKD Kutim 2026 turun hingga 70 persen lebih.
Oleh sebab itu, Pemkab Kutim tengah menggodok susunan alokasi anggaran tahun 2026 sesuai dengan
TKD yang terbaru.
"Informasinya turun hingga 70 persen lebih, angka pastinya saya gak hapal ya, yang jelas ini sedang disusun kembali karena sebelumnya menggunakan proyeksi APBD 2026 yang Rp 6 triliun," jelas Novi,
Rabu (8/10).
Lebih jauh, menurunnya nominal TKD 2026 di Kutai Timur sangat berdampak, sebab dari tubuh APBD Kutim, sekiranya 80 persen bergantung pada TKD sehingga penyusunan alokasi berdasarkan TKD yang diberikan oleh pusat.
Penurunan TKD 2026 di Kutai Timur juga berdampak pada pembangunan infrastruktur hingga tunjangan
penghasilan pegawai (TPP).
Pada nominal mandatory spending seperti alokasi dana pendidikan 20 persen dari tubuh APBD itu tidak
dihilangkan, sedangkan pembangunan infrastruktur seperti jalan, drainase, jembatan, kesehatan dan
lainnya tetap berjalan, hanya saja volume pekerjaannya dikurangi.
"Program skema tahun jamak (multiyears) juga terdampak, dimana proyek MYC direncanakan Rp 3
triliun dengan skema 3 tahun anggaran juga akan dikurangi nominalnya sesuai dengan kondisi keuangan
daerah," imbuhnya.
Kendati demikian, belanja pegawai seperti gaji tidak bisa diubah, sebab merupakan ketetapan dari pusat namun TPP yang akan disesuaikan dengan kondisi keuangan artinya bisa diturunkan.
Sementara ini, sebagai antisipasi kondisi tersebut, pihaknya meminta bantuan kepada DPRD Kutim untuk
dibantu mencari sumber pendapatan asli daeeah (PAD) melalui retribusi dan pajak daerah.
"Sampai saat ini masih disusun kembali menyesuaikan kondisi keuangan terkini, kami upayakan dengan
menggali PAD secara maksimal," pungkasnya.
News analysis
Seperti Kembali ke Orde Baru
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mulawarman (Unmul) memberikan pandangan kritis terkait isu
pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pejabat dan politisi di Kalimantan Timur (Kaltim).
Pasalnya, alokasi TKD untuk Kaltim diperkirakan akan dipangkas hingga 78 persen, setara dengan kehilangan sekitar Rp4,6 triliun pada tahun mendatang.
Dosen FISIP Unmul sekaligus Pengamat Kebijakan Publik, Saipul Bachtiar, menilai pemotongan tersebut
bukan lagi sekadar penundaan, melainkan penghilangan alokasi anggaran secara signifikan.
Menurutnya, kebijakan itu berpotensi menimbulkan dampak domino yang serius terhadap program pembangunan dan janji politik kepala daerah di Kaltim.
“Pola kebijakan ini tidak holistik. Kebijakan ini tidak melihat bahwa daerah memiliki kewajiban dan kebutuhan masing-masing, apalagi sekarang kita berada dalam rezim Pilkada,” ujarnya.
Saipul menilai kebijakan pemotongan TKD itu merupakan langkah yang mengarah pada sistem sentralistik, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, dan mengabaikan prinsip otonomi daerah yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi.
“Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan memang sentralistik dan otonomi daerah belum menjadi
prioritas. Namun setelah Reformasi, seharusnya pemerintah melihat kembali pentingnya sisi otonomi
daerah. Melihat pola kebijakan yang diterapkan pada era Prabowo–Gibran ini, saya melihat arahnya
kembali ke bentuk sentralistik seperti dulu,” jelasnya.
Ia juga menyoroti mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) yang seharusnya menjadi hak daerah, bukan dana
milik pusat.
Saipul menilai pola pengelolaan DBH saat ini tidak adil, karena dana daerah diambil terlebih dahulu oleh pusat dan hanya sebagian kecil yang dikembalikan ke daerah penghasil sumber daya alam, termasuk Kaltim.
“Menurut saya, ini bentuk ketidakadilan antara kebijakan pemerintah pusat dengan daerah. Sudah dana
bagi hasil itu kecil, sekarang dipotong lagi. Lama-lama tidak ada yang kembali ke daerah,” katanya.
Dengan pemotongan yang begitu drastis, Saipul menilai telah terjadi ketidakadilan fiskal yang mencerminkan terabaikannya kepentingan daerah penghasil sumber daya alam.
Ia menegaskan bahwa pola pengelolaan fiskal semacam ini menunjukkan kegagalan pemerintah pusat dalam memahami kebutuhan dan kewajiban daerah, khususnya yang tengah menghadapi Pilkada.
Dari perspektif politik, Saipul menilai pemotongan TKD juga menjadi indikasi bahwa janji-janji politik presiden lebih diutamakan dibandingkan janji kepala daerah. Kondisi ini berpotensi membuat banyak program pembangunan daerah yang dijanjikan saat kampanye tidak dapat direalisasikan.
“Artinya, kepentingan politik janji presiden lebih diutamakan dibandingkan janji kepala daerah. Hal ini
tentu akan berimplikasi signifikan terhadap program-program yang dijanjikan kepada masyarakat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Saipul mendorong pemerintah daerah baik gubernur, DPRD, bupati, maupun wali kota untuk
bereaksi keras terhadap kebijakan tersebut. Ia berharap pemerintah daerah dapat menyuarakan penolakan
melalui Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) agar pemerintah pusat
mempertimbangkan kembali kebijakan pemotongan TKD.
“Mereka seharusnya mengeluarkan pernyataan tegas atau mendesak pemerintah pusat melalui perkumpulan masing-masing untuk menolak pemotongan ini. Karena menurut saya, pemotongan ini sangat gila-gilaan,” pungkasnya.
Perbandingan Alokasi TKD Kaltim Tahun 2025 dan 2026
Tahun 2026
PPH: Rp 140.836 Miliar
PBB: Rp 176.496 Miliar
CHT (Cukai Hasil Tembakau): Rp 16.945 Juta
Total DBH Pajak: Rp 317.350 Miliar
IIUPH/PSDH: Rp 7 Miliar
DR (Dana Reboisasi): Rp 51.170 Miliar
Migas: Rp 48.849 Miliar
Minerba: Rp 1.194 Triliun
Total DBH SDA: Rp 1.301 Triliun
Perkebunan Sawit: Rp 10.686 Miliar
Total DBH: Rp 1.629 Triliun
DAU yang Tidak Ditentukan Penggunaannya: Rp 846.491 Miliar
Total DAU: Rp 866.618 Miliar
Total DTU: Rp 2.495 Triliun.
Tahun 2025
PPH: Rp 448.002 Miliar
PBB: Rp 514.288 Miliar
CHT (Cukai Hasil Tembakau): Rp 71.672 Juta
Total DBH Pajak: Rp 962.363 Miliar
IIUPH/PSDH: Rp 11.899 Miliar
DR (Dana Reboisasi): Rp 146.674 Miliar
Migas: Rp 252.226 Miliar
Minerba: Rp 4.678 Triliun
Total DBH SDA: Rp 5.088 Triliun
Perkebunan Sawit: Rp 16.579 Miliar
Total DBH: Rp 6.067 Triliun
DAU yang Tidak Ditentukan Penggunanannya : Rp 776.415 Miliar
Total DAU: Rp 1.068 Triliun
Total DTU: Rp 7.136 Triliun.
Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.