Berita Samarinda Terkini

Resah Isu BBM 'Oplosan', Dosen Teknik Kimia Unmul Luruskan Soal Blending dan Angka Oktan

Isu dugaan BBM ‘oplosan’ yang beredar di tengah masyarakat Samarinda menuai polemik dan keresahan

Penulis: Sintya Alfatika Sari | Editor: Nur Pratama
TribunKaltim.co/SINTYA ALFATIKA SARI
DUGAAN BBM OPLOSAN - Rif’an Fathoni, Dosen Teknik Kimia Universitas Mulawarman, menjelaskan fenomena blending bahan bakar minyak secara ilmiah, menekankan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap perbedaan RON dan dampaknya terhadap performa mesin kendaraan. Kamis (10/4/2025). (TribunKaltim.co/SINTYA ALFATIKA SARI) 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA – Isu dugaan BBM ‘oplosan’ yang beredar di tengah masyarakat Samarinda menuai polemik dan keresahan.

Sejumlah pengendara melaporkan kerusakan pada kendaraannya usai mengisi BBM, disertai tudingan bahwa bensin yang mereka gunakan telah dicampur secara ilegal. 

Rif’an Fathoni, Dosen Teknik Kimia Universitas Mulawarman (Unmul), memberikan penjelasan ilmiah mengenai fenomena ini dan menekankan pentingnya pemahaman teknis dalam melihat persoalan BBM, khususnya terkait blending dan angka oktan (RON).

Baca juga: SMK SPP Negeri Samarinda Panen Melon Hidroponik, Bukti Keberhasilan Pembelajaran Berbasis Praktik

“Kalau dilihat dari fenomena sekarang, kasus oplosan itu sama dengan mencampur. Kalau dalam bahasa teknisnya itu blending,” ujar Rif’an saat ditemui TribunKaltim pada Kamis (10/4) sore. 

Ia menjelaskan, proses blending sebenarnya merupakan prosedur legal yang dilakukan oleh perusahaan kilang maupun distribusi seperti Patra Niaga karena menjadi bagian dari tahapan produksi BBM.

Namun, ia mengakui bahwa istilah 'oplosan' mengandung konotasi negatif bagi masyarakat awam. 

“Bahasa ‘oplosan’ ini meaning-nya negatif ketika didengar langsung oleh orang awam. Sehingga fenomena sekarang ini saya lihat adalah bentuk kekecewaan masyarakat dari kelangkaan BBM di Kaltim. Apalagi Kaltim merupakan daerah penghasil, tapi kekurangan BBM malah merebak,” katanya.

Lebih lanjut, Rif’an memaparkan bahwa bahan baku pertalite dan pertamax berasal dari minyak bumi yang sama dan diproses melalui destilasi, menghasilkan senyawa nafta dengan angka oktan (RON) rendah, yakni 85-90. Kemudian dilakukan proses lanjutan seperti hydrocracking untuk meningkatkan RON menjadi 90-95.

“Sehingga pertalite RON-nya 90, dan pertamax RON-nya 92. Untuk mendapatkan hasil RON yang pas, maka harus dilakukan blending antara RON tinggi dengan RON rendah. Prosesnya bisa menghasilkan RON 94-95 dan diblending, tapi istilah oplos di sini kesannya jadi negatif,” jelasnya.

Ia menjelaskan rasio blending yang umum dilakukan, misalnya campuran 60 dan 40 persen untuk menghasilkan RON 92 yang menjadi standar pertamax.

Perbedaan antara pertamax dan pertalite, menurutnya, hanya pada angka RON yang tak bisa dilihat secara kasat mata dan wajib melalui proses analisa laboratorium.

“Saya tidak tahu kalau di daerah apakah ada dinas yang punya kewenangan menguji itu, meski memang kalau tera di SPBU dilakukan oleh UPTD Meteorologi,” katanya.

Rif’an menambahkan, RON merupakan indikator kemampuan bahan bakar untuk mencegah terjadinya letupan berlebihan dalam mesin. Semakin tinggi RON, maka suara mesin akan lebih halus dan efisiensi pembakaran meningkat.

Pertamina membedakan pertalite dan pertamax dari segi warna, yakni hijau untuk pertalite dan biru untuk pertamax. Namun, menurut Rif’an, perbedaan warna ini sangat tergantung pada bahan baku awal, karena warna minyak bumi itu sendiri bervariasi.

“Ketika bahan bakar itu dicampur warna dan zat aditif, maka ingredients tambahan tidak merubah dari bahan baku tersebut. Padahal RON-nya pertamax, tapi kadang hasilnya bisa terlihat hijau. Itu tergantung dari bahan bakunya,” jelasnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved