Penjelasan Mahfud MD Soal Hasil Revisi UU KPK, Presiden Tak Bisa Mencabut, Tetap Berlaku
Penjelasan Mahfud MD Soal Hasil Revisi UU KPK, Presiden Tak Bisa Mencabut, Tetap Berlaku
TRIBUNKALTIM.CO - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD memberikan penjelasan terkait hasil revisi Undang-Undang KPK yang selama ini menjadi polemik.
Menurut Mahfud MD, Undang-Undang KPK hasil revisi bakal tetap berlaku, 30 hari setelah ditetapkan DPR.
Bahkan UU KPK hasil revisi sudah selesai, dan akan tetap berlaku sekalipun Presiden Joko Widodo tidak menandatanganinya, UU KPK hasil revisi tetap akan berlaku.
• Dosen Universitas Mulawarman Ini Ajak Lakukan Aksi Kawal Janji Presiden Joko Widodo Soal Perppu KPK
• Driver Gojek Bagikan Air Mineral di Tengah Kerumunan Massa Unjuk Rasa Tolak Revisi UU KPK dan RKUHP
• Pelajar dalam Unjuk Rasa Tolak Revisi UU KPK dan RKUHP di Samarinda, Akui Ini Kemauan Kami
Menurut Mahfud MD, UU KPK hasil revisi saat ini sudah selesai dalam konteks yuridis.
"Dalam pengertian sudah disahkan, tinggal membuat tanda tangan.
Kalau presiden misalnya tidak mau tanda tangan 30 hari sesudah disahkan itu berlaku sendiri," ungkap Mahfud MD di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (26/9/2019).
Kata Mahfud MD, Jokowi pun tidak bisa mencabut sebuah RUU yang sudah disahkan.
Hal itu sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 20 ayat 5 UUD 1945.
"Jadi misalkan Presiden 'saya mau cabut', nggak bisa, sudah disahkan, sudah diketok palu. Sehingga bagaimanapun Presiden harus menandatangani atau tetap masuk lembaran negara," jelas Mahfud MD.
Seperti diketahui, pemerintah dan DPR menyepakati poin-poin revisi UU KPK pada tanggal 16 September 2019.
Kemudian dibawa ke rapat paripurna untuk pengesahan pada 17 September 2019.
Maka, Mahfud MD menyebut RUU KPK akan berlaku setidaknya pada Rabu, 17 Oktober 2019.
"Sudah berlaku meskipun presiden menolak tanda tangan," katanya.
Dari sisa waktu yang ada sebelum resmi berlaku, Mahfud MD mengusulkan beberapa solusi sebagai jalan tengahnya.
Diantaranya lewat legislatif review, Judicial Review, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Jalan tengah yang paling ringan dan prosedural yakni upaya perubahan lewat mekanisme legislatif review.
Yakni, membiarkan RUU KPK disahkan menjadi Undang-Undang, lalu tak lama kemudian struktur keanggotaan DPR yang baru menyusun agenda dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk dibahas kembali.
Kalau perlu, bisa dijadikan prioritas.
"Bisa. Itu nggak akan menimbulkan keributan, itu proses legislasi biasa dan bisa diprioritaskan pada awal pemerintahan," ujar Mahfud MD.
Kalau masyarakat terlanjur kecewa dengan sikap DPR terdahulu dan tidak percaya proses legislatif review, maka publik dapat mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi.
Jalur permintaan pembatalan UU KPK lewat JR pun terbagi dua, yaitu uji formal dan uji materi.
Uji formal bisa dilakukan, jika publik merasa ada prosedur yang terlewat dalam penyusunan RUU KPK.
Seperti contoh, saat rapat paripurna pengesahan RUU KPK disebut hanya dihadiri 80 anggota dari total 560 orang anggota DPR.
"Misalnya ya kalau itu benar. Dari 560 anggota dewan, yang hadir 80 orang kan sidang tidak sah. kalau itu benar, saya tidak tahu. Atau, ada tahapan yang diloncati. Itu uji formal, prosedurnya salah itu bisa dibatalkan," tutur Mahfud.
Sekalipun prosedur pengesahan RUU KPK disebut telah sesuai, publik bisa mengajukan JR soal uji materi.
JR uji materi berisikan pasal-pasal spesifik yang diminta untuk diganti atau dibatalkan.
Misalnya terkait keberadaan Dewan Pengawas KPK, kewenangan SP3, hingga status ASN bagi pegawai KPK.
"Itu bisa diminta ke Judicial Review. Tapi JR mungkin tidak mulus karena MK tidak boleh membatalkan satu undang-undang yang tidak disukai orang, tapi tidak melanggar konstitusi," katanya.
Opsi terakhir, adalah tuntutan meminta penerbitan Perppu oleh Presiden.
Perppu jadi pilihan terakhir jika pandangan subjektif Presiden menganggap situasi hari ini sangat genting, sehingga ia terpaksa mengeluarkan Perppu.
"Ketiga, yang banyak dituntut sekarang ini, opsi yang mungkin kalau sangat-sangat terpaksa memang bisa saja presiden mengeluarkan Perppu," ungkap dia.
Pertimbangkan terbitkan Perppu
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan terbitkan Peraturan Pemerintah Pengngganti Undang-Undang (Perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Langkah tersebut diambil setelah Jokowi menerima banyak masukan dari sejumlah tokoh mengenai UU KPK hasil revisi.
"Tadi banyak masukan dari para tokoh pentingnya menerbitkan Perppu," ujar Jokowi dalam jumpa pers bersama para tokoh di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2019).
Jokowi akan mengkaji dan mempertimbangkan masukan dari para tokoh tersebut.
"Tentu saja ini akan kita hitung kalkulasi, akan kita pertimbangkan, terutama dari sisi politiknya," jelas Jokowi.
Jokowi berjanji akan segera mengkaji dan memutuskan akan menerbitkan Perppu atau langkah lain.
"Tadi sudah saya sampaikan kepada beliau-beliau ini secepat-cepatnya dalam waktu sesingkat-singkatnya," ujar Jokowi.
"Nanti setelah kita putuskan akan kita sampaikan kepada para senior, dan para guru-guru saya," tambah Jokowi.
Akan temui mahasiswa
Presiden Jokowi rupanya mendapatkan banyak masukan dari puluhan tokoh senior di berbagai bidang yang diundang ke Istana Merdeka, Kamis (26/9/2019) sore.
Kabar menggembirakan, Jokowi berjanji bakal mempertimbangkan untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk menggantikan UU KPK yang telah disahkan DPR melalui paripurna.
Lanjut mengenai banyaknya gelombang aksi mahasiswa hingga pelajar baik di daerah maupun di ibu kota, Jokowi mengapresiasi aksi-aksi tersebut karena itu bentuk demokrasi.
• Mahfud MD: Imam Nahrawi Sahabat Saya yang Baik, Mudah-mudahan Kuat, Bersabar, Berani dan Tegar
• 5 Fakta Melody Prima, Kritik Demo Mahasiswa Tolak UU KPK dan RKUHP Sampai Diserang Netizen
• Unjuk Rasa Tolak Revisi UU KPK dan RKUHP di Samarinda, 9 Mahasiswa Jatuh Pingsan Lantaran Hal Ini
"Apresiasi saya terhadap demonstrasi mahasiswa yang saya kira sebuah bentuk demokrasi di negara kita.
Dan masukan-masukan yang disampaikan dalam demontrasi menjadi catatan besar dalam rangka memperbaiki yang kurang di negara kita," tutur Jokowi di Istana Merdeka.
Mantan Wali Kota Solo ini menekankan yang paling penting ialah aksi unjuk rasa jangan sampai merusak fasilitas umum dan anarkis.
"Besok kami akan bertemu dengan para mahasiswa, utamanya BEM," tegas Jokowi.
(*)