Horizzon
Waktu Balas Dendam
Frasa-frasa tentang keputusasaan anak negeri ini sesungguhnya sudah sering nyaring kita dengar dan lihat.
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim
BOLEH jadi, kita sepemikiran tentang apa yang bakal terjadi pasca coblosan 14 Februari 2024 mendatang.
Bukan tentang siapa yang bakal unggul memenangi kontestasi, tetapi tentang harapan agar rasa keadilan dan ketidakpercayaan di negeri ini bisa kembali menjadi ruh dalam kehidupan kita ber-Indonesia.
Frasa-frasa tentang keputusasaan anak negeri ini sesungguhnya sudah sering nyaring kita dengar dan lihat.
Coba simak frasa ini, “Siapapun yang menang, kalau kita tidak kerja juga tidak bisa makan.”
Frasa tersebut, berikut sejumlah variannya adalah frasa yang tanpa sadar sering kita dengar.
Meski seolah tampak benar dan nyata, namun jika dimaknai lebih dalam, frasa tersebut adalah esensi dari keputusasaan.
Baca juga: Raung Sirene Demokrasi dari Bulaksumur
Boleh jadi, asumsi di atas tidak seratus persen benar. Namun demikian, tak berlebihan pula jika frasa tersebut dimaknai sebagai bentuk ketidakpercayaan publik terhadap gelaran akbar demokrasi bernama Pemilu 2024.
Sesekali, terbersit juga dalam pikiran kita bahwa Pemilu 2024 yang konon membutuhkan duit tak kurang dari Rp70 triliun ini tak sanggup memberikan keyakinan kepada publik bahwa kontestasi yang digelar akan berjalan dengan fair.
Sebagai pembuka, mari kita buka kembali catatan kita terkait proses seleksi penyelenggara Pemilu dan bahkan sejak pembentukan Panitia Seleksi yang sudah sarat dengan kepentingan.
Siapapun yang lolos sebagai penyelenggara hampir pasti lantaran mengantongi rekomendasi dari elemen-elemen kuat yang tak lain adalah kepanjangan tangan dari penguasa.
Sejak awal, kita sudah melihat ada upaya sistematis agar penyelenggara memiliki lebih banyak peluang untuk menentukan hasil.
Terlepas apakah yang merencanakan masih punya kendali atau tidak terhadap penyelenggara, niat untuk sengaja membuat kontestasi tidak fair tak bisa dipungkiri.
Baca juga: Ironi Demokrasi Basa-basi
Boleh jadi, kita juga sepakat bahwa yang perlu dikhawatirkan justru bukan pada panyelengara yang tidak ideal.
Iklim demokrasi dan pendidikan politik yang gagal di negeri ini justru yang membuat kita semakin yakin bahwa Pemilu 2024 tak akan menghasilkan apa pun.
Praktik jual beli suara yang nyata-nyata di sekitar kita adalah penanda nyata bahwa Pemilu kita benar-benar tak lebih dari sekadar bursa jual beli kekuasaan.
Siapa yang bakal melenggang ke lembaga dewan, bukanlah mereka yang kita percayai untuk menyuarakan hak-hak kita. Mereka adalah pencari kekuasaan yang sudah lunas membayar dengan rupiah.
Jika boleh jujur, kita semua paham dengan situasi ini.
Bisa dipastikan, jika satu persatu di antara kita ditanya, tak ada satupun yang nyaman dengan situasi ini.
Kita semua adalah korban pengkhianatan dari praktik jual beli kekuasaan melalui Pemilu.
Kita semua juga tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini hanyalah dengan aksi pembangkangan massal terhadap caleg pemburu kekuasaan.
Baca juga: Netralitas yang Sudah Berubah Makna
Bolehkah untuk kali ini saja, kita bersepakat justru untuk tidak mencoblos caleg yang sudah membeli kita?
Kita percaya, semua sepakat untuk itu. Yang kita butuhkan hanya satu, dirijen yang bisa mengorkestrasi ini.
Tak berlebihan, jika kita akhirnya juga berharap jika kampanye soal pembangkangan massal ini perlu dilakukan.
Bisa jadi ini sudah terlambat, namun masih bukankah peradaban kita saat ini juga sudah sangat dinamis?
Siapa tahu dalam satu-dua hari ke depan ada video FYP yang viral di TikTok yang mampu menjadi dirijen untuk menjadi momentum gerakan massal ini.
Baca juga: Sakit Menahun Demokrasi Indonesia
Selain TikTok, kita juga berharap agar Tuhan tak lagi terlalu baik pada politisi-politisi busuk hingga membiarkan mereka kembali berkuasa dengan uang.
Kita berharap Pemilu 2024 ini ada campur tangan Tuhan.
Sudah saatnya kita berharap agar Tuhan tidak bersikap adil-adil amat.
Saat ini kita butuh Tuhan ikut campur dengan menolong kita yang membutuhkan keadilan dengan mengesampingkan doa-doa mereka yang selalu mengkhianati kekuasaan yang mereka miliki.
Lalu soal Pilpres bagaimana?
Jika kita sepakat bahwa Pemilu 2024 ini adalah momentum untuk menjadikan semua lebih baik, soal Pilpres adalah soal sederhana.
Kalaupun kita sulit bersepakat menentukan pilihan yang sama, setidaknya kita bisa sepakat menghindari pilihan yang sama. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.