Jerat Model Pakaian Ketat

Trauma Hantui Mahasiswi, Kampus dan Aktivis Minta Korban Eksploitasi Digital di Samarinda Tak Diam

Penipuan model hijab di Samarinda ungkap eksploitasi digital yang menjerat mahasiswi dan dorong perlindungan serta literasi digital.

|
Editor: Doan Pardede
Tribun Kaltim
EKSPLOITASI MAHASISWI SAMARINDA - Headline Tribun Kaltim 15 November 2025. Penipuan model hijab di Samarinda ungkap eksploitasi digital yang menjerat mahasiswi dan dorong perlindungan serta literasi digital.(Tribun Kaltim) 

Bahkan bagi mahasiswa yang berminat dunia modeling, kampus menyediakan wadah resmi melalui ajang Putra Putri Kampus yang bekerja sama dengan brand profesional. 

Namun di akhir pernyataannya, ia mengingatkan satu hal. 

“Mahasiswa harus waspada. Jangan hanya melihat uang langsung tergiur. Jaga iman dan takwa.” 

Luka Psikis 

Berbeda dari pendekatan formal kampus, aktivis perempuan dan Koordinator Paralegal Perempuan Mahardhika Samarinda, Disya Halid, menyoroti dimensi yang jauh lebih gelap dari kasus ini yakni luka psikis yang dialami korban akibat eksploitasi digital.

Menurutnya, pola penipuan seperti ini merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender online (KBGO), yang dampaknya sering lebih berat dari yang tampak di permukaan.

“Korban biasanya mengalami trust issues, bahkan paranoid terhadap media sosial. Ruang yang seharusnya aman jadi menakutkan bagi mereka,” ujar Disya.

Ia menjelaskan, trauma korban bisa memunculkan kecenderungan menghindari ponsel atau aplikasi digital karena terus mengingatkan pada kejadian tersebut.

Pelaku memilih mahasiswi bukan secara kebetulan, melainkan karena posisi mereka dianggap rentan secara ekonomi dan sosial.

“Banyak mahasiswi hidup ngekos, jauh dari keluarga, dan ekonominya pas-pasan. Tawaran puluhan juta itu terlihat menggoda. Pelaku tahu celah ini dan memanfaatkannya.” 

Disya juga menyoroti persoalan yang kerap memperburuk luka korban yaitu victim blaming.

Baca juga: Tawaran Model Berujung Permintaan Foto Sensual, Awal Mula Perkenalan 2 Mahasiswi dengan Erlangga

“Banyak yang menyalahkan korban dengan komentar ‘siapa suruh mau’. Padahal tidak sesederhana itu.”

Ia menolak keras pandangan bahwa pakaian perempuan atau unggahan mereka di media sosial memicu pelecehan.

“Ada korban yang berhijab bahkan bercadar tapi tetap dilecehkan. Jadi yang salah itu pelaku, bukan pakaian korban.”

Menurutnya, selama pola pikir moralistik terhadap tubuh perempuan tidak berubah, kasus eksploitasi
digital akan terus berulang.

Sebagai paralegal, Disya menegaskan bahwa tindakan pelaku masuk dalam ruang lingkup UU TPKS, yang mencakup kejahatan seksual di ranah digital.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved