Berita Nasional Terkini
Profil Hakim MK yang Melanggar Kode Etik, Hasil Putusan MKMK Soal Gugatan Batas Usia Capres/Cawapres
Berikut profil hakim Mahkamah Konstitusi(MK) yang terbukti melanggar kode etik. Cek hasil putusan MKMK soal perkara gugatan batas usia capres/cawapres
TRIBUNKALTIM.CO - Simak informasi seputar hasil putusan MKMK yang ajdi sorotan publik.
Berikut profil hakim Mahkamah Konstitusi(MK) yang terbukti melanggar kode etik.
Cek hasil putusan MKMK soal perkara gugatan batas usia capres/cawapres, Selasa (7/11/2023).
Baca juga: Info Hasil Putusan MKMK, Inilah 4 Poin Temuan Penting Majelis Hakim Jimly Asshiddiqie, Nasib Gibran?
Baca juga: NCW Sebut Dapat Bocoran Hasil Putusan MKMK, Anwar Usman Tidak Dipecat hanya Dapat Sanksi Ringan
Baca juga: Live Streaming Putusan MKMK, Dugaan Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi Anwar Usman cs, Nasib Gibran?
Inilah profil enam hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinyatakan melanggar etik dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam putusan nomor 5/MKMK/L/10/2023.
Dugaan pelanggaran etik enam hakim MK ini berkaitan dengan penanganan perkara uji materi syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
"Majelis kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi in casu Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan kesimpulan.
"Hakim terlapor terbukti tidak dapat menjaga informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup sehingga melanggar prinsip kepantasan," sambungnya.
Berikut profil keenam hakim MK tersebut.
1. Manahan M. P. Sitompul
Manahan Malontinge Pardamean Sitompul terpilih menggantikan Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang memasuki masa purna jabatan April 2015. Mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin ini mengucap sumpah jabatan di hadapan Presiden Joko Widodo pada Selasa (28/4) di Istana Negara,
Manahan menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Internasional Universitas Sumatra Utara (USU) tahun 1982.
Lalu lanjut S2 Program Magister jurusan Hukum Bisnis USU tahun 2001. Pendidikan hukum jenjang S3 Manahan mengambil Program Doktor Jurusan Hukum Bisnis USU tahun 2009. Karier hakimnya dimulai sejak dilantik di Pengadilan Negeri (PN) Kabanjahe tahun 1986.
Ia sempat berpindah ke beberapa tempat di Sumatra Utara sambil menyelesaikan kuliah S2 hingga tahun 2002 dipercaya menjadi Ketua PN Simalungun.
Pada 2013, Manahan mengikuti tes calon hakim agung, namun gagal pada tahap akhir fit and proper test di DPR.
Di tahun yang sama, ia dipanggil MA untuk fit and proper test menjadi pimpinan Pengadilan Tinggi (PT) dan berhasil sehingga ditempatkan sebagai Wakil Ketua PT di Pangkalpinang, Bangka Belitung.
"Baru pada 2015, saya memberanikan diri untuk mengajukan diri sebagai hakim konstitusi dan ternyata lulus untuk menggantikan senior saya, Bapak Alim,” jelasnya dikutip dari situs resmi MK.
2. Enny Nurbaningsih
Enny Nurbaningsih akhirnya terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi perempuan di Indonesia.
Wanita kelahiran Pangkal Pinang tersebut terpilih oleh panitia seleksi calon hakim konstitusi setelah melalui seleksi yang ketat.
Akan tetapi, siapa menyangka jika sosok srikandi hukum yang dipilih Presiden Joko Widodo ini, justru tidak terpikir untuk menjadi seorang hakim konstitusi.
Enny muda sesungguhnya memiliki cita-cita sebagai guru. Baginya, mengajar bukan hanya sebagai sebuah profesi, namun juga sebuah panggilan jiwa.
Kecintaan yang sama juga Enny tunjukkan pada ilmu hukum.
Sedari menginjak bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), ia bertekad untuk menjadi seorang sarjana hukum.
Wanita kelahiran 27 Juni 1962 ini pun rela merantau dari Pangkal Pinang ke Yogyakarta guna menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM).
Ia pun merampungkan pendidikannya dan resmi menyandang gelar sebagai sarjana hukum pada 1981 silam.
Enny juga berhasil meraih gelar doktor pada program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM dengan tesis berjudul "Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah dalam Peraturan Daerah".
Selain itu, Enny juga memiliki rekam jejak karir yang beragam di bidang hukum.
Di antaranya Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM, Sekretaris Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Legal consultant di Swisscontact, dan penasihat pada Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah.
Ia juga berkarir sebagai Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Enny juga pernah meraih penghargaan tanda kehormatan Satyalancana Karya Satya 10 tahun.
Baca juga: Hasil Keputusan MKMK, Jimly Bongkar Dugaan Pelanggaran Etik Hakim MK, Nasib Anwar Usman dan Gibran?
3. Suhartoyo
Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar Suhartoyo terpilih menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya sejak 7 Januari 2015 lalu.
Pada 17 Januari 2015, pria kelahiran Sleman ini mengucap sumpah di hadapan Presiden
Joko Widodo.Berasal dari keluarga sederhana, tidak pernah terlintas dalam pikiran Suhartoyo menjadi seorang penegak hukum. Minatnya ketika Sekolah Menengah Umum justru pada ilmu sosial politik. Ia berharap dapat bekerja di Kementerian Luar Negeri.
Namun kegagalannya menjadi mahasiswa ilmu sosial politik memberi berkah tersendiri karena ia akhirnya memilih mendaftarkan diri menjadi Mahasiswa Ilmu Hukum.
Pada 1986, ia pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung.
Ia pun dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011. Di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar.
Ia juga terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).
4. Wahiduddin Adams
Mengawali kariernya di dunia birokrasi, siapa sangka Wahiduddin Adams, akan melangkah mantap menjadi seorang penjaga konstitusi.
Sosok Wahid -panggilan akrab Wahiduddin- yang sederhana, religius, dan tidak neko-neko menjadi satu faktor kesuksesan kariernya kini.
Semua yang dicapai Wahid diakuinya buah dari kerja ikhlas, doa dari kedua orang tua, dan dukungan dari keluarga tercinta.
Dari orang tuanya pula Wahid mendapat pelajaran hidup yang masih ia pegang teguh hingga saat ini.
Dirinya mengaku selalu ditanamkan prinsip bekerja adalah amanah. Termasuk saat menjalani karier tertingginya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan.
Bukan hanya orang tua, Wahid juga mengakui peran istri dan ketiga putra-putrinya turut membawanya sampai pada kursi penjaga konstitusi.
Beralih dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi seorang penjaga konstitusi tentu bukan perkara mudah.
Banyak hal yang mesti Wahid sesuaikan, termasuk sikapnya sebagai seorang hakim. Wahid kini, tidak lagi dapat tunduk pada sistem birokrasi.
Ia mesti independen dalam bersikap dan berpikir lantaran tugasnya yang bersifat memutus.
Apalagi, seorang Wahid yang terkesan pendiam ternyata juga gemar berorganisasi. Ia sempat aktif sebagai Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun.
Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan sejumlah organisasi lainnya.
Baca juga: Besok Putusan MKMK, Jimly Asshiddiqie Sebut Anwar Usman Bersalah, Bagaimana Status Cawapres Gibran?
5. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh
Daniel menjadi putra pertama Nusa Tenggara Timur yang menjabat sebagai hakim konstitusi sejak MK berdiri.
Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 15 Desember 1964, Daniel merupakan putra ke-5 dari tujuh bersaudara. Ia lahir dari pasangan Esau Foekh dan Yohana Foekh-Mozes.
Dikutip dari situs MKRI, perjalanan hidup Daniel tidak bisa dipisahkan dari dunia aktivis. Ia tercatat aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kupang sejak terdaftar menjadi mahasiswa pada 1985.
Selanjutnya, Daniel juga terlibat aktif di beberapa lembaga, antara lain Sekretaris II Yayasan Kesehatan PGI Cikini, serta Pengurus Harian Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia.
Anggota Komisi Hukum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Sekretaris Advokasi Gereja Protestan di Indonesia (GPI) serta konsultasi hukum di GPIB Paulus.
Untuk menjaga independensi dan ketidakberpihakan, Daniel sudah mengajukan permohonan pengunduran diri sejak dilantik sebagai hakim di MK.
Daniel tercatat pernah menjadi dosen honorer di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia dan dosen tetap di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dengan jabatan fungsional sebagai Asisten Ahli.
6. M Guntur Hamzah
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Mahkamah Konstitusi (MK) Muhammad Guntur Hamzah menggantikan Aswanto, sebagai hakim konstitusi.
Dia menempuh pendidikan S1 Hukum Tata Negara di Universitas Hasanuddin, Makassar dan lulus pada 1988. Kemudian S2 Hukum Tata Negara di Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 1995.
Lalu, dia mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu hukum di Universitas Airlangga, Surabaya, dengan predikat cum laude.
Dia tercatat dua kali mendapatkan penghargaan. Pada 2009 dengan penghargaan Satya Lencana Karya Satya dan pada 2013 penghargaan Satya Lencana Karya Satya.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutus Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul PROFIL 6 Hakim MK yang Terbukti Langgar Etik, Diganjar Sanksi Teguran Lisan oleh MKMK
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.