Horizzon

Raung Sirene Demokrasi dari Bulaksumur

Kita mencatat, usai akademisi UGM membuat Petisi Bulaksumur, Universitas Islam Indonesia (UII) kemudian melakukan langkah yang sama.

Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
DOK TRIBUN KALTIM
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) juga bersiap untuk membuat Petisi Bumi Siliwangi, Universitas Janabadra Jogja berencana menggaungkan Deklarasi Kebangsaan, sedangkan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jogja memilih diksi seruan moral menyelamatkan demokrasi Indonesia untuk mewarnai lantang sirene yang akan digaungkan.

Berbeda nama, namun dengan mudah raung sirene yang muncul dari kampus yang lagi-lagi harus dicatat diawali dari kampus yang selama ini identik pasang badan untuk Ir Joko Widodo ini nyaris terdengar sama.

Guru besar, dosen, akademisi dan civitas akademika merasa resah atas babak belurnya demokrasi di era reformasi yang kira-kira baru berumur 28 tahun ini.

Mereka juga menyuarakan tentang hilangnya jiwa negarawan yang harusnya melekat pada figur kepala negara yang justru ikut di dalam gelanggang kompetisi.

Baca juga: Sakit Menahun Demokrasi Indonesia

Kalangan pendidik negeri ini tak lagi mampu untuk menahan atas geram yang lama tersimpan.

Mereka sadar, mereka harus bicara tentang masa depan bangsa yang terancam terkoyak atas tingkah polah nir-etika yang dipertontonkan secara massif, nyata dan tanpa rasa malu.

Kalangan akademisi merasa tak ada pilihan selain turun tangan untuk urun rembug dan mengambil peran untuk mengingatkan kita semua tentang arah sesat yang sedang dilalui bangsa ini.

Akademisi tahu betul, bahwa bangsa ini tak bisa lagi berharap aksi mahasiswa menjadi pemicu soliditas untuk meluruskan kembali arah yang melenceng.

Bukan karena gerakan mahasiswa tak lagi ada, namun guru-guru kita di kampus paham bahwa gerakan mahasiswa tak sesakti era 97-98 yang mampu menjadi motor perubahan.

Sejumlah aksi mahasiswa dengan nada yang sama sudah berulangkali kita dengar. Namun dengan cukup melabeli narasi ditunggangi dan kemudian menyeting aksi tandingan, penguasa sudah mampu mengendalikan situasi dengan mudah.

Baca juga: Pemilu dan Publik yang Semakin Apatis

Bisa ditebak, meski sejumlah petinggi kampus masih mengatakan bahwa sirene dari akademisi ini tidak mewakili Lembaga, itu hanya soal waktu.

Rektor dan Ketua yang menjadi simbol pimpinan kampus masih melihat arah dan besaran ombak.

Jika sirene yang digaungkan oleh para akdemisi ini gayung bersambut dengan gerakan mahasiswa dan juga kekuatan sipil lainnya kemudian menemukan frekuensi yang sama, maka pada saat itulah semua akan berusaha tampil paling depan seolah menjadi pahlawan.

Kita paham, tak semua mampu menjadi inisiator, apalagi menggerakan pemahaman yang bertentangan dengan penguasa.

Bukankah kita juga paham, jika bukan karena takut, maka demokrasi yang salah arah, hukum yang rapuh dan kepemimpinan yang korup tetap saja menyisakan pihak-pihak yang merasa diuntungkan.

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Kaltim Bisa Menggugat!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved