Demo di Jakarta
Formappi soal Putusan MKD yang Tak Pecat Sahroni Cs dari DPR: Mengamankan Nasib Teman Sendiri
Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang tidak memecat lima anggota DPR nonaktif menuai kritik tajam dari berbagai pihak
- Ahmad Sahroni (Teradu V) juga dinyatakan melanggar kode etik karena ucapannya yang dianggap merendahkan publik, yakni menyebut orang yang ingin membubarkan DPR sebagai “tolol”. Ia dijatuhi sanksi nonaktif selama enam bulan, yang merupakan sanksi terberat di antara rekan-rekannya.
Selain itu, MKD memutuskan bahwa ketiganya tidak akan menerima hak keuangan (gaji dan tunjangan) selama masa penonaktifan.
Konteks Kasus dan Awal Mula Sidang Etik
Sidang etik terhadap lima anggota DPR tersebut bermula dari demonstrasi besar di depan Gedung DPR RI, Senayan, yang berlangsung antara 25–31 Agustus 2025.
Aksi itu menelan korban jiwa dan memicu sorotan publik terhadap perilaku sejumlah wakil rakyat yang dinilai tidak pantas.
Aksi massa muncul setelah beredarnya unggahan media sosial, pernyataan publik, dan tindakan para anggota DPR yang dinilai tidak mencerminkan etika dan empati, terutama di tengah situasi sosial yang menegangkan saat itu.
Setelah menerima laporan dari masyarakat dan pimpinan dewan pada 4, 9, dan 30 September 2025, MKD memutuskan untuk menyidangkan kelima anggota tersebut.
Pemeriksaan dilakukan dalam beberapa tahap, termasuk mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari bidang hukum, kriminologi, sosiologi, dan perilaku.
Namun, menurut Formappi, proses tersebut terlalu cepat dan tampak hanya sebagai formalitas. Lucius Karus menyebut,
“Dalam satu hari MKD menghadirkan saksi, lalu keesokan harinya langsung memutuskan, tanpa ada ruang pembelaan yang memadai.”
Kritik dari Pengamat Politik
Selain Formappi, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, juga mengkritik hasil keputusan MKD.
Ia menilai, seharusnya MKD memperkuat keputusan partai politik yang sebelumnya telah menonaktifkan kelima anggota DPR tersebut.
Menurut Jamiluddin, keputusan MKD yang berbeda dari keputusan partai berpotensi menimbulkan kesan adanya kompromi politik di tengah sorotan publik terhadap perilaku anggota DPR.
Sebagian pengamat menilai bahwa hasil sidang ini mencerminkan adanya “politik saling melindungi” di kalangan anggota DPR, terutama terhadap figur publik baru di parlemen seperti Uya Kuya dan Nafa Urbach yang memiliki pengaruh besar di media.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251106_sahroni-cs-mkd.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.