Berita Nasional Terkini
Rincian Ganti Rugi Pemerintah untuk Warga Pulau Rempang agar Mau Relokasi, Tak Hanya Mencakup Rumah
Inilah rincian ganti rugi dari pemerintah untuk warga Pulau Rempang agar mau relokasi, tak hanya mencakup rumah.
Penulis: Eni | Editor: Heriani AM
TRIBUNKALTIM.CO - Inilah rincian ganti rugi dari pemerintah untuk warga Pulau Rempang agar mau relokasi, tak hanya mencakup rumah.
Sekitar 7.500 jiwa yang tinggal di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, bakal direlokasi Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Penduduk Pulau Rempang direlokasi untuk mendukung proyek pembangunan Rempang Eco City.
Rempang Eco City merupakan kawasan industri, jasa, dan pariwisata yang mana proyeknya masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Rempang Eco City digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) yang kepemilikannya dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata, konglomerat pemilik Grup Artha Graha.
Ditargetkan dengan adanya Rempang Eco City bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.
Baca juga: Bocoran Tempat Relokasi Warga Terdampak Investasi di Pulau Rempang, Pemerintah Siapkan SHM
Baca juga: Menteri Bahlil Jelaskan soal Investasi di Pulau Rempang, Optimis Jadi Mesin Ekonomi Baru Indonesia
Baca juga: Soal Konflik Rempang, PBNU: Semua Pihak Harus Cooling Down Terutama Aparat Keamanan
Namun, rencana tersebut mendapat penolakan warga sehingga terjadi bentrokan.
Bentrok terjadi antara warga Pulau Rempang, dengan tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan BP Batam, dan Satpol PP.
Disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto, pihaknya telah menyiapkan lokasi relokasi bagi masyarakat yang terdampak pembangunan di Pulau Rempang.
Pemerintah telah menyiapkan tanah seluas 500 hektare untuk relokasi warga Rempang.
"Terkait tempat untuk saudara-saudara kita yang ada di Rempang, kami sudah siapkan lokasi di Dapur 3, Pulau Galang. Luasnya 500 hektare," ungkap Hadi dalam siaran pers, Minggu (17/9/2023).
Menteri Hadi Tjahjanto bahkan mengaku siap memberikan sertifikat hak milik (SHM) bagi warga terdampak pembangunan Rempang Eco City yang memenuhi syarat.
Dirinya juga menyatakan sudah berkoordinasi dengan Wali Kota Batam yang juga menjabat Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, terkait rencananya untuk memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat.
"Ketika sudah diinventarisasi dan identifikasi, subjeknya sudah ditentukan 16 titik, kita ingin langsung menyerahkannya sambil kita jalankan pembangunan dan diawasi oleh pemilik," kata Hadi menambahkan.
Akan tetapi, imbuh Hadi, SHM yang diberikan tidak boleh dijual dan harus dimiliki oleh masyarakat yang terdampak tersebut.
Baca juga: Bentrok Masyarakat vs Aparat di Rempang Jadi Sorotan Media Asing, Sebut Hanya Masalah Komunikasi
Tawaran Ganti Rugi dari Pemerintah
Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia menyebutkan, ganti rugi warga Rempang yang terdampak investasi akan disesuaikan dengan aset yang dimiliki oleh warga tersebut.
Dia menjelaskan, uang ganti rugi yang disesuaikan itu dihitung dari hak-hak yang sebelumnya sudah ditetapkan dan akan diberikan kepada warga.
Rincian ganti rugi yakni tanah seluas 500 meter persegi sudah dengan alas hak, rumah tipe 45 seharga Rp 120 juta, uang tunggu transisi hingga rumah jadi sebesar Rp 1,2 juta per jiwa dan uang sewa rumah Rp 1,2 juta.
"Yang kali ini harus saya sampaikan adalah, bagi warga yang memang alas haknya sudah ada dan bangunannya itu bagus, yang bukan tipe 45," beber Bahlil saat meninjau Pulau Rempang dikutip dari Antara, Minggu (17/9/2023).
"Contoh, bangunannya bagus tapi ternyata rumahnya itu dihargai Rp 350 juta, itu akan dilihat oleh KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik), dan selisihnya itu akan diselesaikan oleh BP Batam," kata dia lagi.
Menurut dia, ganti rugi tak hanya mencakup rumah saja, pemerintah juga menawarkan ganti rugi untuk kepemilikan lainnya.
"Termasuk dengan keramba, tanaman, sampan, semua ini akan dihargai secara proporsional sesuai dengan mekanisme dan dasar perhitungannya," ujar Bahlil.
Selain penyesuaian ganti rugi itu, dalam rapat koordinasi itu, pihaknya juga sepakat terkait proses penanganan Rempang yang harus dilakukan dengan cara-cara yang lembut.
"Kami tetap memberikan penghargaan kepada masyarakat yang memang sudah secara turun temurun di sana. Dan kita harus melakukan komunikasi dengan baik seperti sebagaimana layaknya lah. Kita ini kan sama-sama orang kampung, ya kita harus bicarakan," katanya.
Kemudian pihaknya juga membahas terkait pencabutan izin beberapa oknum yang membangun usaha atau memiliki lahan di Rempang.
"Ini juga harus membutuhkan penanganan khusus," kata dia.
Dia juga menyebutkan akan melakukan rapat setiap minggunya bersama gubernur dan BP Batam untuk membahas percepatan pengembangan kawasan tersebut.
"Yakinlah bahwa ini investasinya untuk kesejahteraan rakyat. Ini menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, dan masyarakat yang akan kita geser, pergeseran dari pulau itu, itu mereka juga akan diberikan hak-haknya," ujar Bahlil.
Baca juga: Diduga Gara-gara Sedekah Makanan untuk Warga Rempang, Sahabat Ustadz Abdul Somad Dipanggil Polisi
Sejarah Konflik Lahan Rempang Eco City

Jika merunut ke belakangan, konflik lahan di Pulau Rempang sudah terjadi sejak puluhan tahun silam.
Kawasan ini sejatinya sudah dihuni masyarakat lokal dan pendatang jauh sebelum terbentuknya BP Batam.
Namun masyarakat yang tinggal di pulau tersebut selama ini tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan.
Ini karena sebagian besar lahan di pulau tersebut awalnya merupakan kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
BP Batam sendiri baru terbentuk pada Oktober 1971 yang diinisisasi BJ Habibie dengan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973.
Kala itu, Habibie mencetuskan konsep Barelang (Batam Rempang Galang).
Di mana ketiga pulau besar itu saling terhubung untuk menggeliatkan ekonomi, terlebih Kepulauan Riau nantinya memisahkan diri dari Provinsi Riau.
Ketiga pulau ini letaknya sangat strategis karena berada di Selat Malaka.
Pada awalnya, Barelang digadang-gadang bisa menyaingi Singapura sebagai pusat perdagangan dan industri, meski dalam perkembangannya kawasan ini justru malah menjadi pendukung dan pelengkap penggerak ekonomi Singapura.
Agar pengelolaannya bisa lebih profesional, pemerintah pusat memutuskan membentuk Otorita Batam yang terpisah dengan pemerintah daerah, kini berubah menjadi BP Batam.
Badan inilah yang kemudian mengelola kawasan Batam dan pulau sekitarnya, termasuk Pulau Rempang.
Dibandingkan Pulau Batam yang ekonominya tumbuh pesat, perkembangan Rempang dan Galang memang lebih lambat.
Namun kedua pulau ini mulai menggeliat terutama sejak dibangun Jembatan Barelang pada 1998.
Baca juga: Sosok Abang Long Pahlawan Rempang yang Bikin Kapolres Terdiam dan Nasibnya Kini, PH Sulit Bertemu
Awal Mula Konflik Pulau Rempang

Konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001.
Kala itu, pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta.
HPL itu kemudian berpindah tengan ke PT Makmur Elok Graha.
Praktis masalah status kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin pelik.
Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan.
Konflik lahan memang belum muncul kala itu hingga beberapa tahun kemudian, karena perusahaan menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau Rempang.
Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL PT Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City, proyek yang digadang-gadang bisa menarik investasi besar ke kawasan ini.
Mengutip Antara, Menko Polhukam Moh. Mahfud MD menegaskan kasus di Rempang itu bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.
"Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002,” kata Mahfud MD. Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain.
"Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud MD.
Dia melanjutkan situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022.
"Ketika kemarin pada 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” kata Mahfud MD.
Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002.
“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan," beber Mahfud.
"Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” katanya lagi.
Baca juga: Dibalik Instruksi Viral Panglima TNI, Minta Prajurit Piting Warga Rempang, Tak Tega Polisi Digebuki
Warga Tak Memilik Sertifikat
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
"Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam," ujar Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, masih dikutip dari Antara.
Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan HPL dari BP Batam.
Hadi mengatakan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Warga Pulau Rempang Tak Mau Pindah, Ternyata Segini Tawaran Ganti Rugi dari Pemerintah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.