Horizzon
Belajar dari Tangis Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad tentu sudah berpikir bahwa alasan mendasar yang diyakininya jauh lebih esensial ketimbang risiko dari menabrak rambu-rambu normatif
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
Sikap politik dari profesinya yang memilih berpihak tentu telah dihitung dengan matang.
Artinya, dukungannya terhadap Joko Widodo harus dimaknai memiliki landasan yang kokoh dari seseorang wartawan senior.
Baca juga: Perlawanan Diam Edelweizz
Goenawan Mohamad tentu sudah berpikir bahwa alasan mendasar yang diyakininya jauh lebih esensial ketimbang risiko dari menabrak rambu-rambu normatif yang kita yakini bersama.
Meski pro dan kontra, namun boleh jadi kita meski memaknai bahwa ada yang lebih penting dibanding sekadar mematuhi pedoman normatif yang menyebut bahwa jurnalis atau wartawan atau pers harus netral dan independen.
Namun sikap mahfum terhadap GM ini tak butuh waktu lama. Tak genap satu dekade, GM sendiri yang akhirnya menjadi kecewa dengan sikapnya sendiri.
Kiranya, jika hanya kecewa, sebawai wartawan senior GM sudah banyak mengalami kekecewaan di rezim-rezim sebelumnya.
Kritiknya terhadap Orde Baru juga harus dimaknai sebagai akumulasi kekecewaan, namun ia tak menangis.
Baca juga: Membaca Arah Pemikiran Rocky Gerung
Goenawan Mohamad juga konsisten menyuarakan kesetaraan di Orde Reformasi yang semakin ke sini juga semakin melenceng, namun ia tak pernah menangis. Atau setidaknya tangisnya tak pernah diumbar.
Kalaupun menghadapi Jokowi ia menangis, bukan lantaran Jokowinya yang hebat, tetapi ia menangis lantaran dia merasa ada di pihak yang membuatnya kecewa.
Sikapnya secara terbuka mendukung Jokowi harus dimaknai sebagai kekecewaan paling mendalam bagi seorang wartawan sekaliber Goenawan Mohamad.
Ujungnya, kita tetap harus memaknai kesalahan Goenawan Mohamad ini sebagai sebuah pelajaran berharga.
Isak tangis GM di MK ataupun di depan Rossi harus menjadi pengingat kita semua tentang bagaimana kita mesti bersikap di dalam setiap kontestasi.
Dalam level apa pun, sebuah kontestasi adalah perebutan kekuasaan, dan kekuasaan itu membawa candu di dalamnya.
Baca juga: 3 Kebohongan Paling Epic
Jika seorang Goenawan Mohamad saja pernah salah dalam keyakinannya, maka wartawan-wartawan muda yang masih miskin pengalaman lebih mungkin untuk kepeleset.
Dalam kontestasi yang sedang berlangsung, tak perlu menggunakan persepktif emosional kemudian memberikan dukungan kepada salah satu kandidat apalagi harus menggunakan dalil-dalil sikap kritis seorang wartawan atau dalil apa pun.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.