Horizzon

Ironi Demokrasi Basa-basi

Selain tiga pasangan capres yang akan berkontestasi di Pemilu 2024, ratusan ribu politisi juga ikut berkontestasi berebut kursi di parlemen dan DPD.

Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
DOK TRIBUN KALTIM
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim

COBLOSAN tinggal menghitung hari. Tahapan paling krusial dalam rangkaian panjang pesta demokrasi lima tahunan bernama Pemilu 2024 tersebut akan dihelat pada 14 Februari tahun ini.

Layaknya sebuah pesta, perhelatan akbar pesta demokrasi ini tentu sudah dinanti oleh seluruh penghuni negeri.

Apalagi, konon perhelatan akbar ini juga menghabiskan uang tak sedikit.

Untuk seluruh proses yang akan dan sudah dijalani, negara mengalokasikan anggaran tak kurang dari Rp 71 triliun.

Selain tiga pasangan capres yang akan berkontestasi di Pemilu 2024, ratusan ribu politisi juga ikut berkontestasi berebut kursi di parlemen dan DPD.

Detailnya, di Pemilu 2024 ini, para politisi akan berlomba untuk mengumpulkan suara guna merebutkan 136 kursi DPD, 580 kursi di DPR pusat dan totalnya 20.462 kursi di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD di tingkat Kabupaten/Kota.

Baca juga: Netralitas yang Sudah Berubah Makna

Hari-hari menjelang 14 Februari ini adalah saat-saat paling krusial, utamanya bagi mereka yang tengah berkontestasi.

Waktu, pikiran, tenaga dan juga biaya akan dimaksimalkan menjelang coblosan untuk berebut suara dari 204.807.222 pemilih yang sudah terdata di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Melalui Pemilu ini juga, partai politik akan menguji kinerja idiologinya dengan menyerahkan ke konstituen apakah mereka masih layak untuk dipercaya sebagai penyambung aspirasi konstituennya setelah lima tahun menjalankan pentas di kancah kekuasaan, baik di posisi kekuasaan atau di oposisi.

Melalui Pemilu, termasuk Pemilu 2024 ini, partai politik akan kembali mengasah dan mempertajam idiologi sebagai bahan kampanye di negara yang menganut demokrasi.

Melalui Pemilu ini jugalah tugas partai politik memberikan pendidikan politik diuji, sesuai dengan apa yang diamanatkan di dalam UU No.2/2011 tentang Partai Politik.

Jika dilihat dari jargon, narasi dan program-program yang kita dengar belakangan ini, tampaknya situasi kita dalam berdemokrasi masih tampak ideal.

Ini dibuktikan dengan program-program yang dikampanyekan oleh capres, caleg dan semua kontestan Pemilu yang tentu semua itu linear dengan idiologi politik yang diusung oleh mereka.

Baca juga: Sakit Menahun Demokrasi Indonesia

Contoh yang paling sederhana kita bisa mengambil tema besar tentang IKN yang diusung oleh tiga pasangan calon presiden.

Jika kita perhatikan, dan sekadar untuk membedakan, maka akan muncul wacana mengevaluasi kembali IKN dan melanjutkan IKN.

Meski tampak berbeda, namun inilah justru irisan idiologis yang harusnya menjadi narasi kuat dalam kampanye.

Apa pun tema yang diusung, maka di situlah seharusnya menjadi irisan bagi konstituen untuk menentukan pilihan.

Pro atau kontra terhadap sesuatu, termasuk isu IKN bukan soal benar dan salah, tetapi soal bagaimana kontestan dengan jelas menggaet suara.

Perbedaan dalam menyikapi sesuatu inilah yang selain untuk meraup suara juga harus menjadi isu utama yang akan terus dibawa sampai ke parlemen untuk diperjuangkan.

Sebab idealnya, keyakinan dan nilai itulah yang mengantarkan partai politik memiliki wakil di dalam parlemen yang tentu bertugas untuk menyuarakannya.

Baca juga: Debat Cawapres, Apa Urgensinya?

Sayang, tampaknya pemikiran yang ada di beberapa pragraf tulisan di atas adalah sesuatu yang –'teramat-sangat-terlalu' ideal dan seolah di awang-awang.

Meskipun kita masih mendengar orang berdebat dan berkelahi tentang ide besar, namun cara mengumpulkan suara tidak lagi linear dengan itu.

Rakyat sebagai pemilik suara tampak sudah tak percaya lagi dengan partai politik, termasuk barangkali dengan demokrasi.

Partai politik dan politisi sudah berulangkali dan terus terulang menipu konstituennya sendiri.

Janji politik tak lebih sebagai kata pemanis yang menempel di baliho partai politik atau politisi setiap musim kampanye.

Usai pesta berlangsung, janji-janji politik yang seharusnya menjadi isu yang diperjuangkan di parlemen seolah lenyap ditelan bumi.

Janji tinggal janji, apalagi kita tahu politisi merasa duduk di kursi dengan modal suara yang telah ia beli.

Baca juga: Covid-19 Kembali untuk Ikut Pilpreskah?

Mari kita cek lagi apa yang terjadi di masing-masing kita.

Bukankah yang belakangan kita paling hangat kita bahas adalah soal caleg mana yang sudah masuk ke lingkungan kita.

Lebih parahnya, kita bahkan tak pernah bertanya soal asal partainya mana, namun lebih peduli pada nominal janji yang bakal dicairkan jelang coblosan.

Tak dipungkiri juga masih ada beberapa di antara kita yang mencoba bertahan dengan era disrupsi demokrasi dengan menolak politik transaksional.

Satu dua caleg dan satu dua pemilih masih meyakini bahwa memilih dan dipilih adalah soal aspirasi, tetapi hampir pasti sesuatu yang seharusnya ideal tersebut di posisi saat ini justru menjadi minoritas dan bahkan tak berlebihan jika disebut sebagai sebuah anomali.

Jikapun masih ada dan kita yakini ada, mereka yang masih memilih posisi ini akan tergerus dan dilibas oleh mereka yang sudah secara telanjang mengangkangi demokrasi.

Kalaupun ada satu dua yang berhasil melenggang di parlemen lantaran proses ideal, mereka akan menjadi minoritas dan suaranya juga akan tenggelam oleh wakil rakyat lain yang membawa aspirasi mengembalikan modal sekaligus mencari untung dari biaya kontestasi.

Baca juga: Pemilu dan Publik yang Semakin Apatis

Demokrasi yang tak lagi dipercaya semakin parah dengan banyak hal yang juga mengalami perubahan.

Tak usah bicara soal hukum yang terus dikadali, sementara pentas di Mahkamah Konstitusi sudah mewakili bagaimana rontoknya supremasi hukum di negeri yang konon menjadikan hukum sebagai panglima.

Atau mau kembali ke belakang dan bicara soal netralitas yang belakangan menjadi sorotan usai blundernya presiden yang bicara soal ini?

Bagaimana kita bisa percaya pada netralitas presiden utamanya selaku kepala negara ketika anaknya bertarung di dalam kontestasi?

Atau mau kembali bertanya dan menguji tentang bagaimana para penyelenggara di KPU atau di pengawas Pemilu di Bawaslu yang sudah tidak clear sejak ditahap Panselnya.

Baca juga: Fatwa Politik dari Kopi Daeng

Berantakannya proses demokrasi yang kita jalani saat ini menjadi pelengkap sekaligus penguat atas terlalu banyaknya silang sengkarut yang terjadi di negeri ini yang berujung pada rasa frustrasi publik atas negeri mereka sendiri.

Inilah alasan kenapa kita tak pernah bisa berharap akan adanya perubahan usai 14 Februari nanti, sebab proses demokrasi tak lebih dari sekadar seremoni yang tak akan banyak memiliki arti. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved