Seorang Pengasuh Ponpes Lecehkan Santri

Kasus Kekerasan Seksual di Bontang, Ahli Hukum Pidana Unmul: 2 Alat Bukti Cukup untuk Jerat Pelaku

Ahli Hukum Pidana dari Universitas Mulawarman Orin Gusti Andini, mendesak polisi untuk segera mengusut tuntas kasus kekerasan seksual terhadap santri

Penulis: Muhammad Ridwan | Editor: Samir Paturusi
zoom-inlihat foto Kasus Kekerasan Seksual di Bontang, Ahli Hukum Pidana Unmul: 2 Alat Bukti Cukup untuk Jerat Pelaku
TRIBUNKALTIM.CO/HO
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Mulawarman Orin Gusti Andini.TRIBUNKALTIM.CO/HO

TRIBUNKALTIM.CO,BONTANG - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Mulawarman Orin Gusti Andini, mendesak polisi untuk segera mengusut tuntas kasus kekerasan seksual terhadap santriwati salah satu Pondok Pesantren di Kelurahan Tanjung Laut, Bontang Selatan.

Ia menjelaskan dalam kasus kekerasan seksual aturan hukum yang ada saat ini sudah sangat akomodatif. Apalagi jika korban adalah usia anak.

Menurut Orin aparat penegak hukum dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Kemudian untuk pembuktian mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Baca juga: Soal Pelecehan Seksual di Bontang, Kuasa Hukum Terduga Pelaku Menuding Ini Sarat Muatan Politik

Baca juga: Belum Ada Tersangka dalam Kasus Pelecehan Santri di Bontang, Polisi Minta Masyarakat Bersabar

"Dalam kasus kekerasan seksual, keterangan seorang saksi korban saja sudah bisa dijadikan alat bukti, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya," kata Orin kepada Tribunkaltim.co, Minggu (3/12/2023).

Orin berpendapat, alat bukti yang sah dalam UU TKPS diartikan tidak hanya visum et repertum, tapi bisa surat keterangan psikologis, psikater, rekam media, bahkan rekening bank.

Jadi dalam kasus ini, terang Orin, aparat penegak hukum dapat menggunakan screenshoot (tangkapan layar) sebagai alat bukti info atau dokumen elektronik, jika itu berkaitan dengan perbuatan kekerasan seksual.

"Kalau sebelumnya sudah ada keterangan saksi korban, maka secara hukum itu sdh dapat dikatakan memenuhi syarat penetapan tersangka karena sudah memenuhi 2 alat bukti," bebernya.

Bahkan jika ingin menambah alat bukti, bisa saja dilakukan pemeriksaan terhadap korban, untuk kemudian mendapatkan surat keterangan psikologis yang menunjukkan trauma.

Polisi harus responsif karena aturan hukum dalam UU TPKS sudah ada dan seharusnya dijadikan instrumen utama dalam menangani kasus kekerasan seksual.

"Ancaman pidana bisa diperberat karena posisi terduga pelaku adalah pendidik," pungkasnya.

Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Iptu Hari Supranoto hingga berita ini turun, tidak memberikan jawaban atas upaya konfirmasi yang dilakukan Tribunkaltim.co.

Seperti beritakan sebelumnya, Kasus pelecehan yang diduga dilakukan oknum pengasuh satu Pondok Pesantren (Ponpes) di Kelurahan Tanjung Laut, Bontang Selatan mengungkap banyak fakta.

Menurut Kakak korban (24), kasus pelecehan yang dialami adiknya terjadi pertama kali pada 2022 lalu. Hal itu terungkap dari bukti catatan curhatan korban dalam gawainya.

"Saat itu adik saya masih berumur 17 tahun, baru mau naik kelas III SMA," terangnya kepada Tribunkaltim.co, Kamis (30/11/2023).

Halaman
12
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved