Horizzon
Ironi Demokrasi Basa-basi
Selain tiga pasangan capres yang akan berkontestasi di Pemilu 2024, ratusan ribu politisi juga ikut berkontestasi berebut kursi di parlemen dan DPD.
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
Lebih parahnya, kita bahkan tak pernah bertanya soal asal partainya mana, namun lebih peduli pada nominal janji yang bakal dicairkan jelang coblosan.
Tak dipungkiri juga masih ada beberapa di antara kita yang mencoba bertahan dengan era disrupsi demokrasi dengan menolak politik transaksional.
Satu dua caleg dan satu dua pemilih masih meyakini bahwa memilih dan dipilih adalah soal aspirasi, tetapi hampir pasti sesuatu yang seharusnya ideal tersebut di posisi saat ini justru menjadi minoritas dan bahkan tak berlebihan jika disebut sebagai sebuah anomali.
Jikapun masih ada dan kita yakini ada, mereka yang masih memilih posisi ini akan tergerus dan dilibas oleh mereka yang sudah secara telanjang mengangkangi demokrasi.
Kalaupun ada satu dua yang berhasil melenggang di parlemen lantaran proses ideal, mereka akan menjadi minoritas dan suaranya juga akan tenggelam oleh wakil rakyat lain yang membawa aspirasi mengembalikan modal sekaligus mencari untung dari biaya kontestasi.
Baca juga: Pemilu dan Publik yang Semakin Apatis
Demokrasi yang tak lagi dipercaya semakin parah dengan banyak hal yang juga mengalami perubahan.
Tak usah bicara soal hukum yang terus dikadali, sementara pentas di Mahkamah Konstitusi sudah mewakili bagaimana rontoknya supremasi hukum di negeri yang konon menjadikan hukum sebagai panglima.
Atau mau kembali ke belakang dan bicara soal netralitas yang belakangan menjadi sorotan usai blundernya presiden yang bicara soal ini?
Bagaimana kita bisa percaya pada netralitas presiden utamanya selaku kepala negara ketika anaknya bertarung di dalam kontestasi?
Atau mau kembali bertanya dan menguji tentang bagaimana para penyelenggara di KPU atau di pengawas Pemilu di Bawaslu yang sudah tidak clear sejak ditahap Panselnya.
Baca juga: Fatwa Politik dari Kopi Daeng
Berantakannya proses demokrasi yang kita jalani saat ini menjadi pelengkap sekaligus penguat atas terlalu banyaknya silang sengkarut yang terjadi di negeri ini yang berujung pada rasa frustrasi publik atas negeri mereka sendiri.
Inilah alasan kenapa kita tak pernah bisa berharap akan adanya perubahan usai 14 Februari nanti, sebab proses demokrasi tak lebih dari sekadar seremoni yang tak akan banyak memiliki arti. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.