Isu Ahok dan Antasari Azhar Jadi Dewan Pengawas KPK Beredar, ICW Langsung Beri Respon
Beredar informasi bahwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bersama Antasari Azhar menjadi Dewan Pengawas KPK.
TRIBUNKALTIM.CO - Beredar informasi bahwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bersama Antasari Azhar menjadi Dewan Pengawas KPK.
Diketahui, revisi UU KPK membuat lembaga antirasuah itu bakal memiliki Dewan Pengawas KPK.
Dilansir dari Kompas.com, di media sosial dan pesan aplikasi WhatsApp beredar sebuah unggahan konten yang memuat foto mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar.
• Diungkap Mahfud MD, Ini Poin UU KPK yang Terang-terangan Abaikan Pesan Presiden Jokowi
• Baru Dilantik, 4 Anggota DPR RI Ini Diperiksa KPK Terkait Dugaan Suap, 1 Orang dari PDIP, 3 dari PKB
• Andi Arief: Jokowi akan Keluarkan Perppu KPK dalam Waktu Dekat, tapi Isinya Belum Tentu Memuaskan
Keduanya disebut telah dipilih sebagai Dewan Pengawas KPK.
Foto itu disertai tulisan, "Selamat dan Sukses Kami Ucapkan atas Terpilihnya Basuki Tjahaja Purnama dan Antasari Azhar Sebagai Dewan Pengawas KPK.
Musnahkan Kelompok Taliban di tubuh KPK Agar tidak dijadikan untuk kepentingan politik".
Peneliti Indonesia Corruption Watch atau ICW Kurnia Ramadhana menilai konten semacam itu merupakan informasi palsu atau hoaks.
Kurnia pun mengungkap sejumlah alasan kenapa informasi semacam itu patut disebut sebagai hoaks.
"Banyak sekali hoaks yang beredar ya, di media sosial.
Padahal UU KPK yang baru (hasil revisi) kan belum disahkan, dan belum bisa diterapkan," kata Kurnia saat ditemui di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Minggu (6/10/2019).
Ketentuan Dewan Pengawas KPK memang baru dicantumkan setelah DPR dan pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pengesahan baru dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada 17 September 2019.
Saat ini, UU KPK hasil revisi baru saja dikembalikan Istana Kepresidenan ke DPR karena ada salah ketik.
Dengan demikian, informasi bahwa Ahok dan Antasari Azhar telah dipilih sebagai Dewan Pengawas KPK jelas hoaks.
"Maka dari itu harusnya tidak ada berita-berita yang mengatakan tentang adanya anggota dewan pengawas yang baru atau yang sudah dipilih," ujar Kurnia.
Kurnia juga mempertanyakan muatan konten tersebut bahwa ada kelompok Taliban di KPK.
Selama ini, Taliban dikenal sebagai kelompok berkuasa di Afghanistan yang memperlakukan ajaran radikal.
"Pihak yang menuding isu Taliban dan lain-lain itu harusnya yang bersangkutan bisa menjelaskan Taliban seperti apa?
Buktinya apa?
Tudingan itu apakah ada pembuktian yang dilakukan?" kata Kurnia.
Selembar kain hitam yang menutupi logo KPK tersibak saat berlangsungnya aksi dukungan untuk komisi anti rasuah itu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Ia menilai, isu-isu semacam itu dihembuskan pihak tertentu yang tidak suka dengan perkembangan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Kurnia juga memandang, isu itu tidak sehat karena menggeser perdebatan dari persoalan penyelamatan KPK yang lebih penting ke persoalan yang tidak substansial.
"Ini kan tidak baik ya untuk pencerdasan masyarakat.
Kami berharap masyarakat selalu cek beberapa pemberitaan terkait tudingan kepada KPK.
Banyak sekali media kredibel yang dijadikan rujukan untuk menilai apakah informasi narasi itu benar atau salah," kata dia.
"Jangan sampai terjebak pada narasi pihak tertentu yang memang tidak senang dengan KPK yang mengeluarkan pendapat yang tidak ada obyektivitasnya.
Hanya pendapat yang subyektif sehingga masyarakat justru dikaburkan pandangannya," ujar Kurnia.
Ia meminta masyarakat tak terlibat dalam perdebatan isu yang tidak substansial dan validasinya diragukan.
Komentar Mahfud MD
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD menuturkan ada poin di dalam Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi yang berbeda dengan keinginan presiden.
Dikutip TribunWow.com, hal itu diungkapkan Mahfud MD saat menjadi narasumber dalam Indonesia Lawyers Club (ILC), yang diunggah dalam saluran YouTube ILC, Selasa (1/10/2019).
Mulanya Mahfud MD menyakinkan bahwa dalam melakukan penerbitan Perppu dengan judicial review tak akan bisa terlaksana.
• Andi Arief: Jokowi akan Keluarkan Perppu KPK dalam Waktu Dekat, tapi Isinya Belum Tentu Memuaskan
• Para Tokoh Tak Akan Lagi Temui Jokowi soal Perppu KPK, Mochtar: Yang Kita Sampaikan Semoga Didengar
• Beri Ancaman Andai 14 Oktober Jokowi Tak Terbitkan Perppu, Ngabalin Beri Nasihat Ini ke Mahasiswa
• Pengamat Yakin Jokowi Bisa Atasi Tekanan Parpol Soal Perppu UU KPK, Ada yang Harus Diingatkan
Judicial review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Dalam praktiknya, judicial review (pengujian) undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun Mahfud MD melihat hal itu sia-sia lantaran MK tak memiliki hak untuk membatalkan UU yang tidak bertentangan dengan konstitusional.
"Kalau dibahas biasa (judicial review) yang dipertentangkan tetap kalah di DPR karena partainya sudah setuju. Padahal rakyat itu menghendaki bukan itu. Pasti enggak ada gunanya. Judicial review enggak mungkin lagi," ujar Mahfud MD.
"Karena Mahkamah Konstitusi dilarang membatalkan undang-undang yang tidak disukai rakyat selama tidak bertentangan dengan konstitusi, ini tidak disukai oleh rakyat tapi tidak bertentangan dengan konstitusi," ujarnya.
"Ini yang disebut dengan open legalcy policy. Saya dulu menolak untuk membatalkan undang-undang penodaan agama, meskipun saya tahu itu jelek, tetapi itu konstitusional," kenangnya saat dahulu menjabat sebagai ketua MK.
Dirinya sangat yakin jika UU KPK dibawa ke MK tak akan diterima.
"Nah hal yang konstitusional tapi jelek itu yang merubah legislatif. Bukan hanya MK. Ini kalau dibawa ke MK pasti MK akan bilang, lha ini urusan legislatif, pasti ditolak. Kok bermimpi orang kalau ke MK," jelasnya.
Menurut Mahfud MD, jika pun terlaksana bisa dibatalkan oleh MK, hanya sebagian poin yang kecil.
"Saya mantan ketua MK menangani hal-hal yang begini, pasti ditolak. Paling dikabulkan satu bagian-satu bagian. Empat belas masalah itu, paling yang dikabulkan dua yang kecil-kecil. Dikabulkan sebagian, selalu begitu karena MK enggak berani, enggak boleh," ungkap Mahfud MD.
Dirinya lantas mengatakan saat itu ada usulan yang bagus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk UU KPK, yakni KPK tak perlu koordinasi dengan Kejaksaan Agung (KA).
"Misalnya yang jadi masalah besar itu, misalnya presiden mengusulkan begini, dan bagus sekali. Bahwa penuntutan oleh KPK tidak usah koordinasi dengan kejaksaan Agung, itu bagus sekali," ujar Mahfud MD.
Disebutkannya, saat itu justru yang keluar tak seperti yang diusulkan.
Justru dalam isi UU KPK revisi menghapus wewenang penyidik KPK.
Mahfud MD lantas mengatakan pesan presiden tak diikuti dalam pembentukan UU KPK tersebut.
"Tapi yang keluar, KPK yang penyidik dan penuntut dicoret komisionernya, malah lemah, itu enggak ikut. Pesennya presiden enggak diikuti. Wong presiden minta agar tidak ada koordinasi, malah dicabut haknya. Nah ini kan keliru," sebut Mahfud MD.
Kembali ia mengatakan bahwa pengujian UU KPK itu jika dibawa ke MK akan dikembalikan kewenangannya ke DPR.
"Kalau dibawa ke Mahkamah Konstitusi, MK bakal bilang 'Lah itu kan DPR, jangan diubah di sini, di sana'. Lah kalau MK boleh membatalkan undang-undang yang tidak disukai orang, semua UU dibatalkan secara sewenang-wenang oleh MK," paparnya.
"MK jangan membatalkan hal yang jelek tapi tidak inkonstitusional. Dia hanya pilihan politik hukum saya kembalikan saja ke DPR," pungkas Mahfud MD.
Lihat videonya dari menit ke 4.56:
Diketahui sebelumnya, Mahfud MD memprediksi sang presiden akan menerbitkannya pada awal bulan Oktober 2019 lantaran saat ini keadaan sudah genting.
Dilansir TribunWow.com, hal tersebut disampaikan Mahfud MD dalam wawancara unggahan kanal YouTube KOMPASTV, Sabtu (28/9/2019).
Melihat gelombang protes mahasiswa serta berbagai kalangan yang di antaranya menuntut penerbitan Perppu KPK, Mahfud MD menyebut kondisi sekarang sebagai situasi genting.
Sehingga Jokowi berhak untuk mengeluarkan Perppu yang merupakan hak subjektifnya.
"Menurut saya, keadaan sekarang ini sudah memenuhi syarat untuk dikatakan genting dan boleh presiden itu mengeluarkan Perppu," ujar Mahfud MD.
"Karena urusan genting itu adalah hak subjektif presiden," imbuhnya.
Mahfud MD menyebut tidak ada undang-undang yang mengatur soal bagaimana situasi negara dikatakan genting.
"Tidak ada undang-undang genting itu seperti apa, tidak ada undang-undangnya," kata Mahfud MD.
Untuk itu, Mahfud MD memprediksi jika Jokowi mau menerbitkan Perppu KPK, maka sekiranya pada awal bulan Oktober 2019.
"Saya mengira kalau presiden jadi memilih opsi itu ya mestinya awal, awal bulan ya, mungkin tanggal 2 atau tanggal 1 gitu," prediksi Mahfud MD.
Meski ikut menyarankan Jokowi agar menerbitkan Perppu KPK, Mahfud MD tetap menyerahkan keputusan itu kepada presiden.
"Mungkin, tapi ya terserah presiden sajalah, kita kan tidak boleh ikut campur," katanya.
Jika nanti Jokowi menerbitkan Perppu KPK, maka akan ada pembahasan bersama DPR yang nantinya akan memutuskan setuju atau menolak isi dari Perppu tersebut.
"Karena menurut undang-undang, Perppu itu dikeluarkan," jelas Mahfud MD.
"Kemudian pada masa sidang berikutnya, itu lalu dibicarakan oleh DPR atau dibicarakan dengan DPR untuk ditentukan apakah DPR setuju atau menolak."
Berikut video lengkapnya:
• Mirip Mahfud MD tentang Situasi Negara, Ini Kata Krisdayanti soal Perppu KPK Usai Resmi Dilantik
• Singgung Jokowi hingga Urgensi, Respons Johan Budi Soal Perppu KPK Saat Sudah Anggota DPR RI
• Mahfud MD Beber Atmosfir Bahas Perppu KPK Bersama Jokowi, Tertawa Lepas tak Tegang
• Pengamat Yakin Jokowi Bisa Atasi Tekanan Parpol Soal Perppu UU KPK, Ada yang Harus Diingatkan
(TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah/ Ifa Nabila)