OPINI

Paradigma Baru Ekonomi Pariwisata: Perspektif Kelembagaan

Data ini mengindikasikan bahwa segelintir orang menguasai hampir separuh ekonomi dunia yang kemudian memunculkan persepsi

HO
Syahrul Karim 

Oleh : Syahrul Karim, Dosen Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Balikpapan

Pemikiran ekonomi yang mendominasi sebagian besar negara di dunia saat ini adalah pendekatan campuran, bukan lagi hanya bertumpu pada mazhab Klasik. Hal ini mencerminkan perdebatan mengenai sejauh mana campur tangan pemerintah diperlukan, serta fokus pada pengayaan individu versus distribusi kekayaan untuk kemakmuran bersama.

Meskipun kekayaan individu terus bertumbuh selama satu dekade terakhir. Laporan Oxfam tahun 2025 berjudul "Takers Not Makers" mengungkapkan bahwa 1 persen individu terkaya menguasai kekayaan global, sementara hampir separuh umat manusia hidup dengan kurang dari USD 6,85 per hari, dengan tingkat kemiskinan global yang relatif stagnan sejak 1990.

Data ini mengindikasikan bahwa segelintir orang menguasai hampir separuh ekonomi dunia yang kemudian memunculkan persepsi bahwa peran pemerintah cenderung memfasilitasi kaum berpunya. Diperlukan perpaduan ajaran ekonomi Klasik dari Adam Smith dan Neoklasik dari Gossen untuk menciptakan formula baru dalam penerapan ilmu ekonomi, (Santosa, 2010 dan Yustika, 2011).

Baca juga: 16 Finalis Duta Wisata dan Putri Pariwisata Sendawar Kutai Barat, Pemkab Kubar Utarakan Permintaan

Di era kontemporer, muncul dorongan untuk mengembangkan paradigma yang lebih komprehensif, seperti ekonomi kelembagaan, yang mempertimbangkan peran institusional, sosial, dan budaya dalam membentuk dinamika ekonomi. Ekonomi kelembagaan, baik dalam bentuk Old Institutional Economics maupun New Institutional Economics, mengkritik keterbatasan teori Neoklasik dan menawarkan perspektif yang lebih menyeluruh serta multidisiplin. 

Artikel ini bertujuan untuk meninjau pendekatan ekonomi kelembagaan dalam konteks pariwisata. Pembahasan akan mengeksplorasi bagaimana perspektif ini dapat mengatasi kelemahan teori ekonomi konvensional dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak sosial dan ekonomi aktivitas pariwisata. Fokus utamanya adalah bagaimana teori kelembagaan dapat membantu dalam merancang kebijakan pariwisata yang lebih inklusif dan berkelanjutan serta menyajikan pemahaman yang lebih holistik mengenai kontribusi pariwisata terhadap kesejahteraan masyarakat dan pengembangan ekonomi.

Berawal dari Ekonomi Klasik dan Neoklasik 

Pada era klasik, para pemikir ekonomi menempatkan fenomena ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Perkembangan pemikiran ini ditandai oleh sejumlah asumsi dasar yang sederhana, khususnya ditujukan pada perkembangan ekonomi di negara-negara maju yang telah memiliki fondasi industri dan perekonomian yang bergerak dalam produksi dengan pendapatan yang meningkat. Fokus ilmu ekonomi pada masa ini adalah optimalisasi kegiatan. Individu, sebagai homo economicus, diasumsikan selalu berupaya mencapai optimalisasi, baik sebagai konsumen maupun produsen.

Teori Ekonomi dikembangkan dengan pemahaman bahwa pasar adalah penghubung antara kedua individu tersebut. Dipercayai bahwa jika setiap individu beraktivitas secara bebas dan difasilitasi oleh pasar melalui tangan tak terlihat (invisible hands), optimalisasi akan tercapai. Keseimbangan (equilibrium) adalah konsep teoretis yang sering digunakan untuk menunjukkan kesesuaian antara keinginan konsumen dan produsen pada tingkat harga tertentu di pasar, meskipun sulit dibuktikan dalam realitas.

Baca juga: Dispar Kaltim Ungkap Efisiensi Anggaran Bukan Alasan Lemahnya Pariwisata, Kolaborasi Jadi Kunci

Untuk mencapai keseimbangan ini, kaum klasik mengembangkan teori konsumen dan teori produsen. Secara fundamental, konsep klasik berpusat pada diskusi tentang individu, pasar, dan harga sebagai representasi pergerakan kegiatan konsumen (pembeli) dan produsen. 

Konsumen bertujuan memaksimalkan kepuasan, sementara produsen bertujuan memaksimalkan keuntungan, dengan pasar berfungsi sebagai pemberi sinyal melalui mekanisme harga. Pemerintah dipandang hanya sebagai institusi atau lembaga yang berwenang dalam bidang ekonomi untuk mengurus barang-barang yang berkaitan dengan kepentingan publik. 

Mazhab neoklasik telah merevolusi pandangan ekonomi, baik dalam teori maupun metodologinya. Konsep nilai tidak lagi berdasarkan nilai tenaga kerja atau biaya produksi, melainkan beralih pada kepuasan marjinal (marginal utility).

Salah satu pendiri mazhab neoklasik adalah Gossen, yang sumbangannya dikenal sebagai Hukum Gossen I dan II. Selain Gossen, Jevons dan Menger juga mengembangkan teori nilai dari kepuasan marjinal. Jevons berpendapat bahwa perilaku individulah yang berperan menentukan nilai barang, di mana perbedaan preferensi menimbulkan perbedaan harga.

Baca juga: Dampak Efisiensi Anggaran Tekan Pariwisata Balikpapan, Okupansi Hotel Anjlok, Pekerja Dirumahkan

Sementara itu, Menger menjelaskan teori nilai dari urutan berbagai jenis barang; menurutnya, nilai suatu barang ditentukan oleh tingkat kepuasan terendah yang dapat dipenuhinya. Pemikiran Walras tentang teori keseimbangan umum, melalui empat sistem persamaan simultan yang mengagumkan, menunjukkan keterkaitan antara berbagai aktivitas ekonomi seperti produksi, konsumsi, dan distribusi.

Asumsi yang digunakan Walras meliputi persaingan sempurna, jumlah modal, tenaga kerja, dan lahan yang terbatas, serta teknologi produksi dan selera konsumen yang konstan. Perubahan pada salah satu asumsi ini akan memicu perubahan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas ekonomi.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved