Breaking News

Demo di Jakarta

Formappi soal Putusan MKD yang Tak Pecat Sahroni Cs dari DPR: Mengamankan Nasib Teman Sendiri

Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang tidak memecat lima anggota DPR nonaktif menuai kritik tajam dari berbagai pihak

Tangkapan layar dari YouTube Sekretariat Presiden
PUTUSAN MKD - Anggota DPR non aktif yakni Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Ahmad Sahroni menghadiri sidang putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Rabu (5/11/2025). MKD memutuskan Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Ahmad Sahroni melanggar kode etik sebagai anggota DPR. Mereka pun sama-sama disanksi penonaktifan. (Tangkapan layar dari YouTube Sekretariat Presiden) 

- Ahmad Sahroni (Teradu V) juga dinyatakan melanggar kode etik karena ucapannya yang dianggap merendahkan publik, yakni menyebut orang yang ingin membubarkan DPR sebagai “tolol”. Ia dijatuhi sanksi nonaktif selama enam bulan, yang merupakan sanksi terberat di antara rekan-rekannya.

Selain itu, MKD memutuskan bahwa ketiganya tidak akan menerima hak keuangan (gaji dan tunjangan) selama masa penonaktifan.

Konteks Kasus dan Awal Mula Sidang Etik

Sidang etik terhadap lima anggota DPR tersebut bermula dari demonstrasi besar di depan Gedung DPR RI, Senayan, yang berlangsung antara 25–31 Agustus 2025.

Aksi itu menelan korban jiwa dan memicu sorotan publik terhadap perilaku sejumlah wakil rakyat yang dinilai tidak pantas.

Aksi massa muncul setelah beredarnya unggahan media sosial, pernyataan publik, dan tindakan para anggota DPR yang dinilai tidak mencerminkan etika dan empati, terutama di tengah situasi sosial yang menegangkan saat itu.

Setelah menerima laporan dari masyarakat dan pimpinan dewan pada 4, 9, dan 30 September 2025, MKD memutuskan untuk menyidangkan kelima anggota tersebut.

Pemeriksaan dilakukan dalam beberapa tahap, termasuk mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari bidang hukum, kriminologi, sosiologi, dan perilaku.

Namun, menurut Formappi, proses tersebut terlalu cepat dan tampak hanya sebagai formalitas. Lucius Karus menyebut,

 “Dalam satu hari MKD menghadirkan saksi, lalu keesokan harinya langsung memutuskan, tanpa ada ruang pembelaan yang memadai.”

Kritik dari Pengamat Politik

Selain Formappi, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, juga mengkritik hasil keputusan MKD.

Ia menilai, seharusnya MKD memperkuat keputusan partai politik yang sebelumnya telah menonaktifkan kelima anggota DPR tersebut.

Menurut Jamiluddin, keputusan MKD yang berbeda dari keputusan partai berpotensi menimbulkan kesan adanya kompromi politik di tengah sorotan publik terhadap perilaku anggota DPR.

Sebagian pengamat menilai bahwa hasil sidang ini mencerminkan adanya “politik saling melindungi” di kalangan anggota DPR, terutama terhadap figur publik baru di parlemen seperti Uya Kuya dan Nafa Urbach yang memiliki pengaruh besar di media.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved