10 Tahun jadi Wartawan, Kisah Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Susahnya Andalkan Mesin Ketik

Selama 10 tahun jadi wartawan, Inilah kisah Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Susahnya andalkan mesin ketik

Editor: Budi Susilo
(Kompas.com/Ihsanuddin)
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir usai menemui Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/2/2017). Selama 10 tahun jadi wartawan, Inilah kisah Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Susahnya andalkan mesin ketik. 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Selama 10 tahun jadi wartawan, Inilah kisah Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Susahnya andalkan mesin ketik.

Betapa tidak mudahnya untuk menjadi wartawan.

Ketika baru menyodorkan tulisan hasil liputan, dibaca sekilas, dicoret pakai tinta merah, lalu digulung dan dibuang di tong sampah.

Begitulah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengenang sepuluh tahun (1985-1995) pengalamannya menjadi seorang wartawan sebelum menjadi pemimpin redaksi majalah tertua di Indonesia, Suara Muhammadiyah.

Baca Juga: Masih Zona Orange Covid-19, Jam Malam di Balikpapan Masih Berlaku

Baca Juga: Kronologi Kasus yang Menjerat Anggota DPRD Balikpapan, Kini Telah Dijebloskan di Lapas Klas IIA

"Ternyata untuk membikin news atau berita, biarpun kita biasa menulis di media itu tidak selalu dipandang tepat dan cocok untuk menulis sebuah berita. Sampai sering kita yakin sudah menulis dengan bagus itu kemudian dicoret-coret dengan tinta merah ala wartawan lama. Betapa terkoyaknya perasaan kita saat itu, ego kita seperti terkoyak saat itu," kenang Haedar Nashir dalam Webinar Peluncuran Lembaga Uji Kompetensi Wartawan Universitas Muhammadiyah Jakarta, dalam aplikasi Zoom dan disiarkan di Channel Youtube tvMU, Senin (5/10/2020).

Baca Juga: BERITA FOTO Prosesi Pemakaman Bupati Berau Muharram di TPU Km 15 Balikpapan

Baca Juga: BERITA FOTO Prosesi Pelepasan Sampai Penguburan Almarhum Bupati Berau Muharram di Balikpapan

Awal-awal kejadian itu terjadi, Haedar Nashir mengaku sempat sakit hati juga.

Tetapi dalam perjalanan waktu ras itu berubah menjadi satu kesadaran untuk menjadi jurnalis yang lebih tangguh dan profesional.

Selama 10 tahun juga Haedar Nashir sering turun ke lapangan pergi ke daerah-daerah, naik bus, angkot, kereta api bahkan harus jalan kaki.

"Sejak tahun 1985 sampai tahun 1995 proses itu saya jalani. Waktu itu saya sempat belajar menulis, waktu itu pimrednya pak  Ajib Hamzah, seorang budayawan dan jurnalis yang sangat dikenal di Yogyakarta," kisahnya.

"Bagaimana diajari titik koma ketika menulis dan bagaimana membikin judul yang menarik dan lain sebagainya. Itu  lewat proses perjalanan yang panjang. Itu jadi satu modal untuk bagaimana kita menjadi wartawan dan bagaimana menjadi seorang penulis termasuk penulis news," lanjutnya. 

Baca Juga: Jadwal Penerapan Sanksi Tidak Pakai Masker di Samarinda, Pelanggar akan Disidang Yustisi

Sumber: Tribunnews
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved