Andi Arief: Jokowi akan Keluarkan Perppu KPK dalam Waktu Dekat, tapi Isinya Belum Tentu Memuaskan
Andi Arief memprediksi Presiden Jokowi akan mengeluarkan Perppu KPK dalam waktu dekat. Namun, menurutnya isi Perppu KPK belum tentu memuaskan.
Penulis: Syaiful Syafar | Editor: Amalia Husnul A
TRIBUNKALTIM.CO - Politisi Partai Demokrat Andi Arief buka suara terkait tuntutan publik untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut UU KPK hasil revisi atau Perppu KPK.
Andi Arief mengutarakan pendapatnya soal Perppu KPK melalui akun Twitternya.
Cuitan Andi Arief tersebut turut menyebut nama Presiden Joko Widodo (Jokowi).
• Para Tokoh Tak Akan Lagi Temui Jokowi soal Perppu KPK, Mochtar: Yang Kita Sampaikan Semoga Didengar
• Soal UU KPK, Ini yang Ditakutkan Lembaga Anti Korupsi Dunia Terjadi di KPK, Dukung Judicial Review
• Pengamat Yakin Jokowi Bisa Atasi Tekanan Parpol Soal Perppu UU KPK, Ada yang Harus Diingatkan
• Dilema Penerbitan Perppu KPK oleh Jokowi, Ditolak Jusuf Kalla, Direspon Negatif Partai Koalisi
Andi Arief memprediksi Presiden Jokowi akan mengeluarkan Perppu KPK dalam waktu dekat.
Namun, menurutnya isi Perppu KPK belum tentu memuaskan.
"Menurut saya Pak Jokowi akan mengeluarkan Perpu KPK dakam waktu dekat, namun isi perpu belum tentu memmuaskan. Tapi ini konsesi pertama buat tuntutan yang luas yang sudah menjadi movement," tulis Andi Arief di Twitter, Jumat (4/10/2019).

Ini bukan kali pertama Andi Arief berkomentar soal Perppu KPK.
Beberapa waktu sebelumnya, Andi Arief juga aktif membuat cuitan di Twitter terkait Perppu KPK.
Dia bahkan pernah menyebut Presiden Jokowi senang didemo.
"Kesimpulan saya, Pak Jokowi memang senang didemo. Saya tidak tahu apakah juga senang melihat pak Polisi berbenturan dengan rakyat. Faktanya ada yang sekarang sedang berbenturan disaksikan Pak Jokowi. Betapa sulitnya mengeluarkan Perpu KPK pak?" tulis Andi Arief, 30 September 2019.
Pada 2 Oktober 2019, Andi Arief juga menulis bahwa penerbitan Perppu KPK adalah cara membalas kemarahan rakyat yang elegan.
"Demokrasi itu sederhana, rakyat boleh marah, tetapi wakil rakyat dan Presiden tak boleh membalas dengan marah pula. Perpu KPK dengan penyempurnaan menghilangkan pasal pelemahan KPK adalah cara membalas kemarahan rakyat yang elegan," cuit Andi Arief.
Istana Anggap Ibarat Buah Simalakama
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui, Presiden Jokowi tidak akan mungkin memuaskan semua pihak dalam mengambil keputusan terkait polemik Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi.
Sebab, jika Presiden menerbitkan Perppu untuk mencabut UU KPK hasil revisi, maka hal itu akan mengecewakan partai politik, terutama pendukungnya di parlemen.
Sementara, jika Presiden tidak menerbitkan Perppu, maka mahasiswa dan aktivis antikorupsi penolak revisi UU KPK yang akan dikecewakan.
"Keputusan ini seperti simalakama, enggak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, kan begitu, cirinya memang begitu. Jadi memang tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua pihak," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (4/10/2019), dilansir Kompas.com.
Oleh karena itu, menurut Moeldoko, saat ini Presiden Jokowi masih memikirkan keputusan terbaik yang akan ia ambil.
Ia sekaligus memastikan Presiden mendengar masukan yang disampaikan semua pihak.
Pada Senin (30/9/2019) lalu, Presiden sudah bertemu pimpinan partai politik pendukungnya.
Moeldoko juga sudah menerima sejumlah pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi pada Kamis kemarin.
"Presiden itu banyak yang harus didengarkan, ada partai politik, ada masyarakat yang lain, ada mahasiswa, ada berbagai elemen masyarakat," ujar Moeldoko.
"Maka, sekali lagi bahwa Presiden mendengarkan, mendengarkan dengan jernih, mendengarkan dengan cermat, agar nanti langkah-langkah ke yang terbaik," kata dia.
Diberitakan, UU KPK hasil revisi ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.
Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antirasuah.
Misalnya KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.
Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan yang harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan.
• Singgung Jokowi hingga Urgensi, Respons Johan Budi Soal Perppu KPK Saat Sudah Anggota DPR RI
• Namanya Tak Asing, Inilah 3 Politisi yang Terang-terangan Minta Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK
• Mahasiswa Puas, Walikota dan Ketua DRPD Balikpapan Minta Presiden Joko Widodo Terbitkan Perppu KPK
• Situasi Genting, Mahfud MD Ungkap Saat Terbaik Bagi Jokowi Terbitkan Perppu, Waktunya Makin Sempit
Selain itu, kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.
Setelah aksi unjuk rasa besar-besaran menolak UU KPK hasil revisi dan sejumlah RUU lain digelar mahasiswa di berbagai daerah, Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu.
Hal itu disampaikan Jokowi seusai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Namun, Ketua Umum Surya Paloh menyebut Presiden Jokowi dan partai politik koalisi pendukungnya sepakat untuk tidak menerbitkan Perppu KPK.
Kesepakatan itu, lanjut Surya, diambil ketika Jokowi dan pimpinan parpol pendukung bertemu di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (30/9/2019) malam.
Sementara itu, mahasiswa yang bertemu Moeldoko pada Kamis (3/10/2019) kemarin memberi waktu sampai 14 Oktober bagi Jokowi untuk menerbitkan Perppu.
Jika tidak, maka mahasiswa mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa yang lebih besar.
26 Poin yang Berpotensi Melemahkan KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan ada 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR pada Selasa (24/9/2019) lalu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, 26 poin tersebut dianggap berpotensi melemahkan KPK lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Dua puluh enam poin ini kami pandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan Kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini," kata Febri dalam keterangan tertulis, Rabu (25/9/2019).
Berikut ini 26 persoalan dalam UU KPK hasil revisi yang dinilai berisiko oleh KPK dapat melemahkan lembaga antirasuah tersebut:
1. Pelemahan Independensi KPK
KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif; Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari Putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important.
Pegawai KPK merupakan ASN, sehingga ada resiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya;
2. Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah penanggungjawab tertinggi dihapus;
3. Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas, misal: berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan.
4. Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?
5. Standar larangan Etik dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK. Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas, sehingga:
a. Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga jabatan profesi lainnya;
b. Dewan Pengawas tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK;
c. Sementara itu pihak yang diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman pidana di UU KPK
6. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
7. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan;
8. Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun);
a. Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh” tahun (Pasal 29 huruf e);
b. Alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak relevan, karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat.
c. Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden.
Jika sesuai jadwal maka pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu berarti UU Perubahan Kedua UU KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50 tahun.
Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat resiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah.
9. Pemangkasan kewenangan Penyelidikan Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri. Hal ini beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan;
10. Pemangkasan kewenangan Penyadapan Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap Penuntutan dan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi. Jika UU ini diberlakukan, ada 6 tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu:
a. Dari penyelidik yang menangani perkara ke Kasatgas
b. Dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan
c. Dari Direktur Penyelidikan ke Deputi Bidang Penindakan
d. Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan
e. Dari Pimpinan ke Dewan Pengawas
f. Perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu
Terdapat resiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan Penyadapan, sementara dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.
11. OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK;
12. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi, yaitu: Pasal 6 huruf a yang menyebutkan, KPK bertugas melakukan:
a. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi
Hal ini sering kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan pejabat tersebut agar tidak menerima suap.
13. Ada resiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK
Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut;
Ada ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan atau menyimpan hasil penyadapan tersebut; Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya.
14. Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus;
Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi;
Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri;
15. Berkurangnya kewenangan Penuntutan
Pada Pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan Penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas Penyidikan”, padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap Terdakwa.
Norma yang diatur tidak jelas dan saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas Penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap Terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di Penuntutan;
16. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
17. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN;
18. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN;
19. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.
Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar.
Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum.
20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu.
Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa;
21. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
22. Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasehat menjadi Dewan Pengawas atau Penasehat langsung berhenti saat UU ini diundangkan;
23. Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11)
Sesuai dengan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk dalam keadaan tertentu KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang meresahkan masyarakat.
24. KPK hanya berkedudukan di Ibukota negara KPK tidak lagi memiliki harapan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah.
Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani kasus korupsi di seantero negeri.
25. Tidak ada penguatan dari aspek Pencegahan
Keluhan selama ini tidak adanya sanksi tegas terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak diatur;
Kendala Pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab dengan revisi ini. Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius memperkuat Kerja Pencegahan KPK;
26. Kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada lagi.
Padahal korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan pelayanan publik akan disarakan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan. (*)