Horizzon

Kebenaran Baru dan Kegagalan Pers

Guru sekaligus tokoh pers Dahlan Iskan pernah menyampaikan orasi ilmiah yang mengungkap munculnya kebenaran baru di era sosial media.

Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
DOK TRIBUNKALTIM.CO
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim

GURU sekaligus tokoh pers Dahlan Iskan pernah menyampaikan orasi ilmiah yang mengungkap munculnya kebenaran baru di era sosial media.

Munculnya kebenaran baru ini disampaikan oleh Dahlan Iskan dalam sebuah acara di Indramayu, 20 Mei 2023.

Meski menjadi polemik dan memunculkan pro kontra, namun apa yang disampaikan oleh jurnalis senior sekaligus mantan Menteri BUMN tersebut memang demikian adanya dan semakin ke sini, semakin nyata.

Sesuatu akan menjadi sebuah kebenaran jika terus menerus dinyatakan benar, diframing sedemikian rupa menjadi benar.

Alhasil, kebenaran baru itu tercipta, atau setidaknya diyakini sebagai sebuah kebenaran, meski sesungguhnya adalah sebuah penyesatan.

Baca juga: 3 Kebohongan Paling Epic

Dahlan Iskan tentu tidak sedang bermaksud menjadi seorang filsuf untuk menghasilkan teori baru tentang kebenaran, setidaknya dalam terori dasar jurnalistik.

Dahlan Iskan sedang 'putus asa' melihat pertumbuhan sosial media yang semakin liar menciptakan kebenarannya sendiri.

Sikap putus asa inilah yang mendorong Dahlan Iskan memilih menggunakan cara satire untuk mengeja situasi terkini.

Sama dengan kebanyakan, Dahlan justu melihat bahwa mana yang benar dan mana yang salah semakin kabur dan semakin kabur.

Sebagai tokoh pers, barangkali Dahlan juga merasakan eksistensi pers ini semakin tersingkir.

Apalagi, pers semakin ke sini semakin gagal menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Nomor 40 tahun 1999.

Baca juga: Ironi Demokrasi Basa-basi

Jujur saja, selama ini jurnalis menggunakan UU 40/99 sebagai senjata adalah ketika bicara soal kebebasan, atau ketika ada perselisihan dengan nara sumber.

Peran Pers Nasional sebenarnya sudah diatur di dalam Pasal 6 UU Nomor 40 tahun 1999.

Mari kita simak poin a dan poin c, yang isinya adalah, pers nasional melaksanakan peranan untuk memenuhi memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

Kemudian di poin c, pers berperan untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.

Kita kemudian menggugat, bagaimana dengan informasi yang tersebar liar di sosial media yang di dalamnya berserakan informasi yang berisi tentang kebenaran baru, yang sesungguhnya adalah informasi sesat?

Kita harus jujur bahwa pers benar-benar telah kehilangan peran dan bahkan eksistensinya untuk menjadi pemegang supremasi atas kebenaran sebuah informasi.

Baca juga: PR Itu Diingatkan Kembali oleh Mas Bechi

Regulasi pers yang terkungkung di dalam UU 40/1999 plus era disruption media membuat pers nasional justru seperti macan ompong yang tak bisa berbuat banyak di era derasnya informasi yang tak terkontrol.

Pers yang seharusnya sebagai pemegang supremasi kebenaran atas informasi bahkan tak mampu menjawab hal-hal esensial yang dinanti publik.

Contoh sederhana saja, pers tak pernah mampu meyakinkan publik soal keaslian ijazah Presiden Joko Widodo.

Pers tak berkutik dan membiarkan isu tentang polemik ijazah presiden ini menjadi diskursus liar di sosial media.

Harus diakui, soal ijazah ini hingga saat ini terpelihara dua kubu yang saling bertentangan yang sama-sama meyakini pendapat mereka.

Ironisnya, kita juga tak mampu mengeja, kubu mana yang menebarkan kebenaran baru dan kubu mana yang menyajikan kebenaran faktual.

Baca juga: Netralitas yang Sudah Berubah Makna

Ijazah presiden hanyalah contoh semata, masih banyak hal lain yang tak mampu dijawab oleh pers sehingga publik mampu berkembang dalam diskusi umum yang berdasar atas informasi yang akurat dan benar.

Atau barangkali selain kelelahan menghadapi disruption dan pragmatisme yang semakin nyata, kita juga membutuhkan regulasi yang tak lagi bertema kebebasan?

Boleh jadi kita harus meningkatkan kualitas pers kita bukan hanya sekadar merdeka, melainkan menghadirkan eksistensi yang nyata akan pers nasional.

Kita ingat, UU 40/1999 lahir di saat pers kita membutuhkan narasi kemerdekaan untuk menjawab represifitas Orde Baru.

Dalam perjalanannya, setelah kita (pers) merdeka selama 24 tahun, mungkin zaman menuntut tantangan baru terhadap pers nasional.

Eranya bukan Orde Baru yang mengancam kehidupan pers, namun kebenaran barulah yang mengancam pers, sehingga barangkali kita butuh regulasi baru yang mampu membangkitkan eksistensi pers nasional untuk melawan kebenaran baru yang tumbuh liar di sosial media. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved