Berita Nasional Terkini

Sosok Syamsul Jahidin, Pengacara yang Buat 8 Jenderal Polisi Terancam Dicopot dari Jabatan Sipil

Berawal dari gugatan Syamsul Jahidin, MK larang polisi aktif duduki jabatan sipil demi netralitas negara, putusan dibacakan 14 Nov 2025.

Editor: Doan Pardede
Mkri.id/Humas MK/Panji
PENGGUGAT UU POLRI - Syamsul Jahidin pemohon uji materi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), di ruang sidang panel MK, Selasa (29/7/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Mahkamah Konstitusi melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil sebelum pensiun atau mengundurkan diri. Sebelumnya gugatan diajukan oleh Syamsul Jahidin yang menyoroti dwifungsi Polri dan ketidakadilan terhadap warga sipil. 
  • Polri kini menunggu kajian pokja untuk menindaklanjuti keputusan tersebut.

TRIBUNKALTIM.CO - Syamsul Jahidin, pengacara konstitusional asal Mataram, sukses menorehkan sejarah di Mahkamah Konstitusi.

Lewat uji materi yang diajukan, MK resmi melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.

Langkah Syamsul dianggap membuka jalan bagi penegakan prinsip netralitas aparatur negara dan keadilan bagi warga sipil.

MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

Mahkamah Konstitusi (MK) resmi melarang anggota Korps Bhayangkara menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.

Baca juga: MK Larang Polisi Aktif Isi Jabatan Sipil, Respons Istana, Polri, dan DPR

Dengan begitu, penempatan anggota Polri pada jabatan non-kepolisian tidak lagi dapat dilakukan hanya berdasarkan izin Kapolri.

Putusan tersebut dibacakan MK untuk perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait uji materi Pasal 28 ayat (3) beserta penjelasannya dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

"Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2025), seperti dilansir Kompas.com.

Pemohon, Syamsul Jahidin, beralasan bahwa saat ini banyak anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil di berbagai lembaga dan kementerian tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

Hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.

Pemohon juga menilai bahwa norma dalam pasal tersebut secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena anggota kepolisian dapat berperan sebagai aparat keamanan sekaligus menjalankan fungsi pemerintahan, birokrasi, dan sosial kemasyarakatan.

Dalam permohonannya, Syamsul juga sempat menyebut beberapa anggota yang kini menduduki jabatan sipil.

Mereka adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, hingga Kepala BNPT.

Ada pula yang menduduki jabatan strategis lain di berbagai kementerian.

Berikut ini nama-namanya yang tertuang dalam berkas permohonan yang akhirnya dikabulkan MK:

  1. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komjen Pol Setyo Budiyanto
  2. Komjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
  3. Panca Putra Simanjuntak, Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas)
  4. Komjen Pol Nico Afinta, Sekjen Menteri Hukum
  5. Komjen Suyudi Ario Seto, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN)
  6. Komjen Pol Albertus Rachmad Wibowo, Wakil Kepala BSSN
  7. Komjen Pol Eddy Hartono, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
  8. Irjen Pol Mohammad Iqbal, Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI

Baca juga: Rekam Jejak Arsul Sani, Hakim MK Dilaporkan soal Dugaan Ijazah Palsu

Kapolri Disebut Tunggu Kajian Pokja

Polri belum memastikan apakah akan menarik sejumlah anggotanya yang saat ini menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelarangan polisi aktif mengisi jabatan sipil.

Keputusan tersebut, menurut Polri, masih menunggu hasil kajian komprehensif dari tim kelompok kerja (pokja) yang dibentuk Kapolri.

"Ya untuk masalah keputusan nanti Bapak Kapolri akan mendapatkan laporan khusus dari tim pokja tersebut tentang apa yang akan dikerjakan oleh Polri, baik itu terkait dengan yang sudah berada di luar struktur, maupun yang akan berdinas di kementerian/lembaga," kata Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho ditemui di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (17/11/2025) seperti dilansir Kompas.com.

Sandi menegaskan, seluruh penempatan anggota Polri di luar struktur selama ini dilakukan sesuai mekanisme yang diatur undang-undang, bukan semata keputusan internal Polri.

“Namun yang pasti, selama ini pelaksanaan tugas dan tanggung jawab anggota Polri yang bekerja di luar struktur didasarkan pada mekanisme yang ditentukan Undang-undang. Jadi, penentuan untuk penugasan di luar struktur, itu karena adanya permintaan dari kementerian lembaga terkait," ujarnya.

Polri Pelajari Putusan MK yang Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil Artikel Kompas.id Sandi merinci, mekanisme pengisian jabatan sipil oleh polisi dimulai dari permintaan resmi kementerian/lembaga kepada Kapolri untuk mengisi posisi tertentu.

Setelah itu, Kapolri menugaskan Asisten SDM melakukan asesmen untuk menentukan pejabat yang kompeten.

Lalu, Kapolri menerbitkan surat perintah, kemudian diajukan kembali ke kementerian/lembaga pengusul.

"Jika pejabat tersebut telah ditunjuk, maka Bapak Kapolri akan mengeluarkan surat perintah untuk diajukan kepada kementerian/lembaga terkait untuk diajukan apakah diterima atau tidak," jelasnya.

"Jika tidak diterima, dapat dikembalikan. Namun, jika diterima, akan dilanjutkan oleh kementerian/lembaga untuk diusulkan kepada Presiden melalui Keputusan Presiden untuk jabatan setingkat bintang dua bintang tiga," tambah dia.

Untuk jabatan yang lebih rendah, penetapan dilakukan melalui keputusan menteri terkait.

"Jadi keputusan untuk personel Polri duduk di kementerian lembaga yang terkait dengan tugas kepolisian adalah dengan Keputusan Presiden, bukan dengan surat penugasan Kapolri," pungkasnya.

Baca juga: Daftar Polisi Aktif yang Masih Duduki Jabatan Sipil Usai Putusan MK, Termasuk Ketua KPK!

Sosok Syamsul Jahidin

Pria asal Mataram ini adalah pengacara konstitusional dan managing partner di ANF Law Firm (terdaftar AHU-0000456-AH.01.22 Tahun 2022).

Syamsul merupakan lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah dengan IPK 3,3 pada tahun 2020.

Di tahun yang sama, seperti dilansir Tribun-Medan.com di artikel berjudul SOSOK Syamsul Jahidin Gugat UU Polri Bikin Perwira Polisi Tak Boleh Lagi Isi Jabatan di Lembaga, ia juga menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, STAI Sabili Bandung dengan IPK 3,25. Ia kemudian melanjutkan studi dan meraih gelar Magister Hukum Operasi Militer dari Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) dengan IPK 3,65 pada tahun 2024. 

Ia juga meraih gelar Magister (S2) Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan IPK 3,65 (2023).,

Saat ini Syamsul tengah menempuh pendidikan Magister (S2) Hukum Kesehatan disekolah tinggi hukum militer (2025), serta sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang hukum pada Universitas Borobudur.

Sertifikasinya mencakup M.M, CIRP, CCSMS, CCA, dan C.Med, menjadikannya ahli di litigasi, kepailitan, mediasi, serta advokasi konstitusional.

Sebagai anggota Dewan Pengacara Nasional (DPN), ia aktif berbagi ilmu melalui Instagram @syamsul_jahidin, di mana ia membahas kasus-kasus kompleks dan ekspansi firma hukumnya.

Kepada Tribunnews, Syamsul mengungkap masih tercatat sebagai satpam meskipun berprofesi juga sebagai advokat di tengah kesibukannya menjalani kuliah pascasarjana.

"Hingga saat ini saya memegang sertifikasi sebagai assesor atau penguji dan penilai dari Sertifikasi LSP PP Polri, menguji kelayakan personel Satpam," ujarnya dihubungi pada Kamis (30/10/2025)

Sempat Gugat Uang Pensiun Anggota DPR

Sosok Syamsul juga merupakan penggugat tunjangan pensiun seumur hidup bagi mantan anggota DPR.

Gugatan ke MK terdaftar dengan nomor 176/PUU-XXIII/2025 yang diajukan pada 30 September 2025.

Syamsul menargetkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Asas-asas Pemerintahan yang Baik, menyoroti ketidakadilan sistem yang memberikan hak istimewa kepada elite politik sambil merugikan rakyat biasa.

Berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, mantan anggota DPR yang menjabat hanya satu periode (lima tahun) berhak atas 60 persen gaji pokok seumur hidup, plus tunjangan hari tua Rp15 juta sekali bayar.

Sejak 1980, sekitar 5.175 penerima telah membebani APBN hingga Rp226 miliar.

Menurutnya, rakyat bekerja 10-35 tahun untuk pensiun, sementara dewan hanya lima tahun menerima tunjangan pensiun seumur hidup bahkan bisa diwariskan.

Syamsul menambahkan bahwa status DPR sebagai Lembaga Tinggi Negara tak boleh jadi alasan hak istimewa, bertentangan dengan asas keadilan sosial UUD 1945.

Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved