Breaking News

Jerat Model Pakaian Ketat

Eksploitasi Digital Mahasiswi Kaltim, Psikolog Unmul: Ini Kekerasan Seksual Online

Psikolog Universitas Mulawarman tegaskan modus model wisata di Kalimantan Timur tergolong kekerasan seksual digital.

|
Freepik.com
EKSPLOITASI DIGITAL - Fenomena eksploitasi digital yang menyasar perempuan muda di Kalimantan Timur kian mengkhawatirkan.Berkedok tawaran pekerjaan sebagai model promosi wisata, pelaku memanfaatkan celah kepercayaan dan ketidaktahuan mahasiswi untuk memperoleh foto-foto yang berpotensi digunakan dalam tindak kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). (Freepik.com) 
Ringkasan Berita:
  • Psikolog Unmul sebut modus model wisata di Kaltim termasuk kekerasan seksual digital.
  • Korban alami trauma dan rasa bersalah akibat penyalahgunaan foto pribadi.
  • Masyarakat diminta waspada, periksa keaslian tawaran kerja dan laporkan pelaku.

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Fenomena eksploitasi digital yang menyasar perempuan muda di Kalimantan Timur kian mengkhawatirkan.

Berkedok tawaran pekerjaan sebagai model promosi wisata, pelaku memanfaatkan celah kepercayaan dan ketidaktahuan mahasiswi untuk memperoleh foto-foto yang berpotensi digunakan dalam tindak kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).

Ketua Ikatan Psikologi Klinis (IPK) HIMPSI Kaltim, Ayunda Ramadhani, yang juga dosen Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul), menegaskan bahwa modus seperti ini telah memenuhi unsur kejahatan kekerasan seksual digital, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.

“Kalau dilihat, ini terindikasi masuk ke dalam kejahatan kekerasan seksual berbasis elektronik. Dalam kasus tersebut, para korban diminta berpose dengan pakaian ketat dan pose seronok yang ternyata disalahgunakan untuk kepentingan lain,” jelas Ayunda, Rabu (12/11/2025).

Baca juga: Polda Kaltim Belum Terima Laporan Kasus Eksploitasi Digital Berkedok Tawaran Model

Menurutnya, dampak psikologis korban bisa sangat dalam — mulai dari rasa malu, takut, hingga trauma berat.

Banyak korban mengalami ketakutan membuka media sosial karena khawatir foto-foto mereka tersebar tanpa izin.

“Bisa jadi mereka akhirnya ketakutan untuk membuka media sosial karena pose-pose itu terpampang tanpa izin mereka. Dampak awalnya pasti panik, malu, bahkan muncul rasa bersalah seperti ‘kenapa aku mau ya?’ atau ‘kenapa aku gak nolak waktu itu?’,” ungkapnya.

Ayunda menyoroti bahwa stigma sosial sering memperburuk kondisi korban.

Baca juga: Unmul Respons Kasus Penipuan Berkedok Model yang Sasar Mahasiswi

Alih-alih mendapat empati, mereka justru menjadi sasaran penghakiman publik.

“Sering kali masyarakat bertanya ‘kenapa kok mau?’ atau ‘kenapa gak nolak?’. Ini yang menjadi beban ganda bagi perempuan karena mereka takut disalahkan, padahal mereka adalah korban,” ujarnya.

Selain tekanan psikologis, faktor ekonomi dan budaya patriarki turut memperkuat kerentanan perempuan terhadap modus semacam ini.

Iming-iming bayaran tinggi sering membuat korban lengah terhadap risiko.

Baca juga: Jebakan Modeling Berbayar Mahal, Puluhan Mahasiswi di Kaltim Diduga jadi Korban Eksploitasi Foto

“Iming-iming uang besar itu tajam sekali, apalagi di kondisi ekonomi sekarang. Edukasi penting agar masyarakat tidak mudah percaya tawaran instan. Rumus mendapatkan uang itu pasti dengan kerja keras dan kerja cerdas,” tegasnya.

Ayunda mengingatkan agar perempuan muda memiliki “sense of crisis” dan “sense of curiosity” sebelum menerima tawaran kerja.

Ia mendorong agar setiap calon model memverifikasi pihak penawar, memastikan keterkaitan dengan lembaga resmi seperti Disporapar dan memeriksa keaslian akun media sosial yang menghubungi.

Jika ditemukan adanya penyalahgunaan foto atau eksploitasi seksual digital, korban disarankan segera menempuh jalur hukum.

Baca juga: Bocah 10 Tahun di Samarinda Diduga jadi Korban Eksploitasi oleh Ibu Kandung, Korban Dapat Ejeken

“Ketika foto itu diunggah dan merugikan korban, menjatuhkan harga diri atau nama baik, maka perlu dilaporkan dengan bukti postingan elektronik,” ucapnya.

Lebih jauh, Ayunda menilai fenomena ini mencerminkan budaya masyarakat yang masih mengobjektifikasi perempuan secara visual.

Menurutnya, perubahan pola pikir harus dibarengi dengan peningkatan literasi digital yang sensitif gender.

“Kenapa mahasiswi muda jadi target? Karena masyarakat kita masih ingin melihat bentuk visual. Ini harus diubah, bahwa menjadi perempuan tidak hanya soal cantik, tapi juga pintar dan beretika,” ujarnya.

Baca juga: Satpol PP Kukar Temukan Lagi Kasus Eksploitasi Anak Kurang dari 24 Jam

Dalam proses pemulihan korban, ia menekankan pentingnya dukungan lingkungan kampus dan keluarga.

Korban butuh rasa aman, bukan nasihat atau penghakiman.

“Jangan langsung menasihati atau menyalahkan. Korban sudah tidak merasa aman, jadi cukup dengarkan dan tawarkan bantuan sesuai kebutuhan mereka,” pesannya.

Ayunda juga mendorong kampus memberikan dispensasi akademik bagi korban serta memastikan pendampingan profesional melalui UPTD PPA Kota Samarinda yang menyediakan layanan psikologis dan bantuan hukum gratis.

Baca juga: Pasutri Asal Balikpapan Diamankan Satpol PP Kukar karena Diduga Eksploitasi Anak

“Pendampingan harus profesional. Kalau korban butuh advokasi, UPTD PPA juga menyediakan pengacara. Dan bagi teman korban, tolong jaga kerahasiaannya, jangan dijadikan bahan gosip,” tegasnya.

Menutup pernyataannya, Ayunda menyerukan agar masyarakat terus mengikis budaya patriarki dan menciptakan ruang digital yang aman untuk semua gender.

“Tidak ada satu pun bentuk kekerasan terhadap perempuan yang bisa dibenarkan. Semua perempuan berhak merasa aman, bahkan di dunia maya sekalipun,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved