Uighurs di Antara Jurnalisme dan Hoax

MUSLIM Uighurs menjadi banyak diperbicangkan, dan diposting di media sosial maupun aplikasi WhatApps.

Editor: Sumarsono
TRIBUN KALTIM/RACHMAD SUJONO
Pengamat Literasi Media Sosial Pitoyo memberikan materi tentang dampak media sosial kepada mahasiswa Universitas Balikpapan di Conference Room, Selasa (25/9/2018). 

Bisa dipastikan reaksi masyarakat di Amerika dan Eropa, bukan karena korban kamp di Xinjiang adalah umat Islam, namun atas nama HAM.

Bila dikaji lebih dalam, baik Inggris maupun Amerika samasama menentang ideologi komunis China.

Reaksinya tentu beda dengan Turki, yang merasa bahwa asal usul Uighur adalah bangsa Turki yang memiliki kesamaan dalam iman, yakni sesama umat Islam.

Jalinan emosional Turki dengan Uighur ini telah sekaian lama, meski terpisah oleh kekuatan politik dan militer Cina sehingga Uighur pun terpisah dengan Turki.

Lebih menarik disimak yakni tradisi jurnalisme yang masih kuat dipegang oleh media sekelas BBC.

Di era media sosial saat ini banyak yang berpendapat bahwa media massa, koran, radio dan televisi, sudah mulai kehilangan ruh jurnalismenya.

Media sudah menari di atas genderang media sosial. Pernyataan sinis ini tentu saja dapat ditepis dengan adanya jurnalisme investigasi yang dilakukan oleh 17 media di Eropa ini.

Jurnalisme investigasi memiliki karakter meliputi karya asli (bukan plagiat dari investigasi yang dikerjakan oleh instansi pemerintah atau lembaga nonpemerintah), perkara yang tidak terungkap (jika tidak diusahakan oleh wartawan), dan berorientasi pada kepentingan pembaca.

Untuk itu, ada upaya wartawan melakukan peliputan investigasi, seperti penggunaan tenaga informan, pemeriksaan catatan (data), dan pemantauan aktivitas sembunyisembunyi atau penyamaran.

Tujuannya untuk memberitahukan kepada pembaca tentang peristiwa atau situasi yang dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Wartawan melakukan riset dan menyiapkan laporan. Kasuskasus dan skandalskandal hukum yang seolaholah terkunci dapat dilacak dan dibeberkan oleh wartawan melalui liputan investigasi.

Temuan media yang kemudian menjadi isu masyarakat dunia ini khususnya masyaraat muslim, tentu membuat tidak nyaman pemerintah China. Menghadapi tekanan massa atas pemberitaan ini China diuji kemampuan dalam berkomunikasi di seluruh dunia, dan tidak cukup hanya melakukan bantahan bahwa dokumen yang beredar itu palsu.

China perlu menunjukkan secara detail bagaimana kondisi kamp di Xinjiang yang kabarnya menjadi lokasi penahanan dan penyiksaan bagi ratusan ribu warga Uighur.

Beban tugas China dalam menetralisasi isu media tersebut semakin berat dengan adanya fotofoto yang menggambar penyiksaan terhadap umat Islam di Uighur yang berdar di media sosial termasuk di Indonesia.

Aksi massa di berbagai negara bisa jadi bukan hanya di picu oleh hasil temuan investigasi media barat tersebut tetapi tersulutnya emosi massa akibat berita di media sosial.

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Kaltim Bisa Menggugat!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved