Tribun Kaltim Hari Ini
Banyak Beras Tak Layak Konsumsi dan Berlebel Palsu, Wakil Mentan Sebut 212 Merek Diselidiki Polisi
Praktik pengoplosan atau mencampurkan beras jenis tertentu dengan jenis lainnya diduga masih dilakukan sejumlah pedagang atau distributor beras.
Derajat Sosoh: 95 % (sesuai)
Gabah, Benda Asing: 0 % (sesuai)
Kesimpulan: Mutu beras curah ini setara atau bahkan lebih rendah dari submedium, namun dijual tanpa label dan tanpa informasi mutu.
Baca juga: Pemkot Bontang Butuh Rp 11 Miliar untuk Benahi Pulau Beras Basah
Hasil pengujian secara keseluruhan menunjukkan bahwa tidak semua produk beras yang dijual sesuai dengan kualitas yang tertera pada kemasannya.
Beberapa bahkan memiliki kadar butir patah dan menir yang melampaui batas maksimal sesuai standar.
Berdasarkan Pasal 10 Ayat (2) Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023, beras kemasan wajib mencantumkan label mutu, kecuali jika beras dikemas langsung di hadapan pembeli.
Namun, dalam praktiknya, pengecualian ini bisa menjadi celah.
Berdasarkan pantauan Tribunnews saat pembelian sampel SLYP Cap Bunga dan Rojolele di toko IJ, terlihat karyawan mengambil karung kosong berlogo dan langsung mengisi beras ke dalamnya tanpa label resmi produsen.
Demikian pula dengan beras curah di Pasar Kramat Jati, yang dimasukkan langsung ke plastik putih polos dari alat takar manual.
Satu-satunya beras yang sudah dikemas secara rapi oleh produsen adalah Beras Sentra Pulen yang dijual di supermarket.
Namun, meskipun kemasannya terlihat profesional, hasil uji menunjukkan kualitasnya juga belum memenuhi standar premium.
Temuan ini menunjukkan bahwa kemasan menarik tidak selalu menjamin mutu beras. Di tengah lemahnya pengawasan distribusi, konsumen kerap menjadi korban tanpa sadar.
Praktik oplosan yang meluas ini menandakan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan pangan, edukasi konsumen, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran mutu pangan.
Ditangani Kepolisian
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengatakan temuan beras diduga oplosan sedang ditangani kepolisian. Ada sekitar 212 merek dan perusahaan yang sedang dipanggil ke Bareskrim Polri.
"Lagi ditangani sama kepolisian ada 212 merek dan perusahaan. Sekarang lagi dipanggil ke Bareskrim," kata Sudaryono dalam kunjungan meninjau Koperasi Desa Merah Putih di Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari, Klaten, Jawa Tengah, Minggu (13/7).
Dia mengatakan akan melibatkan semua pihak untuk melakukan pengawasan agar beras oplosan tidak beredar di masyarakat.
"Pengawasan itu sebetulnya sudah ada Badan Pangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan. Kita akan lebih sering (pengawasan) karena yang dirugikan masyarakat," ungkap dia.
Menurut Sudaryono, produsen yang kedapatan sengaja mengoplos beras akan ditindak tegas. "Ini jadi momen yang baik kita tindak tegas supaya semua tertib. Kita tidak mau lihat ke belakang, tapi ke depannya mau tertib. Mau (produsen) besar, kecil, siapa melanggar kita tindak semua," katanya.
Diketahui, fenomena pengoplosan bahan pangan kembali menyeruak, di mana makanan pokok masyarakat yang menjadi sasaran.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar bahkan sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium, tapi kualitas dan kuantitasnya menipu.
Hal ini menjadi sebuah keprihatinan serius di sektor pangan nasional.
Temuan tersebut merupakan hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan yang menunjukkan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu.
Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan "5 kilogram (kg)" padahal isinya hanya 4,5 kg. Lalu banyak di antaranya mengeklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas biasa.
Mentan Amran Sulaiman menegaskan, praktik semacam ini menimbulkan kerugian luar biasa hingga Rp 99 triliun per tahun, atau hampir Rp 100 triliun jika dipertahankan.
"Contoh ada volume yang mengatakan 5 kilogram padahal 4,5 kg. Kemudian ada yang 86 persen mengatakan bahwa ini premium, padahal itu adalah beras biasa. Artinya apa? Satu kilo bisa selisih Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kilogram," ujarnya dalam video yang diterima Kompas.com, dikutip Sabtu (12/7).
"Ini kan merugikan masyarakat Indonesia, itu kurang lebih Rp 99 triliun, hampir Rp 100 triliun kira-kira, karena ini terjadi setiap tahun. Katakanlah 10 tahun atau 5 tahun, kalau 10 tahun kan Rp 1.000 triliun, kalau 5 tahun kan Rp 500 triliun, ini kerugian," sambungnya. (*)
Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.