Berita Nasional Terkini
Tak Sebanding dengan UMP 2025, Daftar 5 Dampak Kenaikan PPN 12 Persen yang akan Dirasakan Masyarakat
Tak sebanding dengan UMP 2025, berikut 5 dampak kenaikan PPN 12 yang bakal dirasakan masyarakat.
Penulis: Aro | Editor: Heriani AM
TRIBUNKALTIM.CO - Kenaikan PPN 12 persen bakal berdampak pada masyarakat mengingat naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini tak sebanding dengan UMP 2025.
Akibat kenaikan PPN 12 persen, daya beli masyarakat bakal turun meski Pemerintah telah menyiapkan stimulus sebagai antisipasi kenaikan PPN.
Bhima Yudhistira, ekonom sekaligus Executive Director Celios mengatakan, kenaikan PPN menjadi 12 persen tidak sepadan dengan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2025 yang sudah diumumkan seluruh gubernur di Indonesia, Kamis (11/12/2024) lalu.
Tidak sebanding. Dampak kenaikan PPN 12 persen lebih besar ke pelemahan daya beli dibanding stimulus ekonomi yang sifatnya parsial dan temporer," katanya.
Baca juga: Viral Gambar Garuda Biru Tolak PPN 12 Persen, Beginilah Tanggapan Ditjen Pajak
Bahkan, Bhima menilai, kebijakan insentif pajak yang diberikan pemerintah di tengah kenaikan tarif PPN tahun depan juga hanya berorientasi untuk jangka pendek dan tidak menawarkan kebaruan karena hanya mengulang insentif yang sudah ada.
"PPN perumahan DTP, PPN kendaraan listrik dan PPh final UMKM 0,5 persen sudah ada sebelumnya.
Bentuk bantuan juga bersifat temporer seperti diskon listrik dan bantuan beras 10 kg yang hanya berlaku 2 bulan," kata dia.
Sebaliknya, efek negatif kenaikan tarif PPN 12 persen berdampak jangka panjang.
Di samping itu, pemberian insentif PPN DTP 3 persen persen untuk kendaraan Hybrid justru semakin membuat kontradiksi berupa keberpihakan pemerintah terhadap kelompok masyarakat menengah ke atas.
Sebaliknya, kelas menengah diminta membeli mobil Hybrid di saat ekonomi melambat.
"Harga mobil Hybrid pastinya mahal, dan ini cuma membuat konsumen mobil listrik EV yang notabene kelompok menengah atas beralih ke mobil Hybrid yang pakai BBM.
Bagaimana bisa ini disebut keberpihakan pajak?” kata Bhima.

Dampak Kenaikan PPN 12 Persen
Dampak kenaikan PPN 12 persen yang bisa dirasakan oleh masyarakat:
Baca juga: Tolak Kenaikan, Inilah Isi Petisi Batalkan PPN 12 Persen, Apakah Bisa Ubah Kebijakan Pemerintah?
1. Pengeluaran bertambah
Ekonom sekaligus Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, membeberkan potensi kenaikan inflasi pada tahun depan dapat menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah.
"Kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp 101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka," katanya seperti dikutip TribunKaltim.co dari kontan.co.id.
Sementara itu, kelompok kelas menengah ke atas berpotensi mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 per bulan.
Menurut Wahyudi, hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan.
2. Kenaikan harga komoditas masyarakat
Ia juga tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan pemerintah terkait semua barang pokok dikecualikan PPN. Wahyudi mengatakan, kebijakan pengecualian tersebut sebetulnya sudah ada sejak 2009.
"Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah," ujarnya.
3. Kenaikan harga peralatan elektronik
Menurut Bhima Yudhistira, ekonom sekaligus Executive Director Celios, menambahkan dampak berikutnya dari kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah harga peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor yang ikut naik.
Media Wahyudi berpendapat, pemerintah kurang tepat apabila membandingkan kenaikan PPN di Indonesia dengan negara lain seperti Kanada, China, atau Brasil yang menerapkan PPN lebih tinggi.
Menurutnya, PPN yang diterapkan di negara dengan pendapatan per kapita tinggi dan ekonomi yang stabil itu tidak memengaruhi daya beli masyarakat. "Jadi, daya beli masyarakat yang kuat memungkinkan pemerintah untuk menetapkan tarif pajak konsumsi yang lebih besar tanpa mengurangi kesejahteraan ekonomi mereka," ucap Media Wahyudi.
Stabilitas ekonomi yang kuat ditandai dengan inflasi rendah dan konsumsi domestik yang kuat membuat penerapan PPN tinggi lebih efektif dan tidak terlalu membebani masyarakat atau menekan pertumbuhan ekonomi. "Masalahnya, di Indonesia, ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah sedang terpukul," katanya.
Jika ingin apple to apple, pemerintah seharusnya membandingkan PPN di Indonesia dengan negara ASEAN lainnya, di mana tarif PPN Indonesia justru menjadi yang tertinggi nomor dua se-ASEAN.
4. Kenaikan PPN tak menambah pendapatan pajak
Bhima menambahkan, kenaikan PPN 12 persen tidak akan berkontribusi banyak terhadap penerimaan pajak.
"Hal itu terjadi karena efek pelemahan konsumsi masyarakat, omset pelaku usaha akan mempengaruhi penerimaan pajak lain, seperti PPh badan, PPh 21, dan bea cukai,” ungkapnya
5. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga negatif
Sementara itu, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda dampak kenaikan tarif PPN per 2025 justru akan membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi negatif.
"Ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 5 persen-an.
Setelah tarif meningkat menjadi 11 persen terjadi perlambatan dari 4,9 persen (2022) menjadi 4,8 persen (2023). Diprediksi tahun 2024 semakin melambat,” kata Huda, masih dari sumber yang sama.
Secara penerimaan negara, Huda melanjutkan, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan.
Namun, dampak psikologisnya terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha justru berpotensi lebih besar. Data pertumbuhan pengeluaran konsumen untuk Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) yang hanya naik 1,1 persen. Hal ini menunjukkan daya beli masyarakat masih lemah.
Terakhir, Huda menyampaikan, kenaikan tarif PPN 12 persen hanya akan memperburuk situasi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Terjawab Sudah PPN 12 Persen Berlaku Kapan dan Golongan Masyarakat yang Dapat Diskon Tarif Listrik
Daya Beli Masyarakat Terus Menurun
Pemerintah sudah menyiapkan 15 paket kebijakan untuk meredam kenaikan tarif PPN 12persen. Kebijakan tersebut di antaranya, diberikan untuk rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hybrid, serta sektor perumahan.
Meski begitu, Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky menilai, paket kebijakan tersebut hanya sedikit mengurangi beban. Atau bahkan beberapa insentif yang telah diumumkan hanya bersifat sementara, karena ada yang berdurasi beberapa bulan.
“Begitu pula tentang pajak ditanggung pemerintah atas beberapa barang dan jasa pada umumnya hanya memperpanjang yang sudah dilaksanakan saat ini. Dengan demikian, bukan insentif baru terkait kenaikan tarif,” ungkapnya.
Awali memperkirakan, daya beli masyarakat akan terus menurun imbas kenaikan tarif PPN 12 persen ini.
Ia juga berharap pemerintah lebih fokus pada kebijakan yang memberi stimulus langsung ke sektor riil. Diantaranya, membantu kondisi sektor riil atau beberapa industri agar PHK massal tak berlanjut.
“Begitu pula agar usaha mikro dan kecil makin memperoleh kemudahan dan memberi hasil usaha yang membaik bagi pelakunya,” tambahnya seperti dikutip TribunKaltim.co dari kontan.co.id.
Berikut daftar 15 stimulus yang diberikan pemerintah:
1. PPN DTP 1 persen untuk Minyakita
2. PPN DTP 1 persen tepung terigu
3. PPN DTP 1 persen gula industri
4. Bantuan pangan/beras 10 kg selama 2 bulan untuk 16 juta keluarga
5. Diskon biaya listrik untuk pelanggan dengan daya 2200 VA atau lebih rendah selama 2 bulan Januari-Februari 2025, dengan asumsi akan diberikan kepada 8,1 juta pelanggan subsidi dan non subsidi maksimal Rp 5,4 triliun per bulan
6. PPN DTP Properti dari bagian dasar pengenaan pajak sampai dengan Rp 2 Miliar dengan harga jual paling banyak Rp 5 Miliar.
Pemerintah menanggung PPN DTP 100persen untuk penyerahan dengan BAST tgl 1 Januari 2025 sampai 30 Juni 2025, serta 50persen untuk penyerahan dengan BAST 1 Juli 2025 sampai 31 Desember 2025.
7. PPN DTP bagi kendaraan motor berbasis baterai atau electric vehicle (EV) atau Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KLBB).
Skema insentif ini diberikan sebesar 10 persen atas penyerahan EV roda empat tertentu dan EV bus tertentu dengan nilai TKDN paling rendah 40 persen; dan sebesar 5 persen atas penyerahan EV bus tertentu dengan nilai TKDN paling rendah 20 persen sampai dengan kurang dari 40 persen.
8. Pemberian insentif PPnBM EV dengan besaran insentif sebesar 100 persen atas impor KBLBB roda empat tertentu secara utuh (completely built up/CBU) dan penyerahan KBLBB roda empat tertentu yang berasal dari produksi dalam negeri (completely knock down/CKD).
9. Pemberian insentif PPnBM DTP untuk kendaraan bermotor bermesin hybrid sebesar 3persen.
10. Pemberian insentif pembebasan Bea Masuk EV CBU sebesar 0persen.
11. Pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja dengan dengan gaji sampai dengan Rp10juta/bulan berlaku untuk sektor padat karya.
12. Jaminan Kehilangan Pekerjaan, dengan manfaat tunai 60persen flat dari upah selama 6 bulan, manfaat pelatihan Rp2,4 juta, dan kemudahan akses informasi, serta sukses program Prakerja (program pra kerja transisi keberlanjutan ke Kemnaker
13. PPh final untuk UMKM. Kebijakan ini diberikan pada UMKM OP masih dapat memanfaatkan PPh Final 0,5persen untuk tahun 2025. Serta threshold UMKM turun dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar.
14. Skema pembiayaan industri padat karya. Insentif ini bertujuan untuk mendukung kebutuhan pembiayaan dalam upaya revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas.
Insentif ini ditujukan untuk Kredit Investasi, dengan mengakomodir kebutuhan Kredit Modal Kerja. Range plafon di atas Rp500 juta sampai dengan Rp10 miliar dengan subsidi bunga sebesar 5persen.
15. Diskon iuran 50persen selama 6 bulan bagi sektor industri padat karya (asumsi untuk 3,76 juta pekerja).
Baca juga: Dampak PPN 12 Persen, Biaya Langganan Netflix dan Spotify Bakal Naik Tahun Depan
(*)
Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.