Tak Terima Kantornya Digeledah Penyidik KPK, PDIP Lapor Dewas, Begini Reaksi Anak Buah Firli Bahuri
Tak terima kantornya digeledah penyidik KPK, PDIP lapor Dewan Pengawas ( Dewas ), begini reaksi lembaga pimpinan Firli Bahuri.
TRIBUNKALTIM.CO - Tak terima kantornya digeledah penyidik KPK, PDIP lapor Dewan Pengawas ( Dewas ), begini reaksi lembaga pimpinan Firli Bahuri.
Kisruh KPK dan Partai pimpinan Megawati PDIP kian memanas.
Tim Hukum PDI Perjuangan mengadu ke Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) yang berkaitan dengan penggeledahan kantor DPP PDIP oleh penyidik KPK.
Melalui Ketua Tim Hukum PDIP, I Wayan Sudirta mengadukan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan tim penyidik KPK saat melakukan penggeledahan.
Pertemuan keduanya berlangsung tertutup dan selama satu jam.
Dalam hal ini PDIP menyampaikan tujuh point aduan diantaranya terkait polemik surat penyegelan kantor DPP PDIP.
"Surat yang berisi tujuh point," ungkap I Wayan.
"Surat pertama menekankan apa bedanya penyidikan dan penyelidikan," lanjutnya.
• Beda Pendapat Anak Buah Megawati Setelah PDIP Terjerat Kasus Suap Komisioner KPU yang Ditangani KPK
• Tim Hukum PDIP dengan Dewas KPK Bertemu, Aktivis ICW: Pertemuan Tersebut Langkah yang Keliru
• Pertanyakan Surat Penggeledahan, PDIP Adukan Kasus Harun Masiku ke Dewas KPK, Pakar UGM : Berlebihan
• KPK Gagal Geledah Kantor PDIP, Tim Hukum Partai Megawati: Surat Penggeledahan Hanya Dikibas-kibaskan
I Wayan Sudirta pun menjelaskan arti penyelidikan yakni pengumpulan bukti-bukti.
Sementara, penyidikan adalah proses jika sudah ada yang ditetapkan tersangka.
Terkait penyegelan itu, PDIP merasa dirugikan dan meminta Dewan Pengawas KPK memeriksa adanya kemungkinan pelanggaran kode etik.
"Ketika tanggal 9 Januari, ada orang yang mengaku dari KPK ada tiga mobil."
"Tapi menunjukkan bahwa dirinya punya surat tugas untuk penggeledahan," ujar Wayan Sudirta.
"Ketika diminta melihat hanya dikibas-kibaskan," imbuhnya.
Ketua Tim Hukum PDIP ini juga mengatakan PDIP akan kooperatif dalam mengusut kasus suap yang melibat Harun Masiku.
Wayan kembali mempertanyakan benarkah surat yang ditunjukkan itu merupakan surat penggeledahan dalam bentuk izin dari Dewas seperti persyaratan oleh UU No. 19 tahun 2019.
Reaksi KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi tak akan memberikan sanksi kepada penyelidik yang hendak menyegel kantor DPP PDI Perjuangan pada Kamis (9/1/2020) lalu.
Permintaan untuk memeriksa penyelidik KPK sebelumnya datang dari Tim Hukum PDI Perjuangan setelah mengunjungi Dewan Pengawas KPK, Kamis (16/1/2020) kemarin.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan, penyelidik yang bertugas di kantor DPP PDI Perjuangan sudah disertai surat tugas.
Maka dari itu mereka sudah bekerja sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP).
"Iya (tak memberi sanksi), artinya memang secara aturan, secara hukum acaranya, memang sudah menjalankan tugas penyelidikan.
Makanya itu sah, karena memang ada surat tugasnya," ujar Ali Fikri saat dimintai konfirmasi, Jumat (17/1/2020).
Seusai bertemu Dewas KPK yang diwakili Albertina Ho Kamis kemarin, Tim Hukum PDIP I Wayan Sudirta mengatakan tiga orang tim KPK yang bertandang ke kantor DPP PDIP berniat untuk menggeledah.
Lembaga pimpinan Firli Bahuri ini membantah pernyataan tim kuasa hukum PDIP tersebut.
Ia mengatakan tim KPK yang ke kantor DPP PDIP hanya membawa surat penyegelan.
Alasannya, Ali menjelaskan, saat itu kasus suap pergantian antar waktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih 2019-2024 masih dalam tahap penyelidikan.
Jadi, katanya, tak ada upaya penggeledahan melainkan hanya untuk menyegel kantor PDIP.
"Jadi kami memastikan bahwa tim tidak mungkin membawa surat penggeledahan.
Karena kita tahu sesuai hukum acara, surat penggeledagan adalah dilakukan ketika sudah proses penyidikan," jelasnya.
"Jadi sekali lagi kami pastikan, itu bukan surat penggeledahan, tapi surat tugas penyelidikan pada saat itu," tukas Ali.
Kronologi penangkapan Wahyu Setiawan
Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024.
Lembaga yang dipimpin Firli Bahuri itu juga turut menetapkan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP Harun Masiku, serta seorang swasta bernama Saeful.
Penetapan tersangka ini dilakukan KPK setelah memeriksa delapan orang yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT), Rabu (8/1/2020).
Penangkapan terhadap Wahyu Setiawan bermula saat lembaga pimpinan Firli Bahuri itu menerima informasi adanya transaksi dugaan permintaan uang dari Wahyu Setiawan kepada Agustiani Tio Fridelina yang merupakan mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu selaku orang kepercayaan Wahyu.
"KPK kemudian mengamankan WSE (Wahyu Setiawan) dan RTO (Rahmat Tonidaya) selaku asisten WSE di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 12.55 WIB," kata Wakil Ketua KPK Lili Pantauli Siregar menyampaikan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020).
• Tim Hukum PDIP Datangi Dewas untuk Adukan Penyidik KPK, Albertina Ho: Semua Pengaduan Diproses
• Mahfud MD Sebut Kewenangan KPK Sesudah dan Sebelum Revisi Undang-undang KPK Sama, Ini Soal Orangnya
• 7 Mantan Anggota Dewan Ancam Laporkan ke KPK, Sugeng: Laporin Saja Biar Terungkap Kebenarannya
• Gagal Geledah Kantor PDIP, Mahfud MD Sebut Itu Kesalahan Pemimpin KPK, Menkopolhukam: Ini Soal Orang
Kemudian secara paralel, tim terpisah KPK mengamankan Agustiani Tio Fridelina di rumah pribadinya di kawasan Depok, Jawa Barat pada pukul 13.14 WIB.
Tim pun berhasil mengamankan uang dalam bentuk dollar Singapura dari tangan Agustiani Tio.
"Dari tangan Agustina Tio, tim mengamankan uang setara dengan sekitar Rp 400 juta dalam bentuk mata uang dollar Singapura dan buku rekening yang diduga terkait perkara," ucap Lili.
Sementara itu, tim lain mengamankan SAE, DON, dan I di sebuah restoran di Jalan Sabang, Jakarta Pusat pukul 13.26 WIB.
Terakhir, KPK mengamankan IDA dan WBU di rumah pribadinya di Banyumas.
"Delapan orang tersebut telah menjalani pemeriksaan secara intensif di Gedung KPK," jelas Lili.
Dalam perkara ini, KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful.
Suap dengan total sebesar Rp600 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun Masiku dapat ditetapkan KPU sebagai anggota DPR menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
(*)