Breaking News

Berita Nasional Terkini

Bantah Masa Eksekusi Silfester Sudah Kedaluwarsa, Refly Harun: Kejaksaan Itu Tidak Bodoh

Pakar hukum tata negara Refly Harun mengungkap hal baru seputar masa eksekusi Silfester Matutina yang disebut-sebut sudah kedaluwarsa.

Editor: Doan Pardede
Kompas.com/Baharudin Al Farisi
KASUS SILFESTER MATUTINA- Ketua Umum Solidaritas Merah Putih, Silfester Matutina (tengah) di Polda Metro Jaya, Senin (4/7/2025). (Kompas.com/Baharudin Al Farisi) 

TRIBUNKALTIM.CO - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengungkap hal baru seputar masa eksekusi Silfester Matutina yang disebut-sebut sudah kedaluwarsa.

Sebelumnya, pernyataan masa eksekusi kedaluwarsa ini diungkapkan langsung oleh Kuasa Hukum Silfester, Lechumanan.

Lechumanan mengatakan, eksekusi tersebut sejatinya sudah tak bisa dilakukan seusai gugatan yang dilayangkan oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKI) ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

"Jelas gugatannya ditolak. Artinya apa? Eksekusi tidak perlu dilaksanakan lagi. Bahwa peristiwa tersebut telah kedaluwarsa dan tidak patut untuk dieksekusi lagi," papar Lechumanan kepada wartawan di Gedung Bareskrim Polri, Kamis (9/10/2025).

Baca juga: Kejaksaan Agung Minta Kuasa Hukum Serahkan Silfester Matutina

Siapa Silfester Matutina?

Silfester Matutina adalah Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), kelompok relawan pendukung Presiden Joko Widodo. 

Namanya menjadi perbincangan publik karena kasus pencemaran nama baik terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menjeratnya pada tahun 2017. 

Silfester telah divonis 1,5 tahun penjara atas kasus tersebut.

Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak tahun 2019. 

Walaupun sudah ada vonis, hingga saat ini Kejaksaan belum berhasil mengeksekusi Silfester, sehingga ia belum ditahan. 

Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyatakan bahwa eksekusi harus segera dilakukan, namun belum menetapkan Silfester sebagai buronan (DPO) karena merasa masih bisa mencarinya.

Sekjen Peradi Bersatu Sebut Eksekusi Sudah Kedaluwarsa

Sementara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Peradi Bersatu Ade Darmawan juga bersikeras bahwa eksekusi pidana terhadap Silfester sudah kedaluwarsa, jika menilik Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 84 ayat 2 dan 3 yang berbunyi:

2) Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya 2 tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya 5 tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana, ditambah 1/3. 

3) Bagaimanapun juga, tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan.

Waktu pelaksanaan pidana terhadap Silfester, kata Ade, sudah kedaluarsa.

Sebab, telah melebihi dari lamanya vonis pidana yang dijatuhkan, mengacu pada KUHP Pasal 84 ayat 3.

Hal itu disampaikan Ade dalam program Kompas Petang yang diunggah di kanal YouTube KompasTV, Jumat (10/10/2025).

Refly Harun Sebut Kedaluwarsa Eksekusi Silfester 16 Tahun

Masih dalam program yang sama, Refly Harun pun menyebut ada yang salah dari anggapan Ade Darmawan soal pelaksanaan pidana Silfester Matutina sudah kedaluwarsa.

Menurut Refly, masa daluarsa pidana Silfester adalah 16 tahun, yang mana masih sangat lama batasnya.

Saat dijerat dengan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ancaman pidana yang dihadapi Silfester Matutina paling lama adalah 9 bulan dan 4 tahun penjara.

Baca juga: 6 Tahun Buron, di Mana Silfester Matutina? Kejagung Disorot, Kejari Jaksel Digugat

Sehingga, hitungan daluarsa pelaksanaan pidana Silfester seharusnya adalah 16 tahun.

Angka itu dihitung menurut ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Pasal 136 ayat 1 huruf c. juncto Pasal 142 ayat 1 dan 2, serta KUHP Pasal 78 ayat 1 angka 3 dan Pasal 84 ayat 2.

Dengan ancaman hukuman 4 tahun, maka kedaluwarsa tuntutan Silfester adalah 12 tahun.

Sehingga, waktu kedaluwarsa pidana Silfester menggunakan rumus kedaluwarsa tuntutan ditambah sepertiganya, yakni 12 + (1/3 x 12) = 16 tahun.

"Gini ya, kalau dia diancam hukuman 4 tahun, maka daluarsa [tuntutannya] itu 12 tahun, waktu [kedaluwarsa] eksekusi ditambah 1/3 itu yang membedakan. Jadi 12 tahun plus 1/3, 16 tahun," kata Refly.

Kemudian, Refly menilai, jika pun masa pelaksanaan pidana Silfester telah kedaluwarsa, Kejaksaan Agung RI tidak akan sembarangan menyatakan akan mencari dan mengeksekusi relawan Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) itu.

"Kejaksaan itu tidak bodoh. Kalau sudah daluarsa seperti yang Anda katakan, mereka tidak mungkin mengeluarkan statement macam-macam bahwa mereka akan mencari dan lain sebagainya," paparnya.

Refly lantas menyebut, seharusnya advokat tetap fair atau adil, jika putusan sudah inkrah, janganlah mencari celah untuk menghindar demi membela klien.

"Menurut saya, seorang lawyer, membela klien memang boleh, tetapi kalau putusan sudah inkrah, berkekuatan hukum tetap, jangan mencari-cari celah untuk menghindari hukuman," ujar Refly.

"Karena kalau begitu, kita bukan negara hukum lagi. Ada orang tidak patuh hukum, bukannya ditambah hukumannya, tetapi malah dihapus hukumannya," tegasnya.

Baca juga: Guntur Romli Heran Kejagung Rela Mempertaruhkan Nama Baik Demi Silfester Matutina

Daluwarsa dalam Hukum Pidana 

Sebagai informasi, ada dua jenis kadaluwarsa atau daluwarsa dalam pelaksanaan hukum pidana, yakni daluwarsa penuntutan dan daluwarsa pelaksanaan putusan.

Daluwarsa penuntutan adalah batas waktu bagi negara untuk menuntut seseorang sebelum adanya putusan pengadilan.  

Sementara, daluwarsa menjalankan pidana adalah batas waktu bagi negara untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap setelah hukuman dijatuhkan.

Adapun masa daluwarsa penuntutan dan daluwarsa menjalankan pidana sama-sama diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang lama dan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku mulai 2026 nanti.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, daluarsa penuntutan dan daluarsa pelaksanaan pidana diatur dalam pasal-pasal berikut ini:

Pasal 136 ayat 1 huruf c. yang berbunyi: 

Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa apabila: 

c. setelah melampaui waktu 12 (dua belas) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun

Pasal 142 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: 

1) Kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena kedaluwarsa setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, ditambah 1/3. 

2) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana harus melebihi lama pidana yang dijatuhkan kecuali untuk pidana penjara seumur hidup.

Baca juga: Reaksi Jusuf Kalla soal Silfester Matutina yang Tidak Kunjung Dipenjara

Sementara, daluarsa tuntutan dan daluwarsa pelaksanaan pidana dalam KUHP diatur dalam Pasal 78 ayat 1 angka 3 dan Pasal 84 ayat 2.

KUHP Pasal 78 ayat 1 angka 3. berbunyi: 

Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: 

3. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun, sesudah 12 tahun

KUHP Pasal 84 ayat 2, yang berbunyi: 

Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya 2 tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya 5 tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana, ditambah 1/3.

Duduk Perkara Kasus Silfester Matutina vs Jusuf Kalla
 
Silfester Matutina dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh tim kuasa hukum Jusuf Kalla pada 29 Mei 2017 lalu, terkait kasus dugaan pencemaran nama baik/fitnah.

Laporan ini dipicu oleh orasi Silfester pada 15 Mei 2017 di depan Gedung Mabes Polri.

Saat itu, ia menuding Jusuf Kalla menggunakan isu SARA untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Selain itu, Silfester disinyalir telah menyebut keluarga Kalla sebagai penyebab kemiskinan akibat dugaan korupsi dan nepotisme. 

Tak lama setelah orasi ini, Silfester bersikukuh tidak bermaksud untuk memfitnah Jusuf Kalla.

"Saya merasa tidak memfitnah JK, tapi adalah bentuk anak bangsa menyikapi masalah bangsa kita," ujar Silfester, dikutip dari Kompas.com, Senin (29/5/2017).

Pada 2019, kasus pun bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan ia dijatuhi vonis 1 tahun penjara oleh majelis hakim.

Lalu, Silfester mengajukan banding.

Namun, hasil putusan banding hingga kasasi menyatakan Silfester bersalah, sehingga, masih pada 2019, masa hukumannya ditambah menjadi 1,5 tahun.

Vonis dijatuhkan Mahkamah Agung pada Mei 2019 melalui putusan kasasi nomor 287 K/Pid/2019, dan menyatakan Silfester bersalah melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP.

Akan tetapi, meski vonis tersebut sudah inkrah, hingga Oktober 2025 ini atau lebih dari enam tahun berselang, Silfester belum pernah ditahan.

Ia pun terancam dipidana setelah Kapuspenkum Kejagung RI Anang Supriatna menyebut, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah mengundang Silfester untuk dilakukan eksekusi.

"Informasi dari pihak Kejari Jakarta Selatan, hari ini diundang yang bersangkutan. Kalau dia enggak datang ya silahkan aja," kata Anang saat ditemui di Gedung Puspenkum Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (4/8/2025).

"Kita harus eksekusi," sambungnya, seperti dilansir Tribunnews.com di artikel berjudul Tolak Anggapan Eksekusi Silfester Matutina Sudah Kedaluwarsa, Refly Harun: Daluwarsa Dia 16 Tahun.

Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved