Berita Balikpapan Terkini
MK Larang Polisi Rangkap Jabatan Sipil, Respons Praktisi Hukum Balikpapan
Putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil mendapat sorotan dari praktisi hukum di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Penulis: Mohammad Zein Rahmatullah | Editor: Miftah Aulia Anggraini
"Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian masyarakat bahkan tidak lagi menganggap hal ini sebagai masalah," tegas Mangara.
Baca juga: Sikap Istana soal Putusan MK Larang Wakil Menteri Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Menurutnya, ketika penyimpangan dianggap wajar, saat itulah reformasi sedang mundur secara perlahan.
Mangara menjelaskan bahwa yang disebut "kembalinya Orde Baru" hari ini bukan tentang pelarangan demonstrasi atau militerisme yang vulgar.
Ia muncul lebih halus lewat normalisasi aparat aktif di jabatan sipil, kebijakan tumpang-tindih, dan manipulasi persepsi publik.
"Para perwira aktif yang ditempatkan di jabatan sipil membawa serta budaya komando, loyalitas institusi, dan cara pandang yang berbeda," ungkap Mangara.
Baca juga: Daftar 30 Wamen yang Bisa Digugat ke PTUN, MK Larang Rangkap Jabatan
Ketika ruang sipil dipenuhi logika komando, publik perlahan kehilangan ruang untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Dia beranggapan, demikian adalah bentuk kekuasaan yang bekerja senyap, tanpa suara keras, tetapi perlahan menggerus batas-batas reformasi yang diperjuangkan dengan pengorbanan.
Ketika MK mengeluarkan putusan yang menegaskan larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil, publik mendapatkan sedikit alasan untuk optimis.
Namun optimisme itu cepat pudar karena sejumlah elite politik segera melontarkan pernyataan sinis, meragukan, bahkan menolak putusan MK tersebut.
Baca juga: Setelah Tolak Perpanjangan Usia Pensiun TNI, Kini MK Larang Prajurit Aktif Jadi Pj Kepala Daerah
Ada yang menyebut MK "tidak memahami kebutuhan negara", ada yang menyatakan bahwa "penempatan aparat di jabatan sipil itu lumrah", dan pernyataan lainnya.
Mangara menilai pernyataan semacam itu bukan sekadar komentar spontan, tetapi tanda langkah mundur yang kerap muncul setelah sebuah putusan penting dikeluarkan.
"Ini adalah tanda-tanda resistensi dan ketidaktaatan pada prinsip negara hukum (rule of law)," kata Mangara.
Menurut dia, manipulasi putusan MK biasanya dimulai dari wacana bahwa putusan itu terlalu ideal, terlalu normatif, dan terlalu tidak operasional.
Baca juga: Jakarta Diguncang Demo Hari Ini, Aksi Ultras Garuda di Kantor PSSI hingga Mahasiswa Geruduk MK
Begitu wacana diterima publik atau publik mulai lengah, muncul ruang untuk membuat aturan teknis berbelit, celah penugasan khusus, atau skema mutasi yang membuat anggota Polri “tidak aktif tetapi belum pensiun”.
"Di situlah pola poco-poco bekerja. MK melangkah maju satu langkah, tetapi kekuatan politik menariknya mundur dua langkah lewat narasi, regulasi, atau tafsir yang melemahkan" jelasnya.
| 35 Warga Binaan Rutan Balikpapan Dibebaskan, Ini Mekanisme dan Syaratnya |
|
|---|
| Gasali Jadi Calon Tunggal Ketua KONI Balikpapan, Klaim Dukungan Cabor 40 Persen |
|
|---|
| Residivis Pengedar Sabu Dibekuk di Muara Rapak Balikpapan, Polisi Sita 12 Paket dan Mesin Press |
|
|---|
| Cegah Banjir, Sedimentasi Saluran di Jalan Manunggal Balikpapan Dibersihkan |
|
|---|
| 11 Layanan Publik Terintegrasi dalam B-Connect, Dilengkapi Rekaman CCTV |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251116_Praktisi-hukum-Balikpapan-Mangara-Tua-Silaban-merespons-putusan-MK.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.