Horizzon

Belajar dari Tangis Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad tentu sudah berpikir bahwa alasan mendasar yang diyakininya jauh lebih esensial ketimbang risiko dari menabrak rambu-rambu normatif

|
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
DOK TRIBUNKALTIM.CO
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim 

JUJUR, saya sangat kecewa ketika secara terbuka, wartawan senior yang rangkuman tulisannya 'Catatan Pinggir' rutin saya baca sejak di bangku kuliah memilih langkah aktif kampanye untuk Joko Widodo sebagai calon presiden.

Harus jujur saya akui, langkah tak populis wartawan senior yang selama 46 tahun menulis catatan pinggir ini membuat saya tak punya lagi sosok wartawan yang layak jadi panutan. 

Tak butuh satu dekade, di penghujung pemerintahan Jokowi, kekecewaan saya terhadap GM terjawab. Ia sendiri yang secara terbuka mengaku kecewa dengan langkahnya sendiri. 

Sebuah surat terbuka ditulis GM yang barangkali menjadi akumulasi dari sekian banyak kekecewaan beliau terhadap Jokowi yang semakin ke sini, semakin tak bisa mengendalikan diri dari candu kekuasaan. 

Bahkan dalam sebuah wawancara dengan Rosi di Kompas TV, Goenawan Mohamad tampak menangis.

"Sangat berat dan berat sekali. Bukan karena saya memuja Jokowi, karena mengharapkan sebenarnya Indonesia memiliki pemimpin yang bisa diandalkan kata-katanya," kata GM ketika ditanya Rosi tentang suasana hatinya yang seolah dibodohi Jokowi. 

Baca juga: Belajar dari Paus Fransiskus 

GM kemudian menjelaskan, pada satu titik, ia tak lagi melihat Jokowi sebagai sosok pemimpin yang bisa diharapkan dan dipercaya. 

Sambil terisak, GM mengatakan bahwa saat ia tak lagi bisa memercayai Jokowi -dengan candu kekuasaannya- maka saat itu juga tak ada lagi harapan untuk negeri ini. 

Bukan sekali GM menangis, bahkan saat ikut dalam aksi di MK, GM juga lagi-lagi menangis. Dan kisah GM menangis lantaran merasa kecewa berat terhadap Jokowi ini masih nyaring kita dengar hingga saat ini. 

Alangkah baiknya kalau saya mencoba mengajak untuk flashback ke belakang tentang langkah awal yang membuat seorang Goenawan Mohamad, wartawan senior ini harus menangis. 

Tentu itu semua kembali ke saat ia memutuskan untuk berada di barisan pendukung Joko Widodo. Sebuah sikap yang secara normatif harus digugat lantaran dengan statusnya sebagai wartawan dan juga 'otak' sebuah media besar, GM memilih untuk berpihak. 

Baca juga: Epilog Kekuasaan dalam Upacara 17-an di IKN

GM adalah wartawan senior, yang sikapnya banyak menjadi acuan bagi pers nasional. Ketika dia secara terbuka menunjukkan afiliasinya, maka sikap tersebut juga akan menjadi alasan pembenar bagi insan pers tanah air untuk mengikuti jejaknya, tentu dengan alasan yang barangkali berbeda. 

Sebagai wartawan senior yang sudah banyak makan asam garam dalam perjalanan politik tanah air, alasan GM tentu sangat fundamental. 

Keberaniannya menabrak komitmen normatif sebagai wartawan sewajarnya, harus dimaknai sebagai sesuatu yang esensial. 

Sikap politik dari profesinya yang memilih berpihak tentu telah dihitung dengan matang. 

Artinya, dukungannya terhadap Joko Widodo harus dimaknai memiliki landasan yang kokoh dari seseorang wartawan senior. 

Baca juga: Perlawanan Diam Edelweizz

Goenawan Mohamad tentu sudah berpikir bahwa alasan mendasar yang diyakininya jauh lebih esensial ketimbang risiko dari menabrak rambu-rambu normatif yang kita yakini bersama.

Meski pro dan kontra, namun boleh jadi kita meski memaknai bahwa ada yang lebih penting dibanding sekadar mematuhi pedoman normatif yang menyebut bahwa jurnalis atau wartawan atau pers harus netral dan independen. 

Namun sikap mahfum terhadap GM ini tak butuh waktu lama. Tak genap satu dekade, GM sendiri yang akhirnya menjadi kecewa dengan sikapnya sendiri.

Kiranya, jika hanya kecewa, sebawai wartawan senior GM sudah banyak mengalami kekecewaan di rezim-rezim sebelumnya. 

Kritiknya terhadap Orde Baru juga harus dimaknai sebagai akumulasi kekecewaan, namun ia tak menangis. 

Baca juga: Membaca Arah Pemikiran Rocky Gerung

Goenawan Mohamad juga konsisten menyuarakan kesetaraan di Orde Reformasi yang semakin ke sini juga semakin melenceng, namun ia tak pernah menangis. Atau setidaknya tangisnya tak pernah diumbar. 

Kalaupun menghadapi Jokowi ia menangis, bukan lantaran Jokowinya yang hebat, tetapi ia menangis lantaran dia merasa ada di pihak yang membuatnya kecewa. 

Sikapnya secara terbuka mendukung Jokowi harus dimaknai sebagai kekecewaan paling mendalam bagi seorang wartawan sekaliber Goenawan Mohamad

Ujungnya, kita tetap harus memaknai kesalahan Goenawan Mohamad ini sebagai sebuah pelajaran berharga. 

Isak tangis GM di MK ataupun di depan Rossi harus menjadi pengingat kita semua tentang bagaimana kita mesti bersikap di dalam setiap kontestasi. 

Dalam level apa pun, sebuah kontestasi adalah perebutan kekuasaan, dan kekuasaan itu membawa candu di dalamnya. 

Baca juga: 3 Kebohongan Paling Epic

Jika seorang Goenawan Mohamad saja pernah salah dalam keyakinannya, maka wartawan-wartawan muda yang masih miskin pengalaman lebih mungkin untuk kepeleset. 

Dalam kontestasi yang sedang berlangsung, tak perlu menggunakan persepktif emosional kemudian memberikan dukungan kepada salah satu kandidat apalagi harus menggunakan dalil-dalil sikap kritis seorang wartawan atau dalil apa pun. 

Di era pragmatisme ini, cukup istiqomah ikuti saja alur yang sudah ditentukan. 

Ada hal yang juga tak kalah pentingnya dibanding merawat demokrasi demi sebuah napas panjang mengawal demokrasi itu sendiri. 

Biarlah demokrasi yang kita sepakati berproses, di mana yang bopeng sedang membuat lukanya sendiri lebih dalam agar secara alamiah mencapai keseimbangan. 

Mari kita belajar dari isak tangis seorang Goenawan Mohamad. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved