Pemangkasan Dana Transfer Daerah

Dosen Unmul Samarinda Sebut Pemangkasan Dana Transfer Ancam Pembangunan Daerah 

Pengamatan kebijakan Publik Universitas Mulawarman Samarinda memberikan pandangan, terkait isu pemotongan Dana Transfer ke Daerah pemerintah pusat

HO/Saipul Bachtiar
PEMANGKASAN DANA TRANSFER -  Dosen FISIP Unmul Samarinda sekaligus Pengamat Kebijakan Publik,Saipul Bachtiar. Ia mengatakan di Kalimantan Timur diprediksi mengalami pemangkasan anggaran hingga 78 persen atau yang setara dengan kehilangan sekitar Rp4,6 triliun pada tahun depan (HO/Saipul Bachtiar) 

TRIBUNKALTIM.CO,SAMARINDA - Pengamatan kebijakan Publik Universitas Mulawarman Samarinda memberikan pandangan, terkait isu pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) pemerintah pusat.

Karena hal ini telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pejabat dan politisi di Kalimantan Timur. 

Pasalnya di Kalimantan Timur diprediksi mengalami pemangkasan anggaran hingga 78 persen atau yang setara dengan kehilangan sekitar Rp4,6 triliun pada tahun depan. 

Menurut Dosen FISIP Unmul ekaligus Pengamat Kebijakan Publik,  Saipul Bachtiar, pemotongan TKD ini tidak lagi dianggap sebagai penundaan, melainkan sebagai penghilangan alokasi anggaran secara signifikan.

Hal ini kata akan berpotensi memberikan dampak domino yang serius terhadap program-program pembangunan dan janji-janji kampanye kepala daerah di Kaltim. 

Baca juga: Imbas Pemotongan Dana Bagi Hasil, APBD Kaltim 2026 Mendatang Berpeluang Dibahas Ulang

"Pola prinsip kebijakan ini tidak tidak holistik ya. Dia gini, kebijakan ini tidak melihat bahwa daerah itu mempunyai kewajiban, mempunyai kebutuhan masing-masing, serta juga ini adalah eranya rezim pilkada begitu," ungkapnya. 

Pengamat Kebijakan Publik itu bahkan bilang kebijakan pemotongan TKD tersebut suat suatu langkah yang mengarah dan akan kembali ke sistem sentralistik seperti era Orde Baru, mengabaikan prinsip otonomi daerah yang telah diperjuangkan sejak Reformasi.

Hal ini dia melihat Pemerintah Pusat telah gagal melihat kebutuhan dan kewajiban masing-masing daerah, terutama yang memiliki rezim Pilkada serta janji-janji politik kepada masyarakat, gagal untuk ditindaklanjuti. 

"Karena apa? Zaman Orde Baru itu kan bentuknya sentralistik dan waktu itu memang otonomi daerah itu belum menjadi prioritas. Tapi setelah pasca Orde Baru, Orde Reformasi dan seterusnya sampai sekarang mestinya dilihat itu adalah sisi otonomi daerahnya gitu ya.

Nah, melihat dari hal tersebut ini ada satu indikasi, kalau saya melihat pola kebijakan yang diterapkan di eranya Pak Prabowo-Gibran ini, itu mengarah ke bentuk sentralistik, mengarah kembali ke sistem Orde baru dulu, sehingga kebijakan pemotongan anggaran, bukan penundaan," jelasnya.

Ia juga menilai pada mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) yang seharusnya bukan dana pusat, melainkan dana daerah yang diambil dan kemudian hanya sebagian kecilnya dikembalikan ke daerah terutama daerah penghasil sumber daya alam seperti Kaltim. 

"Jadi, menurut saya ini satu satu bentuk ketidakadilan antara kebijakan pemerintah pusat dengan kebijakan pemerintah daerah, sudah sebagian kecil itu kemudian dipotong lagi, dia tambah kecil lagi. Akhirnya lama-lama kan tidak ada yang kembali ke daerah," katanya.

Dengan pemotongan yang drastis ini, Ia merasa terjadi ketidakadilan fiskal yang mencerminkan terabaikannya kepentingan daerah penghasil sumber daya alam, Sementara pola pengelolaan hasil sumber daya alam diambil dulu ke pusat baru dikembalikan lagi ke daerah.

Lanjutnya, dari sisi perspektif politik, Ia melihat pemotongan TKD sebagai indikasi bahwa janji-janji politik presiden lebih diutamakan dibandingkan dengan janji-janji kepala daerah.

Hal ini tentunya banyak program pembangunan yang dijanjikan semasa kampanye oleh kepala daerah terancam tidak bisa direalisasikan.

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved