Geger Sprinlidik Wahyu Setiawan Bocor, Kasus 4 Tokoh Ini juga Pernah Alami Hal Serupa, Sanksi Serius

Kabar sprinlidik kasus Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang bocor dan sampai ke tangan anggota DPR RI Masinton Pasaribu buat geger

Editor: Doan Pardede
Kolase TribunKaltim.co / Kompas.com
Komisioner KPU Wahyu Setiawan kena OTT KPK 

TRIBUNKALTIM.CO - Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) meminta Dewan Pengawas KPK mengusut bocornya surat perintah penyelidikan ( sprinlidik ) kasus Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang sampai ke tangan anggota DPR RI Masinton Pasaribu.

Diberitakan sebelumnya, Masinton menunjukkan sprinlidik kasus Wahyu Setiawan dalam tayangan ILC di TV One, Selasa (14/1/2020) lalu.

Masinton mengaku mendapatkan surat itu pada Selasa siang sekitar pukul 11.00 WIB dari seorang yang bernama Novel Yudi Harahap.

"Ada seseorang yang menghampiri saya di Gedung DPR RI dengan memperkenalkan diri bernama Novel Yudi Harahap, kemudian memberikan sebuah map yang disebutkannya sebagai bahan pengaduan masyarakat kepada Anggota Komisi III DPR RI. Setelah menyerahkan map orang tersebut langsung pergi," kata Masinton dalam keterangan tertulis, Kamis (16/1/2020).

• Dewas KPK Tak Berkutik Saat Najwa Shihab Singgung Gagal Geledah Kantor PDIP, Simak Reaksinya

• Nama Mulan Jameela Terseret Setelah Kader PDIP Terlibat OTT KPK, Caleg Gerindra Bakal Diperiksa?

• Tim Hukum PDIP Jelaskan Soal Harun Masiku, Yasonna Hadiri Konferensi Pers PDIP, Jokowi Kena Imbas?

• KPK Tak Bernyali Geledah Kantor PDIP? Abraham Samad Singgung Undang-undang KPK Hasil Revisi

Masinton mengaku tak langsung membuka surat itu karena masih ada agenda lain.

Surat itu baru ia buka bersamaan dengan surat dan dokumen lain yang berada di ruang kerjanya.

"Pada saat saya buka, map tersebut berisi selembar kertas yang bertuliskan surat perintah penyelidikan KPK dengan nomor 146/01/12/2019, tertanggal 20 Desember 2019 yang ditandatangani Ketua KPK Agus Rahardjo," kata Masinton.

"Dewan Pengawas KPK harus menelusuri aktor yang memberikan informasi Sprinlidik atas nama Wahyu Setiawan kepada Masinton Pasaribu," kata peneliti ICW Wana Alamsyah yang tergabung dalam FOINI dalam siaran pers, Jumat (17/1/2020).

FOINI juga mendorong Dewan Pengawas KPK melaporkan para pihak yang terlibat dalam pembocoran sprinlidik tersebut ke pihak kepolisian.

Alasannya, sprinlidik bukanlah dokumen yang bisa diungkap ke publik sebagaimana diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik sehingga sanksi pidana karena menyebarkan informasi yang bersifat rahasia.

"Jika mengacu pada UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 17 huruf a, tindakan yang Masinton lakukan diduga dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan atau membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum," kata Wana.

• Politisi PDIP Harun Masiku Suap Anggota KPU, Pakar Hukum Singgung Peran Megawati

• Asal Usul Harun Masiku Dipertanyakan Peneliti ICW, Kok Bisa PDIP Getol Perjuangkan, Kasus Ajaib

Wana menuturkan, kebocoran sprinlidik kasus Wahyu bukanlah yang pertama kali bocor ke publik.

FOINI mencatat setidaknya terdapat empat peristiwa bocornya dokumen rahasia terkait penyelidikan maupun penyidikan KPK.

Yang pertama adalah bocornya surat perintah penyidikan terhadap Ketua Umun Partai Demokrat ketika itu, Anas Urbaningrum, terkait kasus korupsi proyek Hambalang.

"Pada saat itu KPK merespons dengan membentuk komite etik untuk mengusut bocornya surat tersebut. Hasilnya, sekretaris ketua KPK Abraham Samad, Wiwin Suwandi dipecat karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik," kata Wana.

Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengenakan rompi tahanan warna oranye usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2020) dini hari.
Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengenakan rompi tahanan warna oranye usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2020) dini hari. (Tribunnews/Jeprima)

Kedua, Sprindik atas nama Jero Wacik selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terkait kasus suap di lingkungan SKK Migas.

Ketiga, Sprindik atas nama Rachmat Yasin selaku Bupati Bogor terkait kasus pemberian izin di Bogor.

Keempat, Sprindik atas nama Setya Novanto selaku Ketua DPR terkait kasus PON di Riau.

Sprinlidik Harun Masiku Dipersoalkan PDI-P, KPK Pastikan Tetap Legal

Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menegaskan, surat perintah penyelidikan terhadap eks caleg PDI-P Harun Masiku tetap sah meskipun ditandatangani pimpinan KPK periode 2015-2019 pada Desember 2019.

• KPK Gagal Geledah Kantor PDIP, Ferdinand Hutahaen : Saya Tertawa Sambil Nangis

• Bantah Perlambat Izin Penggeledahan, Dewas KPK Sebut Izin Diterbitkan 1x24 Jam Setelah Permohonan

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, Agus Rahardjo dkk tetap berwenang menerbitkan sprinlidik walau terdapat Keppres No. 112/P Tahun 2019 tentang pemberhentiam pimpiman KPK yang diteken pada 20 Oktober 2019.

"Berhentinya atau selesainya pimpinan KPK yang lama itu adalah sejak kemudian ada pelantikan ataupun adanya pengambilan sumpah jabatan dari pimpinan KPK yang baru, dalam hal ini adalah pak Firli dan kawan-kawan," kata Ali di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (16/1/2020).

Ini disampaikan Ali menanggapi Tim Hukum PDI-P yang menilai sprinlidik Harun tidak sah karena ditandatangani Pimpinan KPK sebelumnya.

Dengan demikian, menurut penjelasan Ali, Agus Rahardjo dkk tetap memiliki kewenangan sebagai pimpinan KPK hingga 20 Desember 2019 ketika Firli dkk dilantik.

Ali pun membantah tudingan Tim Hukum PDI-P yang menilai sprinlidik Harun tidak sah karena diteken oleh pimpinan lama yang dianggap sudah tidak mempunyai kewenangan.

Ali mengatakan, hal itu sebenarnya sudah tertera dalam Keppres 112/P tahun 2019 yang diungkit oleh Tim Hukum PDI-P.

"Saya tahu bahwa Pak Maqdir (anggota Tim Hukum PDI-P, Maqdir Ismail) orang yang paham betul tentang hukum, kami sangat menyayangkan karena tidak membaca secara utuh Keppres 112/P 2019 tersebut," kata Ali.

Sebelumnya, anggota tim hukum PDI-P Maqdir Ismail mempersoalkan legalitas sprilindik KPK yang digunakan untuk menyelidiki kasus suap yang melibatkan mantan anggita PDI-P Harun Masiku.

Menurut Maqdir, dalam kasus suap tersebut, Sprinlidik yang diterbitkan KPK tidak sah lantaran menggunakan tanda tangan Pimpinan KPK periode 2015-2019.

Masih menurut Maqdir, Pimpinan KPK periode 2015-2019 tak memiliki kewenangan menjalankan tugas sejak ketentuan pemberhentian diteken Presiden dalam Keppres No. 112/P Tahun 2019 pada 20 Oktober 2019.

"Keppres pemberhentian Pimpinan KPK lama itu, diteken 20 Oktober 2019. Sementara dalam Keppres itu juga dikatakan pengangkatan terhadap pimpinan baru akan dilakukan pada tanggal 20 Desember," ujar Maqdir di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta, Rabu (15/1/2020).

Karenanya, Maqdir pun mengatakan KPK tak bisa berlindung dalam memproses kasus suap di KPU yang juga melibatkan mantan anggota PDI-P Harun Masiku, jika proses kerjanya terbukti melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Artinya apa? Ketika 20 Oktober mereka diberhentikan dengan hormat sampai tanggal 20 Desember sebelum pimpinan baru disumpah, Pimpinan KPK (lama) itu tidak diberi kewenangan secara hukum untuk melakukan tindakan yang selama ini jadi kewenangan mereka," lanjut Maqdir.

• KPK Gagal Geledah Kantor PDIP, Irmanputra Sidin Singgung PDIP di Masa Lalu, Selalu Bela Hak Rakyat

• Abraham Samad: Kantor DPP PDIP Harusnya Tetap Bisa Digeledah, Sesalkan Sikap Partai Pengusung Jokowi

• NEWS VIDEO Abraham Samad Sebut Kejayaan KPK di Masa Lalu Telah Mati

• KPK Gagal Geledah Kantor PDIP, Abraham Samad Bandingkan dengan PKS dan Demokrat Sudah Selesai KPK

(*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved