Berita Samarinda Terkini
Anggaran Pendidikan 20 Persen Disebut Tak Cukup, DPRD Samarinda Soroti Kesejahteraan Guru PAUD
Komisi IV DPRD Samarinda tegaskan pentingnya perbaikan tata kelola dan keberpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan pendidik PAUD
Penulis: Sintya Alfatika Sari | Editor: Nur Pratama
Ringkasan Berita:
- RDP DPRD Samarinda bahas insentif guru PAUD.
- Komisi IV soroti lemahnya sosialisasi regulasi dan pembatasan anggaran pendidikan.
- BOPDA hanya untuk TK Negeri. Guru kesejahteraan PAUD dinilai penting untuk pembangunan SDM unggul.
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Pembahasan mengenai insentif guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) kembali mengemuka dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar DPRD Kota Samarinda bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta perwakilan Himpaudi, Senin (3/11/2025).
Komisi IV DPRD Samarinda menegaskan pentingnya perbaikan tata kelola dan keberpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan pendidik PAUD yang selama ini masih jauh dari layak.
Baca juga: DPRD Samarinda Desak Kejelasan Soal Pengurangan Kuota Insentif Guru PAUD
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menyoroti lemahnya sosialisasi regulasi mengenai insentif yang menyebabkan ketidaktahuan pada tingkat pendidik hingga organisasi sebesar Himpaudi.
Ia menilai bahwa kewajiban untuk melakukan sosialisasi secara menyeluruh belum dijalankan maksimal oleh dinas, sehingga berdampak pada kurangnya pemahaman pendidik PAUD terhadap aturan yang berlaku.
Menurut Puji, regulasi pemberian insentif pada dasarnya sudah memadai, namun pemerintah daerah masih menghadapi hambatan krusial terkait keterbatasan anggaran pendidikan.
Ia menjelaskan bahwa porsi mandatori 20 persen anggaran pendidikan seharusnya tidak dipahami sebagai batas tertinggi, melainkan batas minimal yang semestinya bisa ditingkatkan.
“Sebenarnya menurut saya itu sangat kurang. Jika minimal 20 persen maka maksimalnya tidak terbatas jika ingin bicara tentang pendidikan,” ungkap Puji.
Dengan jumlah sekolah, guru, siswa, serta adanya regulasi wajib belajar 13 tahun termasuk akomodasi bagi anak disabilitas, anggaran tersebut dinilai tak lagi memadai untuk menjawab tantangan saat ini.
“Apakah cukup dengan 20 persen tadi, maka ini seharusnya juga menjadi pemikiran pemerintah pusat. Karena kebijakan-kebijakan akarnya ada di sana,” tegasnya.
Puji juga menyoroti keterlambatan revisi terhadap undang-undang sistem pendidikan nasional yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan global. Ia menyebut bahwa perubahan kebutuhan pendidikan dan pertumbuhan penduduk telah jauh melampaui regulasi yang ada saat ini, sehingga pemerintah pusat perlu mendorong pembaruan agar kebijakan daerah tidak selalu menjadi pihak yang menanggung dampak di lapangan.
Selain itu, ia menegaskan bahwa persoalan sosialisasi regulasi masih menjadi kendala utama di daerah. Meski pemerintah memiliki kanal digital seperti laman resmi, tidak semua pendidik memiliki kemampuan literasi teknologi untuk mengakses informasi tersebut.
“Walaupun sudah ada websitenya, tapi tidak semua SDM yang paham tentang IT. ini tentu menjadi kendala kita,” ungkap Puji.
Terkait pendidik PAUD yang belum menerima insentif, Puji menyebut perlunya pembahasan lebih lanjut bersama Disdikbud karena mekanisme pengusulan masih belum jelas. Ia mencontohkan aturan kuota berdasarkan rombongan belajar (rombel) yang berpotensi tidak adil bagi PAUD yang melayani anak inklusi.
Dalam satu rombel berisi 15 anak, hanya satu guru yang diakomodasi insentif. Namun pada sekolah dengan anak-anak berkebutuhan khusus, idealnya satu rombel ditangani dua guru. Hal tersebut menurutnya harus menjadi perhatian dalam kebijakan agar tidak terjadi diskriminasi terhadap pendidik yang menangani anak inklusi.
“Apakah ini juga akan diakomodir, nanti akan kita bicarakan selanjutnya mungkin juga ke Pak Walikota. Karena beliau harus tahu semua mendetail. Kalau beliau mendengar apa yang terjadi di lapangan seperti ini, saya kira akan berubah kebijakan,” ungkap Puji.
Ia kemudian menyinggung pembiayaan dasar sekolah yang tak kunjung meningkat.
Sri Puji menyampaikan bahwa dana BOSDA sudah hampir 17 tahun tidak mengalami kenaikan, baik untuk jenjang SD yang saat ini masih Rp 240 ribu per siswa per tahun maupun SMP sebesar Rp 480 ribu. Sementara dana BOPDA selama ini hanya menyasar TK Negeri yang justru jumlahnya terbatas.
Ia menekankan, pembahasan kesejahteraan pendidik PAUD harus dipandang sebagai bagian dari pembangunan sumber daya manusia unggul sejalan dengan visi Wali Kota Samarinda.
“Apalagi m Samarinda telah memiliki Perwali tentang wajib PAUD pra-sekolah satu tahun dan juga aturan Permendikbud Nomor 46 mengenai akomodasi siswa disabilitas yang wajib dipenuhi. Itu juga anak-anak bangsa yang memiliki hak pendidikan,” pungkasnya. (*)
| DPRD Samarinda Desak Kejelasan Soal Pengurangan Kuota Insentif Guru PAUD |
|
|---|
| Produk UMKM Samarinda Kini Mejeng di 7 Titik Luar Daerah, Program Prorinda Jadi Motor Penggerak |
|
|---|
| Gaji Rp3,3 Juta! Disnaker Samarinda Ajak Lulusan Baru Daftar MagangHub |
|
|---|
| Samarinda Kembali Ukir Prestasi Global, Walikota Andi Harun Masuk Dewan Eksekutif UCLG ASPAC |
|
|---|
| Pemkot Samarinda Pastikan Insinerator Gunakan Sistem Pembuangan Gas Buang Sesuai Standar |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251029_Sri-Puji-Astuti.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.