Soal Rekam Pembicaraan hingga Penangkapan, 13 Kewenangan KPK yang Dipangkas dengan Revisi UU KPK
Pemerintah dan DPR telah resmi mengesahkan perubahan Undang Nomor 30 Tahun 2002 atau Revisi UU KPK pada Selasa (17/9/2019)lalu
Pelemahan KPK yang yang paling ekstrim dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah dengan memangkas sejumlah kewenangan penindakan KPK khususnya pada tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK.
Kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penuntutan yang sebelumnya diatur UU KPK, namun ternyata dihilangkan dalam Revisi UU KPK (Lihat Lampiran 1: Perbedaan Pasal 12 UU KPK dan Pasal 12 Revisi UU KPK).
Penghilangan kata “penyelidikan” dan “penuntutan” dalam Pasal 12 Revisi UU KPK memberikan dampak atau konsekuensi pada hilang atau dipangkasnya 13 kewenangan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Ke-13 Kewenangan KPK yang hilang terdiri dari 4 kewenangan pada tingkat penyelidikan, 1 kewenangan dalam tingkat penyidikan dan 8 kewenangan dalam tingkat penyelidikan.
Ketentuan yang hilang tersebut termasuk kewenangan pada tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK yaitu berupa merekam pembicaraan.
Sebagai contoh adalah sebelumnya (menurut UU KPK) dalam rangka menjalankan tugas penyelidikan, KPK berwenang untuk memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.
Namun dalam Revisi UU KPK, kewenangan memerintahkan instansi terkait untuk melakukan pencekalan ini tidak muncul.
Contoh lain adalah (menurut UU KPK) dalam rangka menjalankan tugas penyelidikan, KPK berwenang memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.
Namun dalam Revisi UU KPK, kewenangan pada tingkat penuntutan tersebut tidak diatur. Kewenangan memerintahkan pemblokiran hanya muncul pada tingkat penyidikan.
Pada akhirnya penghapusan sejumlah kewenangan KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam revisi UU KPK menunjukkan bahwa pelemahan KPK itu fakta adanya.
Sebuah “kejahatan legislasi” dan “pembajakan” yang sempurna melemahkan upaya penindakan KPK.
Dengan regulasi KPK yang baru dan periode KPK jilid ke-5 dibawah pimpinan Firli Bahuri dapat dipastikan kerja-kerja penindakan KPK akan terhambat dan bukan prioritas utama.
Semakin sedikit aktor korupsi kakap yang akan ditindak KPK. OTT KPK akan menjadi barang yang langka.
Korupsi peradilan dan korupsi politik juga mustahil tersentuh.
Selain itu perubahan susunan tugas pencegahan KPK dari sebelumnya pada tugas ke- 4 (UU KPK) kemudian diubah DPR dan Pemerintah menjadi tugas ke-1 (Revisi UU KPK) menunjukkan keinginan Pemerintah dan DPR agar KPK lebih fokus pada upaya pencegahan menjadikan KPK tidak lagi menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi namun menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.