Upah Minimum 2026
UMP Kaltim Pernah Hampir Setara Jakarta Kini Melemah, Buruh: Perhatikan Kebutuhan Riil Pekerja
UMP Kaltim pernah hampir setara dengan DKI Jakarta tapi kini melemah. Serikat Buruh Borneo minta kebutuhan riil pekerja diperhatikan.
Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Amalia Husnul A
Ringkasan Berita:
- Jelang penetapan UMP 2026, Serikat Buruh Borneo Indonesia (SBBI) berharap penetapannya memperhatikan kebutuhan riil pekerja
- SBBI juga menyinggung UMP Kaltim yang pernah hampir setara dengan DKI Jakarta
- Sayangnya, UMP Kaltim justru semakin melemah
- Dewan Pengupahan memprediksi ada perlambatan ekonomi di tahun 2026
- DPP Apindo Kaltim menyebut penetapan UMP jangan hanya tinggi-tinggian angka
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Menjelang penetapan, buruh berharap Upah Minimum Provinsi (UMP) Kalimantan Timur (Kaltim) 2026 nanti dapat menjawab kebutuhan riil pekerja.
Ketua Serikat Buruh Borneo Indonesia (SBBI), Nason Nadeak berharap agar pembahasan UMP 2026 Kaltim berjalan baik.
Ia juga menyinggung besaran UMP yang pernah hampir setara dengan UMP Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dalam kurun waktu tahun 2000-2010-an namun kemudian terus melemah
Kini, jelang penetapan, Ketua SBBI berharap agar perhitungan UMP 2026 Kaltim sesuai kebutuhan riil untuk para buruh atau pekerja di Kaltim.
Baca juga: KSBI Kaltim Desak Kenaikan UMP 2026 Lebih Adil, Tak Hanya 5 Persen
“Bukan sekedar angka kesepakatan, tapi angka yang memang betul–betul menentukan UMP ke depan,” sebutnya kepada Tribun Kaltim, Rabu (19/11/2025).
Kesejahteraan pekerja atau buruh di Kaltim dikatakannya masih banyak jauh dari kata sejahtera.
Ia melihat, Kaltim pernah hampir setara UMP-nya dengan Provinsi DKI Jakarta sekira tahun 2000-an hingga 2010 ke atas.
Tetapi kini, Kaltim malah jauh dari DKI Jakarta yang sudah menyentuh angka kisaran Rp5 juta.
“Posisi Kaltim di tahun 2000-an hampir setara UMP-nya. Lama–lama posisi Kaltim melemah, harga kebutuhan tidak jauh berbeda juga.
Jadi ini menjadi catatan juga agar stabilitas ekonomi mesti menjadi perhatian,” ujarnya.
Dewan pengupahan yang kini menjadi ‘aktor’ utama dalam menentukan formulasi UMP diharap Nason tidak saja menentukan berdasar kemauan pihak tertentu.
Tetapi, harus memperhatikan kebutuhan riil para pekerja atau buruh di Kaltim, seperti sandang, pangan dan papan yang mesti bisa ditutupi perbulannya.
“Belum lagi sekolah anak–anak para pekerja atau buruh. Kenaikan mesti memperhatikan kebutuhan riil. Jika Rp3,4 juta sekarang, kalau kenaikan hanya Rp100 ribu misalnya.
Uang airnya, listrik dan kebutuhan lain, apakah cukup 30 hari?” tukasnya.
Tentunya, Nason meminta dewan pengupahan Kaltim bijak menentukan sebelum angka UMP yang akan ditetapkan dibawa ke Kepala Daerah, dalam hal ini Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Catatan lain agar diperhatikan oleh para perusahaan agar lebih memperhatikan pekerja atau buruh dalam masa kerja yang lama.
Nason berharap pekerja atau buruh yang diatas 10 tahun bukan hanya sekedar dibayar dengan angka UMP, tetapi perlu ada apresiasi dari perusahaan.
“Presiden, Gubernur hingga ke Bupati/Wali Kota kan hanya meneken, setuju setelah ada rapat oleh dewan pengupahan.
Mereka (Dewan Pengupahan) harus mencari kebutuhan riil para pekerja atau buruh agar mengetahui angka yang dibutuhkan untuk membayar hak para karyawan, termasuk yang masa kerja di atas 10 tahun misalnya,” katanya.
Perbandingan UMP DKI Jakarta dan Kaltim
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) berikut catatan besaran UMP DKI Jakarta dan Kaltim dalam 15 tahun terakhir:
- Tahun 2010: Jakarta Rp 1.118.000 - Kalimantan Timur Rp 1.002.000
- Tahun 2011: Jakarta Rp 1.290.000 - Kalimantan Timur Rp 1.084.000
- Tahun 2012: Jakarta Rp 1.529.150 - Kalimantan Timur Rp 1.177.000
- Tahun 2013: Jakarta Rp 2.200.000 - Kalimantan Timur Rp 1.752.073
- Tahun 2014: Jakarta Rp 2.441.000 - Kalimantan Timur Rp 1.886.315
- Tahun 2015: Jakarta Rp 2.700.000 - Kalimantan Timur Rp 2.026.126
- Tahun 2016: Jakarta Rp 3.100.000 - Kalimantan Timur Rp 2.161.253
- Tahun 2017: Jakarta Rp 3.355.750 - Kalimantan Timur Rp 2.354.800
- Tahun 2018: Jakarta Rp 3.648.036 - Kalimantan Timur Rp 2.543.332
- Tahun 2019: Jakarta Rp 3.940.973 - Kalimantan Timur Rp 2.747.561
- Tahun 2020: Jakarta Rp 4.276.350 - Kalimantan Timur Rp 2.981.379
- Tahun 2021: Jakarta Rp 4.416.186 - Kalimantan Timur Rp 2.981.379
- Tahun 2022: Jakarta Rp 4.651.864 - Kalimantan Timur Rp 3.137.676
- Tahun 2023: Jakarta Rp 4.901.798 - Kalimantan Timur Rp 3.201.396
- Tahun 2024: Jakarta Rp 5.067.381 - Kalimantan Timur Rp 3.360.858
- Tahun 2025: Jakarta Rp 5.396.761 - Kalimantan Timur Rp 3.579.313
Apindo: Jangan Hanya Tinggi-tinggian
Sementara itu, terkait UMP dari kalangan pengusaha memprediksi bakal ada perlambatan bisnis di tahun 2026 seiring penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akibat pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) dari Pusat.
Faktor ini juga menjadi pertimbangan pengusaha menjelan penetapan UMP.
Koordinator Dewan Pengupahan, Slamet Brotosiswoyo mengatakan, “Pemotongan ini di 2026 mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan daya beli, kira–kira.
Jika Kabupaten/Kota padat industri tentu tidak terlalu signifikan berdampak,” ujarnya kepada TribunKaltim.co, Rabu (19/11/2025).
Di samping itu, sektor konstruksi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sudah ter-plot dengan anggaran sekitar Rp14 triliun juga tidak semua beredar di Kaltim.
Pertumbuhan ekonomi Kaltim pada tahun 2024 mencapai 6,17 persen secara keseluruhan mencatatkan sektor usaha tumbuh.
Namun pada triwulan I sampai III tahun 2025 mulai terlihat tumbuh melambat di kisaran 5 persen, artinya perlu melihat dinamika ekonomi dalam menentukan UMP.
“IKN dianggarkan Rp14 triliun tidak semua beredar uangnya di sini.
Tentu juga melihat pertumbuhan ekonomi Kaltim juga, jadi ini perlu kehati–hatian dalam menentukan UMP ini, jangan sampai berdampak ke berbagai sektor riil hingga PHK,” jelas Slamet yang juga perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Kaltim.
Slamet juga berpandangan, semua pihak mesti melihat kemampuan berusaha para pengusaha sehingga sektor bisnis tetap bisa menjaga sustainable.
Karena itu, APINDO melihat bahwa bukan hanya sekedar UMP naik saja, tanpa memikirkan keberlangsungan usaha serta keberpihakan para pekerja atau buruh.
“Keberlanjutan usaha ini penting, bukan sekadar naik saja, tetapi disisi lain dampaknya tidak bisa membayar (gaji), PHK, ini kan bukan kemakmuran dan kesejahteraan.
Jangan hanya tinggi–tinggian kenaikan tapi berdampak negatif,” tukasnya.
Maksud Slamet, peristiwa seperti Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2025 di Karawang sebesar Rp5,5 juta justru tidak berdampak buruk pada sektor usaha.
Hal ini contoh riil, bagaimana para pengusaha serta investor beralih ke wilayah lain karena biaya menggaji karyawan terlampau tinggi daripada cost produksi perusahaan.
Contoh ini lah yang tidak diinginkan oleh Slamet, karena Kaltim sendiri dari sisi sektor usaha masih sangat tumbuh.
“Investor bisa berpikir ulang, kita tidak ingin terjadi di Kaltim. Artinya dampak negatif PHK, bayar SDM (Sumber Daya Manusia) terlampau tinggi cost-nya.
Apalagi misalnya industri memiliki seribu hingga tiga ribu karyawan. Sementara daerah sekitar lain Karawang ada di bawah Rp5 juta,” tukasnya.
Diakui Slamet, Kaltim sejak tahun 2009 ia berada di bendera APINDO, tiap tahun saat jelang penetapan UMP selalu kondusif.
Bahkan, serikat pekerja dan buruh selalu memahami kondisi para pengusaha, yang akhirnya berdampak pada keberlanjutan usaha.
Maka dari itu, perlu dipikirkan serta dopertimbangkan matang–matang dalam penentuan UMP tahun depan.
Memang, diakui bahwa di Kaltim masih ada terdapat sekitar 40 persen tidak bisa membayar gaji karyawan dengan UMP.
Terutama UMKM dan usaha menengah yang mesti dipertimbangkan dalam penetapan ini, serta mesti memikirkan jaminan sosial yang pastinya pekerja tidak dapat, sebagai langkah konkrit agar pengusaha kecil juga bisa naik kelas.
Semua pihak mesti menjaga keberlangsungan usaha agar pengusaha tidak tutup, pekerja atau buruh tidak di PHK, pemerintah pun demikian, bisa menjaga stabilitas ekonomi untuk keberlangsungan sektor–sektor riil.
“UMKM dan usaha menengah agar tidak stagnan. Yang kecil tetap, yang besar makin besar.
Maka kita perlu banyak pertimbangan bagi usaha yang belum menggaji karyawan tidak sesuai UMP.
Sebetulnya, UMP selalu terkendali di Kaltim.
UMP ini kan jaring pengaman bagi pekerja lajang di bawah masa kerja 1 tahun, kan teorinya begitu.
Bukan gaji karyawan yang sudah 1 tahun atau lebih, sehingga pekerja baru, baik lulusan SMP/SMA yang masuk bekerja tetap berhak mendapat gaji sesuai UMP yang ditetapkan,” beber Slamet.
Baca juga: Daftar UMP Kaltim dalam 5 Tahun Terakhir, Prediksi Besaran Upah Minimum Provinsi Tahun 2026
(TribunKaltim/Mohammad Fairoussaniy)
Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20250501_Hari-Buruh-2025-di-Kaltim-Samarinda.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.