Horizzon

Raung Sirene Demokrasi dari Bulaksumur

Kita mencatat, usai akademisi UGM membuat Petisi Bulaksumur, Universitas Islam Indonesia (UII) kemudian melakukan langkah yang sama.

Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
DOK TRIBUN KALTIM
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim

DIMULAI dari Universitas Gadjah Mada (UGM), kampus yang mengeluarkan gelar insinyur untuk Joko Widodo, keresahan tentang demokrasi yang salah arah disuarakan oleh akademisi.

Para pemikir dan kalangan terdidik di kampus bersuara tentang kekhawatiran mereka akan masa depan demokrasi di Republik ini.

Kita mencatat, usai akademisi UGM membuat Petisi Bulaksumur, Universitas Islam Indonesia (UII) kemudian melakukan langkah yang sama.

Dibacakan oleh Prof Fathul Wahid, Rektor UII, secara lugas UII menyampaikan kekecewaan mereka atas hilangnya sosok negarawan yang seharusnya melekat pada diri seorang presiden sebagai kepala negara.

Tak ketinggalan, di waktu yang hampir bersamaan, keresahan yang sama juga disuarakan oleh Universitas Indonesia (UI) melalui apa yang mereka sebut sebagai Deklarasi Kebangsaan yang dibacakan oleh Ketua Dewan Guru Besar UI Harkristuti Harkrisnowo.

Baca juga: Ironi Demokrasi Basa-basi

Lebih lugas, civitas akademika UI mengaku prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi Indonesia.

UI juga menyampaikan sikap geram (baca: marah yang sudah lama ditahan) atas tingkah polah pejabat yang nir-etika demi kekuasaan yang sudah mengarah ke keserakahan.

Sikap UGM, UII dan UII ini seolah menjadi pembuka atas bermunculnya keresahan dari lingkungan kampus.

Ibaratnya, apa yang dilakukan UGM adalah merobek kubah lava yang memungkinkan magma panas dari perut bumi keluar sebagai konsekuensi dari pembentukan energi perlawanan lantaran praktik-praktik pelanggaran hukum, pengkhianatan demokrasi dan korupsi yang makin tak punya malu.

Lubang dari celah kubah lava yang dirobek UGM, kampus yang belakangan selalu membela Joko Widodo dalam polemik kasus ijazah Ir Joko Widodo ini seolah menjadi momentum bagi kampus-kampus lain untuk ikut bersuara.

Sikap UGM seolah menjadi sirene tanda bahaya akan kehidupan demokrasi di negeri ini bagi kampus-kampus yang selama ini memilih diam.

Untuk dicatat, selain UGM, UII, dan UI yang sudah membunyikan sirene penanda, ada Universitas Hassanudin, Universitas Mulawarman, UMY, Universitas Lambung Mangkurat, dan kampus lainnya untuk membunyikan sirene senada.

Baca juga: Netralitas yang Sudah Berubah Makna

Tidak berhenti sampai di situ, raung sirene tanda bahaya ini masih akan dibunyikan oleh kampus-kampus lain pada Senin (5/2/2024) hari ini.

Mereka yang sudah menyiapkan amunisi untuk membunyikan sirene tanda bahaya di alam demokrasi kita adalah UIN Syarih Hidayatullah Jakarta.

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) juga bersiap untuk membuat Petisi Bumi Siliwangi, Universitas Janabadra Jogja berencana menggaungkan Deklarasi Kebangsaan, sedangkan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jogja memilih diksi seruan moral menyelamatkan demokrasi Indonesia untuk mewarnai lantang sirene yang akan digaungkan.

Berbeda nama, namun dengan mudah raung sirene yang muncul dari kampus yang lagi-lagi harus dicatat diawali dari kampus yang selama ini identik pasang badan untuk Ir Joko Widodo ini nyaris terdengar sama.

Guru besar, dosen, akademisi dan civitas akademika merasa resah atas babak belurnya demokrasi di era reformasi yang kira-kira baru berumur 28 tahun ini.

Mereka juga menyuarakan tentang hilangnya jiwa negarawan yang harusnya melekat pada figur kepala negara yang justru ikut di dalam gelanggang kompetisi.

Baca juga: Sakit Menahun Demokrasi Indonesia

Kalangan pendidik negeri ini tak lagi mampu untuk menahan atas geram yang lama tersimpan.

Mereka sadar, mereka harus bicara tentang masa depan bangsa yang terancam terkoyak atas tingkah polah nir-etika yang dipertontonkan secara massif, nyata dan tanpa rasa malu.

Kalangan akademisi merasa tak ada pilihan selain turun tangan untuk urun rembug dan mengambil peran untuk mengingatkan kita semua tentang arah sesat yang sedang dilalui bangsa ini.

Akademisi tahu betul, bahwa bangsa ini tak bisa lagi berharap aksi mahasiswa menjadi pemicu soliditas untuk meluruskan kembali arah yang melenceng.

Bukan karena gerakan mahasiswa tak lagi ada, namun guru-guru kita di kampus paham bahwa gerakan mahasiswa tak sesakti era 97-98 yang mampu menjadi motor perubahan.

Sejumlah aksi mahasiswa dengan nada yang sama sudah berulangkali kita dengar. Namun dengan cukup melabeli narasi ditunggangi dan kemudian menyeting aksi tandingan, penguasa sudah mampu mengendalikan situasi dengan mudah.

Baca juga: Pemilu dan Publik yang Semakin Apatis

Bisa ditebak, meski sejumlah petinggi kampus masih mengatakan bahwa sirene dari akademisi ini tidak mewakili Lembaga, itu hanya soal waktu.

Rektor dan Ketua yang menjadi simbol pimpinan kampus masih melihat arah dan besaran ombak.

Jika sirene yang digaungkan oleh para akdemisi ini gayung bersambut dengan gerakan mahasiswa dan juga kekuatan sipil lainnya kemudian menemukan frekuensi yang sama, maka pada saat itulah semua akan berusaha tampil paling depan seolah menjadi pahlawan.

Kita paham, tak semua mampu menjadi inisiator, apalagi menggerakan pemahaman yang bertentangan dengan penguasa.

Bukankah kita juga paham, jika bukan karena takut, maka demokrasi yang salah arah, hukum yang rapuh dan kepemimpinan yang korup tetap saja menyisakan pihak-pihak yang merasa diuntungkan.

Bukankah orang yang haus kekuasaan sengaja memerkosa demokrasi?

Bukankah orang yang tamak dan rakus diuntungkan dengan hukum yang bisa dibeli, dan mereka yang oportunis lebih suka menempel dengan penguasa yang korup?

Hampir bersamaan dengan proses elektoral yang telah kita sepakati bersama dan prosesnya tengah berjalan, bangsa ini juga punya pekerjaan besar untuk mencari kesimbangannya.

Baca juga: Fatwa Politik dari Kopi Daeng

Bersamaan dengan pesta demokrasi yang seremoninya berlangsung 14 Februari nanti, kita disadarkan oleh hal-hal elementer yang perlu kita benahi bersama.

Kita tentu berdoa, semoga bangsa ini mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik.

Kita tidak berharap butuh 'berita besar' untuk meluruskan arah demokrasi yang bengkok.

Kita tak butuh 'berita besar' untuk mengembalikan hukum kembali menjadi panglima dan kita tak perlu 'membuat berita besar' untuk menghilangkan kekuasaan yang rakus.

Kita berharap, cita-cita besar yang tengah disuarakan oleh kalangan kampus ini bisa diraih melalui jalan damai yang demokratis.

Untuk memastikan itu, kita cukup untuk merasa berada di frekuensi yang sama.

Ingat, selain kaum oportunis yang mencari peruntungan dengan menempel ke penguasa, koruptor yang rakus serta penguasa yang gemar mengebiri hukum, masih ada dua golongan yang tidak sependapat dengan suara kampus.

Mereka adalah anak-anak bangsa yang sudah putus asa dengan masa depan bangsa ini plus satu lagi, yaitu mereka yang memilih tersandera kedunguan. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Kaltim Bisa Menggugat!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved