Mahasiswa Balikpapan Hadirkan Perumus RUU KUHP, Ajak Diskusi Pasal Kontroversial, Ini Keseruannya
Mahasiswa Balikpapan Hadirkan Perumus RUU KUHP, Ajak Diskusi Pasal Kontroversial, Ini Keseruannya.
Penulis: Muhammad Fachri Ramadhani | Editor: Mathias Masan Ola
agar bisa mencabut revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tidak mengesahkan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Massa aksi menuntut pembatalan pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap telah membatasi kewenangan lembaga antirasuah
tersebut.
Selain itu, massa aksi juga mengecam persetujuan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
membawa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke Rapat Paripurna DPR tanggal 24
September 2019.
"Undang-Undang KUHP itu adalah benteng terakhir dari pelemahan kebebasan masyarakat sipil dalam
berdemokrasi," ujar orator demonstrasi, Lini Zurlia di Senayan Jakarta, Kamis.
Sementara tampak sejumlah massa mengenakan atribut sejumlah kampus seperti Universitas Indonesia,
Universitas Trisakti, Institut Teknologi Bandung, seperti Universitas Pembangunan Nasional- Veteran.
"Ini jadi pertanyaan kita, ini DPR serius sih ngewakilin kita. DPR sekarang sudah kayak DPR dulu. Asal Bapak
Senang," kata mahasiswa hukum Universitas Indonesia, Elang.
Elang menuntut agar mantan aktivis yang sekarang duduk di parlemen agar mau mendengar aspirasi rakyat.
Pasal Kontroversial
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono
menyatakan, sejumlah pasal dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( RKUHP) terlalu jauh
mengatur hak konstitusional hak warga negara.
Menurutnya, hal itu berpotensi merusak komitmen negara untuk membangun perlindungan hak sipil
politik warga negara yang telah berjalan sejak demokrasi diterapkan di negeri ini atau 20 tahun lalu.
"Sejumlah delik memuat pasal karet. Misalnya delik kesusilaan menunjukkan negara terlalu jauh mengatur
hak konstitusional warga negara yang bersifat privat," ujar Bayu saat dihubungi Kompas.com, Jumat
(19/9/2019).
Dia menjelaskan, kesepakatan DPR dan pemerintah untuk memasukkan delik di ranah privat tidak
dipertimbangkan dengan baik dengan tak merujuk pada nilai-nilai demokrasi Pancasila.
Contohnya Pasal 419 Ayat 1 yang menyatakan setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami
istri di luar perkawinan dapat dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 10 juta.
Kemudian pasal kontroversial lainnya ialah Pasal 417 Ayat 1 yang menyatakan setiap orang yang
melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan.
Sanksinya pun dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.
Ia mengkhawatirkan, apabila dipaksakan untuk disahkan, sejumlah ketentuan dalam RKUHP bisa
menimbulkan masalah bagi kehidupan masyarakat.
"Kehadiran RKUHP ini justru berdampak pula pada pengekangan kebebasan sipil," ucap Bayu.
Pengekangan kebebasan hak sipil tersebut, lanjutnya, nampak pada pasal-pasal dalam RKUHP yang tidak
relevan untuk kehidupan demokrasi.
Seperti delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden yang tercantum pada Pasal 218-220, lalu delik
penghinaan terhadap lembaga negara di Pasal 353-354, serta delik penghinaan terhadap pemerintah yang
sah yang dimuat pada Pasal 240-241.
Bayu juga menekankan, dalam prosedur RKUHP, proses yang dilakukan dalam rapat-rapat tertutup tentu
mengabaikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
"Ini juga menunjukkan kegagalan para anggota DPR menjalankan mandat sebagai wakil rakyat," kata Bayu.
Pasar Kontroversi tentang Hewan Ternak
Dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), diatur juga larangan membiarkan hewan
ternak berkeliaran di lahan orang yang ditanami bibit.
Jika dibiarkan, pemilik hewan ternak itu bisa dikenakan denda.
Baca Juga;
• Daftar Lengkap Pasal Kontroversial RUU KUHP: Atur Soal Kumpul Kebo, Ternak hingga Jam Pulang Malam
• Bisa Buat Gaduh dan Diskriminatif, Inilah Daftar Pasal Kontroversial di RKUHP dan Bantahan Menkumham