Berharap Tak Dihukum Kebiri Kimia, Keluarga Minta 'Predator Anak' di Mojokerto Dirawat di RSJ
Kakak tertua Aris, Sobirin (33) mengatakan, adik bungsunya itu sudah menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan sejak kecil.
Bakal seberapa efektif hukum kebiri menekan angka kekerasan seksual terhadap anak? Reza Indragiri mengajak untuk melihat negara-negara yang sudah memberlakukan kastrasi kimiawi atau kebiri kimiawi.
Perlu digaris bawahi, kata Reza Indragiri, bukan hukuman kebiri semata yang menjadi penyebab menurunnya angka kekerasan seksual terhadap anak di negara-negara tersebut, tapi juga karena adanya kesadaran.
Di negara-negara yang memberlakukan hukuman kebiri sebagai sarana rehabilitasi, hukuman kebiri tidak 'dijatuhkan' oleh hakim secara sepihak kepada terdakwa.
"Tapi hakim melakukan dialog kepada pelaku. Pelaku yang kemudian mengatakan yang mulia tolong saya dikastrasi. Karena saya sadar aoa yang saya lakukan ini adalah salah. Namun, kesadaran tidak selalu sejalan dengan birahi. Itu sebabnya tolong birahi saya dimatikan, caranya, dengan kastrasi kimiawi," kata Reza Indragiri.
Dialog seperti ini menurutnya tak bisa dilakukan di Indonesia.
Pasalnya, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan sesuai hasil pengadilan di Mojokerto, dialog ini tidak berlangsung.
Kebiri, dianggap sebagai hukuman dan bukan sebuah penanganan.
"Sebuah hukuman yang secara sepihak dijatuhkan oleh hakim 'tanpa' mempedulikan aspirasi atau kehendak adri terdakwa," kata Reza Indragiri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR) Anggara Suwahyu mengatakan, apa yang terjadi inilah yang dalam laporan LCJR disebut sebagai kebangkitan Penal Populism.
Dalam konteks ini, pemerintah membuat kebijakan memperberat hukuman untuk merespons kemarahan masyarakat.
Undang-Undang Perlindungan Anak menurutnya telah 2 kali berubah, dalam perubahan pertama hukuman diperberat dan dalam perubahan kedua diperberat lagi.
"Sampai ada hukuman mati bahkan. Tapi problemnya, apakah itu akan menurunkan angka kejahatan seksual?," kata Anggara Suwahyu.
Menurut Anggara Suwahyu, angka kekerasan seksual terhadap anak tidak akan turun karena tidak ada penjelasan dalam perubahan-perubahan Undang-Undang tersebut.
"Karena tidak ada penjelasan. Ketika dalam perubahan pertama kan alasannya sama untuk menurunkan angka kekerasan seksual diperberat hukuman. Ketika perubahan kedua sama, pemerintah akan memperberat tapi tidak ada evaluasi apakah perubahan pertama ini berhasil menurunkan angka kekrasan seksual," kata Anggara Suwahyu.
Yang kedua, fokus Undang-Undang ini, dan juga hampir semua Undang-Undang adalah pelaku.
Sementara rehabilitasi untk korban kekerasan seksual tidak ada.
"Karena itu saya bilang kebangkitan penal populism. Jadi karena masyarakat marah, kemudian pemerintah membuat kebijakan untuk merespons kemarahan masyarakat. Seolah-olah persoalan selesai," kata Anggara Suwahyu.
Dia juga mengaku sepakat dengan Reza Indragiri, bahwa keberhasilan hukuman kebiri di Jerman karena menerapkan hukuman kebiri sebagai voluntary.
"Jadi terpidana menyatakan diri secara sukarela untuk dikastrasi," ujar Anggara Suwahyu.
(*)