Horizzon
Ikut Menari di Festival Dahau
Di situ kita bisa melihat sejumlah stand UMKM yang hampir semua menjual pernak-pernik Dayak, mulai kalung, seraung, Anjar dan pernak-pernik lainnya
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Samir Paturusi
Maka tak berlebihan bila perhelatan tari kolosal 24 tahun Kutai Barat ini meneguhkan bagaimana akulturasi budaya Nusantara berjalan dinamis. Kutai Barat layak menjadi contoh kecil bagaimana Bhinneka Tunggal Ika itu benar-benar nyata adanya.
Akulturasi budaya yang berjalan dengan baik, kompromis dan toleran ini semakin nyata tampak di prosesi pemotongan kerbau atau yang dikenal dengan Ukaay Liaw Kelulungan.
Tidak untuk diperdebatkan bagaimana syareatnya, namun ritual pemotongan kerbau yang sebelumnya hanya dengan ditusuk beramai-ramai hingga kerbaunya tersungkur dan mati, maka dalam proses akulturasi, masuklah budaya Islam di ujung acara ini.
Agar daging kerbau bisa dinikmati oleh seluruh warga, maka sebelum kerbau benar-benar tersungkur mati, maka ritual dihentikan dan kerbau disembelih dengan cara islam.
Akulturasi ini semata-mata dimaksudkan agar seluruh warga termasuk yang muslim bisa menikmati daging kerbau yang disembelih.
Meski demikian, akulturasi budaya ini juga harus disikapi dengan sangat bijak oleh Tumenggung Singa Praja FX Yapan, yang tak lain adalah Bupati Kutai Barat, beserta seluruh punggawa pemerintah dan masyarakat Kutai Barat.
Kerukuran dan komitmen menjaga kondusivitas inilah yang selalu dipesankan oleh Bupati dan tokoh tokoh Kutai Barat.
Minggu, 5 November 3023 Bupati dan seluruh warga Kutai Barat semua bergembira di Pesta Dahau.
Kebahagiaan ini semoga menjadi berkah dan simbol kesejahteraan Kutai Barat. Dirgahayu ke-24 Kutai Barat, akulturasi budaya yang layak menjadi contoh bagi Indonesia. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.